Menuju konten utama

Ujian Penanganan Antraks di Gunungkidul yang Mewabah & Berulang

Meski Satgas One Health telah terbentuk dan masif berkegiatan, Dewi mengungkap hal yang terberat dilakukan adalah edukasi kepada masyarakat.

Ujian Penanganan Antraks di Gunungkidul yang Mewabah & Berulang
Suasana peternakan yang dinetralisir dengan bahan kimia dan dilapisi dengan semen agar bersih dari bakteri antraks di Dukuh Jati, Kecamatan Semanu, Gunungkidul pada Jumat (27/10/2023). Sejumlah sapi dari peternakan ini sempat mati mendadak dan dinyatakan antraks pada Juli 2023 lalu. (Tirto.id/M. Irfan Al Amin)

tirto.id - Enam puluh kilometer dari pusat Kota Yogyakarta, warga Dukuh Jati di Kabupaten Gunungkidul masih berjuang untuk melawan antraks. Wabah itu telah berlalu dan sapi-sapi yang mengidap antraks sudah dikubur dalam tanah dan dilapisi dengan semen tebal.

Dukuh Jati berada di Kalurahan Candirejo, Kapanewon Semanu. Wilayah ini berada di area perbukitan dan dikelilingi oleh hutan jati yang meranggas karena musim kemarau.

Di wilayah itu, masyarakat masih bertanya-tanya perihal antraks, penyakit zoonotik yang mampu menular dari hewan ke manusia tersebut. Antraks telah mematikan puluhan sapi dan ternak lainnya, bahkan menyebabkan 87 orang ikut terinfeksi dan satu di antaranya meninggal dunia.

Salah seorang peternak yang harus merelakan kehilangan sapi karena serangan bakteri antraks adalah Supeni. Dia kehilangan dua sapi ras Simmetalnya yang mati mendadak pada Juli 2023. Supeni juga kehilangan seekor domba yang dia tempatkan di satu kandang karena terinfeksi antraks.

"Sapi-sapinya mati secara bergiliran dalam selisih tidak sampai dalam waktu seminggu," kata Supeni kepada Tirto pada Jumat (27/10/2023).

Ternaknya yang mati mendadak tidak langsung dikubur atau dimusnahkan sebagaimana petunjuk teknis Kementerian Kesehatan. Supeni yang bertahun-tahun menggantungkan hidup dengan sapinya tak tahu-menahu perihal antraks sehingga dia mengolah daging sapi. Supeni juga membagikan daging sapi kepada tetangganya.

Mengetahui sapi milik Supeni mati, secara inisiatif, para tetangga mengambil daging sapi tersebut dan menggantinya dengan sejumlah uang, yang nominalnya di kisaran angka Rp45 ribu di bawah harga pasaran yang setiap kilogramnya dihargai Rp130 ribu. Tradisi ini dikenal dengan istilah mbrandu atau porak dan menjadi salah satu penyebab penularan antraks dari sapi ke manusia.

Tirto menemui sejumlah warga Dukuh Jati yang sempat mengonsumsi daging sapi dan dinyatakan positif antraks kemudian. Mereka mengaku mengalami gejala gatal-gatal di sekujur tubuh, terutama di telapak tangan sebelah kiri yang menyebabkan tumbuhnya bentol dan terasa panas.

Namun mereka enggan menyebutkan identitasnya kepada publik. Hingga saat ini, tiga bulan seusai wabah antraks, stigma negatif kepada Dukuh Jati dan mereka yang sempat dinyatakan positif antraks masih kuat. Mereka merasa kurang terinformasi mengenai masalah antraks.

"Kami merasa dikucilkan. Kami merasa pemerintah tidak terbuka saat menangani antraks," kata salah seorang warga kepada Tirto.

Salah satu indikasi mengapa warga setempat menganggap pemerintah Gunungkidul tidak terbuka dalam menangani antraks adalah perkara hasil laboratorium. Warga yang ditengarai positif antraks diambil sampel darahnya, tapi hasilnya tak diberikan kepada mereka.

Meski demikian, tidak ada penyesalan dari mereka mengenai mbrandu atau memakan bangkai sapi yang mati mendadak. Bagi mereka, hal itu adalah tradisi yang sudah dilakukan oleh para nenek moyang di Gunungkidul sebelum merebak wabah antraks saat ini.

Menanggapi keluhan warga tersebut, kami mengonfirmasi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul, Dewi Irawaty. Dia menjawab keluhan warga mengenai hasil sampel tes darah yang dianggap tidak terbuka. Dewi mengungkapkan, hasil tes darah dapat diungkap kepada masing-masing individu dengan syarat harus datang ke kantor dinas kesehatan setempat.

