Menuju konten utama

Bujet Jalur Sutra Modern Berkurang, Bagaimana Nasib Indonesia?

Indonesia sebagai salah satu penerima manfaat Belt Road Initiative atau Jalur Sutra Modern terbesar mungkin membutuhkan beberapa penyesuaian.

Bujet Jalur Sutra Modern Berkurang, Bagaimana Nasib Indonesia?
Presiden China Xi Jinping berbicara saat konferensi pers di akhir Forum Sabuk dan Jalan di Pusat Konferensi Internasional Danau Yanqi, sebelah utara Beijing, Senin, 15 Mei 2017. Xi telah mengumumkan rencana ambisius untuk pemerintah Asia dan Eropa untuk bekerja lebih dekat. di bidang keuangan, penegakan hukum dan beragam masalah lain di bawah inisiatif perdagangan yang dipimpin Beijing. Nicolas Asfouri / Pool via AP

tirto.id - Setelah adanya keluhan terkait masalah utang dan lingkungan hidup, proyek Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt Road Initiative/BRI) atau Jalur Sutra Modern dari Cina akhirnya menunjukkan perubahan. Pada pertemuan Belt and Road Forum, Rabu (18/10/2023), Cina mengumumkan bahwa proyek BRI akan bersifat small but smart, yakni dengan mendanai proyek berskala kecil, tapi lebih ramah lingkungan.

Indonesia sebagai salah satu penerima manfaat BRI terbesar mungkin membutuhkan beberapa penyesuaian. Hal ini mengingat masih terdapat beberapa ambisi besar yang harus dipenuhi, di antaranya ibu kota baru, rencana perpanjangan rute kereta cepat, dan industri kendaraan listrik yang komprehensif.

Para analisis menilai Indonesia masih bisa mendapat banyak alokasi bantuan dana meski dalam jumlah kecil. Melihat arah baru proyek BRI ini, Indonesia dapat mengambil peluang untuk mempercepat transisi energi sekaligus meningkatkan tata kelola pemerintahan sesuai dengan kesepakatan BRI.

“Jika Cina benar-benar ingin berinvestasi dalam ekonomi hijau, maka akan mendongkrak citranya dibandingkan dengan negara-negara Barat yang kurang bersedia menanamkan modal di Indonesia,” ungkap Fitri Bintang Timur, peneliti tamu di International Institute for Strategis Studies (IISS) kepada CGSP.

Kehadiran Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) pada pertemuan tersebut menghasilkan perjanjian kerja sama bernilai US$12 miliar di bidang baterai, energi terbarukan, dan kesehatan antara swasta dan BUMN kedua negara. Di lain sisi, dana sebesar US$20 miliar yang disponsori Barat melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP) yang dijanjikan sejak 2022 masih belum terealisasi.

Firdaus Cahyadi, konsultan komunikasi untuk kelompok lingkungan hidup internasional 350.org, mengatakan bahwa upaya untuk memastikan keterlibatan Cina dalam transisi energi Indonesia harus menjadi prioritas utama dalam beberapa bulan mendatang menjelang Pemilu 2024.

“Proyek energi terbarukan adalah proyek jangka panjang, dan Jokowi akan segera mengakhiri masa jabatannya sebagai Presiden Indonesia,” ujar Firdaus.

Presiden Jokowi dan Ibu Iriana tiba di China

Presiden Joko Widodo dan Ibu Iriana Joko Widodo turun dari tangga pesawat Garuda Indonesia (GIA-1) setibanya di Bandara Internasional Peking di Beijing, China, Senin (16/10/2023). ANTARA FOTO/Desca Lidya Natalia/Spt.

Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menyatakan, Indonesia membutuhkan sekitar Rp3.500 triliun setara US$220 miliar untuk energi bersih. Sementara dana JETP, seperti sebagian besar skema BRI yang didominasi oleh utang, hanya mampu menutupi 10% jumlah tersebut.

“Alhasil, ada peluang besar bagi investasi Cina di energi terbarukan,” papar Firdaus selanjutnya.

Ia juga menambahkan, tahun lalu proyek energi ramah lingkungan seperti tenaga surya, angin, dan air di bawah BRI meningkat 50 persen. Meskipun masih perlu hati-hati, namun tampaknya ada sedikit peningkatan optimisme di kalangan analis terhadap fase baru proyek BRI.

Salah satu faktor utama optimisme ini adalah fase proyek BRI kali ini diprediksi akan menghadirkan model keuangan yang baru dan keterlibatan perusahaan Cina yang lebih besar. Proyek ekologi yang berkelanjutan, dan terutama energi ramah lingkungan, tampaknya juga semakin meningkat.