"Silakan datang ke kantor kami. Hasil tes bisa kami buka, tapi hanya untuk berkaitan dengan individunya masing-masing dan tidak boleh tahu hasil tes kesehatan orang lain. Ini sifatnya rahasia," kata Dewi saat dihubungi pada Sabtu (28/10/2023).

Dewi juga membantah bila ada masyarakat yang di-antraks-kan, seperti isu yang terjadi saat pandemi COVID-19 lalu, di-COVID-kan. Menurut dia, pemeriksaan antraks dilakukan secara berlapis oleh banyak unit kesehatan. Sampel antraks diperiksa di laboratorium di Bogor, Jawa Barat.

"Saya beranggapan kalau ada yang bisa meng-antraks-kan itu lihai sekali," kata dia.

Adapun mengenai tradisi mbrandu yang sudah mendarah daging di Gunungkidul, Dosen Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Andreas Budi Widyanta menyebut, mbrandu menjadi tradisi dan tidak hanya terjadi di Gunungkidul, namun juga di wilayah Indonesia lainnya. Hal ini sebagai bentuk konsekuensi Indonesia sebagai negara agraris.

Widyanta membantah bila mbrandu terjadi karena faktor kemiskinan di Gunungkidul yang tinggi. Dia berpendapat bahwa mbrandu muncul karena solidaritas masyarakat untuk membantu sesama yang ternaknya mati.

“Bagi warga Gunungkidul, sapi itu raja kaya. Artinya, sapi bukan hanya sebagai ternak, namun juga aset yang akan dijual sewaktu-waktu saat dibutuhkan. Melalui mbrandu, peternak yang kehilangan sapi dapat terbantu dengan bantuan sukarela antara warga," kata Widyanta.

Kini kandang-kandang sapi milik warga di Dukuh Jati yang mati mendadak karena antraks telah disterilisasi menggunakan sejumlah cairan kimia. Lalu lapisan paling atas dilapisi semen, baik di area kandang maupun sekitarnya yang diduga menjadi tempat spora antraks yang rawan berkembang biak.

Upaya Pemkab Gunungkidul Mengantisipasi Antraks

Kasus antraks di Dukuh Jati bukanlah yang pertama kali di Gunungkidul. Setidaknya menurut data Kementerian Kesehatan, antraks sudah tercatat masuk Gunungkidul sejak 2017. Jumlahnya bervariasi dan pada Juli 2023 menjadi angka infeksi tertinggi pada Indonesia yang mencapai 87 orang dan seorang di antaranya meninggal dunia.

Sejumlah upaya telah dilakukan oleh Pemkab Gunungkidul agar antraks tidak menular ke hewan dan terutama kepada manusia. Salah satunya dengan koordinasi antar organisasi perangkat daerah dan bekerja sama dengan aparat penegak hukum TNI/Polri melalui skema one health yang bertujuan mencegah penyebaran zoonosis atau penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia dan salah satunya adalah antraks.

Kepala Dinas Kesehatan Gunungkidul, Dewi Irawaty menyampaikan, pihaknya telah membentuk Satgas One Health sebagai tindaklanjut serius penanganan antraks dan zoonosis lainnya. Pembentukan Satgas One Health juga didukung dengan Surat Keputusan Bupati Nomor: 80/KPTS/TIM/2018 dan diperbaharui pada 2022 dan Surat Keputusan Bupati Nomor: 61/KPTS/TIM/2022. Dinas Kesehatan Gunungkidul bekerja sama dengan organisasi perangkat daerah lintas sektor sesuai kebutuhan penanganan zoonosis dan tidak hanya pada antraks.

Dewi menjelaskan bahwa Satgas One Health di wilayahnya sudah aktif sejak 2018 dan juga diikuti dengan sejumlah pelatihan yang melibatkan sejumlah sektor swasta seperti industri pariwisata dan pangan yang berdomisili di Gunungkidul.

Ia menyadari, salah satu kunci keberhasilan penanganan antraks adalah melalui edukasi kepada masyarakat karena salah satu faktor penyebaran antraks ke manusia di Gunungkidul pada Juli lalu adalah tradisi mbrandu.

“Makanya di dalamnya kesehatan tetap wajib. Kemudian kami juga bekerjasama dengan dinas peternakan, dinas pertanian dan dinas lingkungan hidup. Selain itu kami juga melibatkan polisi dan tentara karena mereka memiliki Babinsa dan Babinkamtibmas," kata Dewi.

Walaupun Gunungkidul kerap terjadi kasus antraks pada manusia, tapi Dewi merasa pelaksanaan One Health di wilayahnya lebih progresif dibanding wilayah lain. Alasannya Satgas One Health pertama kali dibentuk di Indonesia ada di Gunungkidul.

"Satgas One Health itu kayaknya di Indonesia baru ada di Gunungkidul," kata dia.

Walau Satgas One Health telah terbentuk dan masif berkegiatan, Dewi mengungkap hal yang terberat dilakukan adalah edukasi kepada masyarakat. Dia berharap masyarakat mau melakukan hidup sehat terutama saat berinteraksi dengan hewan ternak, seperti menggunakan masker, sarung tangan, dan alat kelengkapan lainnya.

“Masyarakat harus melakukan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Oleh karenanya kita akan lakukan edukasi terus menerus," kata Dewi.

Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Gunungkidul, Wibawanti Wulandari menambahkan, pihaknya juga mendorong gerakan Gerdu Kita (Gerakan Peduli Antraks dan Lainnya). Melalui gerakan ini, Pemkab Gunungkidul akan melakukan pendekatan persuasif kepada setiap peternak mengenai bahaya antraks. Wibawanti berharap ketidaktahuan masyarakat tentang antraks seperti di Dukuh Jati tidak terulang lagi dan menimbulkan korban jiwa hingga meninggal dunia.

"Kita berharap Gerdu Kita bisa semasif Germas (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat) yang menyentuh pada aspek perilaku hidup masyarakat. Harapannya para peternak mau menjaga dengan penuh kesadaran terkait pencegahan penyakit yang sempat menyerang hewan ternak beberapa waktu yang lalu," kata Wibawanti saat ditemui di kantornya pada Jumat (27/10/2023).

Selain edukasi, Wibawanti dan dinasnya mengaku rutin melakukan vaksinasi kepada ternak-ternak warga Gunungkidul. Dari penuturannya, sebagian warga masih menolak vaksinasi hewan ternak karena takut atau termakan hoaks.

"Kami rutin melakukan vaksin, bahkan tak semuanya bisa menyuntikkan sesuai dengan target. Tak jarang ada yang harus pulang karena ditolak warga," kata dia.

Menguji Keseriusan Gunungkidul Melawan Antraks

Saat antraks mewabah di Gunungkidul, pemerintah setempat enggan mengambil tindakan KLB (Kejadian Luar Biasa). Walaupun pihak Kementerian Kesehatan telah memberikan rekomendasi agar KLB diambil, tapi kewenangan itu tak diambil oleh Pemkab Gunungkidul.

Dinas Kesehatan Gunungkidul telah menyerahkan saran dan rekomendasi terkait KLB sesuai dengan aturan Peraturan Menteri Kesehatan No.1501/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan kepada Bupati Gunungkidul. Namun, KLB tetap tak diambil karena dianggap persebaran antraks telah terlokalisir di Dukuh Jati dan telah terkendali.

Tirto mencoba mengonfirmasi ulang terkait pernyataan tersebut kepada Bupati dan Wakil Bupati Gunungkidul, namun hingga tulisan ini dimuat tak ada jawaban yang diberikan. Wibawanti Wulandari yang ikut terlibat dalam pembahasan KLB tersebut menyampaikan bahwa Bupati dan Wakil Bupati Gunungkidul sengaja tak melakukan KLB antraks di wilayahnya karena ada sejumlah faktor. Wibawanti menyebut ada kekhawatiran bila KLB dipaksakan akan terjadi gelombang ketakutan warga datang ke wilayah tersebut.

Menurutnya, status KLB dengan segala fasilitas keuangan yang didapatkan akan bertahan lama untuk bisa dicabut. Padahal, Gunungkidul yang pemasukan utamanya dari pariwisata dapat lumpuh karena ketakutan masyarakat sekitar akan status KLB.

"Coba bayangkan, karena status KLB orang takut makan bakso di Gunungkidul. Atau orang takut berwisata disini karena dibayang-bayangi antraks," kata Wibawanti.

Kendati tak ada KLB, saat antraks mendera di Gunungkidul, pemerintah setempat membantah tak serius menanganai penyebaran bakteri Bacillusanthracis tersebut. Wibawanti menyebut pihaknya bersama anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gunungkidul kompak merancang Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Penyelenggaraan Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Raperda tersebut, kata Wibawanti, akan diisi dengan sejumlah aturan hukum yang memuat sanksi apabila brandu atau konsumsi bangkai tetap dilakukan. Hal itu sebagai antisipasi dengan efek jera agar masyarakat tak mengulang kejadian seperti di Dukuh Jati.

Mereka juga menggodok aturan tentang Rumah Pemotongan Hewan (RPH) agar pemotongan hewan dilakukan secara terpusat dan daging yang disembelih dapat dipantau kualitasnya.