Dalam satu dekade terakhir ini Cina telah menghabiskan US$1 triliun, mayoritas berupa pemberian utang, untuk membangun pembangkit listrik, jalan, bandara, dan infrastruktur besar lainnya di negara berkembang. Namun, banyak dari investasi besar yang dianjurkan oleh Cina dikritik habis-habisan karena bertentangan dengan semangat keberlanjutan dan pembangunan ramah lingkungan.

Lebih lanjut, Cina juga menyampaikan akan mendukung upaya dekarbonisasi Indonesia, tetapi implementasi konkritnya masih harus dilihat. Faktanya, merujuk data CELIOS (Center of Economic & Law Studies), sekitar 86% pendanaan saat ini masih dihabiskan untuk membangun pembangkit listrik tenaga batu bara.

“Pembangkit listrik tenaga fosil di bawah proyek BRI yang didanai oleh Cina berkontribusi atas sekitar 245 juta ton produksi karbon dioksida tiap tahunnya,” ungkap Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira Adhinegara.

Bhima juga menambahkan bahwa, “Di Indonesia, terdapat banyak proyek yang memiliki risiko lingkungan dan sosial yang tinggi, terutama smelter nikel yang masih menggunakan PLTU skala besar.”

China New Silk Road

Presiden China Xi Jinping menyampaikan pidatonya selama upacara pembukaan Belt and Road Forum Pusat Konvensi Nasional China di Beijing, Minggu, 14 Mei 2017. Xi menawarkan puluhan miliar dolar untuk proyek-proyek yang merupakan bagian dari inisiatif kebijakan luar negerinya yang menghubungkan China ke beberapa negara Asia, Eropa dan Afrika. AP Photo / Alexander Zemlianichenko

Bergandengan Tangan untuk Energi Surya

Meskipun masih dalam tahap awal membangun industri nikel-kendaraan listrik, Indonesia mulai mengincar mimpi manufaktur lain, yakni panel tenaga surya. Seperti nikel dan kendaraan listrik, Cina termasuk negara pertama yang memberikan dana.

Baik Fitri maupun Firdaus menilai panel surya memiliki potensi paling tinggi dibandingkan energi terbarukan lainnya. Menurut pemerintah, sekitar 50% dari total energi terbarukan Indonesia dapat berasal dari energi surya.

“Investor suka (berinvestasi) karena di sini monopoli, tidak ada pesaing,” tegas Fitri.

“(Listrik) di Indonesia itu dimonopoli oleh PLN, kemitraan apa pun akan dikoordinasikan oleh PLN, keuntungan apa pun akan masuk ke PLN, dan kerugian apa pun akan ditanggung oleh pemerintah,” jelas Fitri lebih lanjut.

Namun sisi negatifnya, akan sulit memantau dampak dan manfaatnya bagi masyarakat.

PLN telah menandatangani perjanjian di forum Belt and Road untuk mengembangkan jalus transmisi super grid dan smart grid, serta pabrik sel dan panel surya di Jawa Tengah, senilai total US$54 miliar. Jumlah ini melebihi jumlah janji Grup Xinyi Cina yang pada Juli mengucurkan dana sebesar US$11,6 miliar untuk mengembangkan pabrik kaca dan panel surya di Pulau Rempang.

Indonesia kini dalam pengawasan dunia internasional atas caranya dalam mengembangkan nikel, yang merupakan bagian penting dari rantai pasok kendaraan listrik. Rencana energi surya saat ini kembali menunjukkan tanda-tanda akan mengulangi kesalahan yang sama.

Contohnya, ribuan warga di Rempang saat ini menghadapi penggusuran paksa dari desanya untuk membangun pabrik panel surya. Pihak berwenang setempat bahkan menekan dan mengintimidasi mereka yang memprotes penggusuran tersebut.

Rempang sangat strategis karena dikelilingi pulau-pulau yang mengandung pasir silika dan pasir kuarsa, yang merupakan bahan baku panel surya elektronik. Pejabat senior pemerintah telah mengumumkan bahwa mereka akan mendorong hilirisasi pasir silica dan kuarsa, seperti yang dilakukan pada nikel.

Faris Adnan, peneliti di Institute for Essential Service Reform (IESR) mengatakan, pasir kuarsa dan silika mungkin memiliki potensi pendapatan yang lebih besar dibandingkan nikel. “Ini pendapat pribadi, tetapi pemain baterai mulai menjauh (dari nikel) karena sumber dayanya terbatas. Di sisi lain pasir kuarsa tidak akan tergantikan secepat itu,” jelas Faris