Sekalipun wacana hukum dengan sanksi pidana dan administrasi akan dicantumkan, namun Wibawanti berharap permasalahan antraks tersebut dapat diselesaikan secara persuasif dan edukatif. Sebagai tambahan, Wibawanti menjelaskan akan ada pasal mengenai kompensasi ganti ternak mati, untuk menjadi upaya tradisi brandu tak lestari.

“Kami menyiapkan rancangan perda yang mengatur kompensasi berupa pembelian ternak milik warga yang sakit oleh pemerintah,” kata Wibawanti.

Mengenai aturan kompensasi ternak yang mati akibat antraks, Wibawanti tetap berpedoman pada kemampuan keuangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Gunungkidul. Menurut dia, ada sejumlah kriteria yang akan diatur dalam Raperda tersebut terkait kompensasi.

“Kami ingin menyebut ini sebagai kompensasi atau tali asih dari pemerintah ke peternak. Harapannya, kompensasi yang diberikan dapat menghentikan tradisi brandu,” kata dia.

Terkait Raperda Penyelenggaraan Peternakan dan Kesehatan Hewan yang saat ini sedang bergulir di DPRD Gunungkidul, Andreas Budi Widyanta meminta agar pengentasan tradisi mbrandu dilakukan secara humanis atau tidak mengedepankan pada sanksi pidana maupun denda administratif. Widyanta mengingatkan tradisi mbrandu yang tetap eksis hingga saat ini membuktikan adanya transfer nilai yang masih berlangsung. Itu akibat keadaan dan minimnya pengetahuan.

“Sosialisasi yang dilakukan itu perlu dipertanyakan, Pemkab Gunungkidul perlu introspeksi. Apakah sosialisasinya benar-benar tepat sasaran, saya kira hanya hit and run yang penting dilakukan tanpa memastikan adanya transfer nilai,” kata Widyanta.

Penanganan Antraks Gunungkidul

Suasana peternakan yang dinetralisir dengan bahan kimia dan dilapisi dengan semen agar bersih dari bakteri antraks di Dukuh Jati, Kecamatan Semanu, Gunungkidul pada Jumat (27/10/2023). Sejumlah sapi dari peternakan ini sempat mati mendadak dan dinyatakan antraks pada Juli 2023 lalu. (Tirto.id/M. Irfan Al Amin)

Gotong-Royong Bangkitkan Gunungkidul dari Antraks

Saat antraks mewabah pada pertengahan 2023, gawai Dewi dan Wibawanti tak pernah berhenti dari notifikasi telpon dan pesan singkat. Semuanya bertanya bagaimana antraks di Gunungkidul bisa berhenti. Wibawanti mengaku sempat mengalami pergesekan dengan perangkat daerah di Gunungkidul karena selisih pendapat saat menangani antraks. Baginya, itu hanya bunga-bunga cerita atas pengalamannya. One Health di Gunungkidul harus diuji pelaksanaannya.

Pihak pemerintah pusat memberi atensi serius, seperti Kementerian Kesehatan yang mendorong dilaksanakannya KLB dan pemberian pengobatan profilaksis di Gunung Kidul. Kementerian Pertanian juga memberikan dana bantuan bagi Pemkab Gunungkidul untuk penanganan antraks.

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bekerja sama dengan Australia Indonesia Health Security Partnership (AIHSP) akan menjadikan Gunungkidul sebagai area kerja pencegahan zoonosis. Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Istimewa Yogyakarta menjanjikan dukungan sumber daya untuk mencegah kejadian serupa agar tak terulang kembali. Ketetapan ini juga telah diatur dalam Keputusan Gubernur Nomor 227/TIM/2021 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pelaksanaan Kegiatan AIHSP DIY.

“Kami telah memilih Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Kulon Progo sebagai kabupaten area kerja. Pemilihan Kabupaten ini telah melalui proses konsultasi antara AIHSP dan Pemda DIY untuk mencegah zoonosis. Kasus antraks yang sempat terjadi di Gunungkidul beberapa waktu menjadi alasan mengapa kami memilih kabupaten tersebut,” kata Koordinator AISHP Wilayah DIY Novia Purnamasari dalam keterangan tertulis.

Koordinator One Health Student Club (OHSC) Universitas Gadjah Mada (UGM) Wayan Tunas Artama mengungkap, penanganan antraks menjadi ujian serius bagi penerapan One Health di Indonesia.

Indonesia dikenal telah mencanangkan kerja sama One Health dengan banyak negara dan Gunungkidul sebagai wilayah endemi antraks juga dikenal sebagai area wisata yang banyak mendapat kunjungan dari wisatawan bagi lokal maupun mancanegara. “Kalau sektor kesehatan tidak dapat dukungan, terutama zoonosis, maka akan berdampak terhadap sektor pariwisata,” kata Wayan.

Baca juga artikel terkait KASUS ANTRAKS atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz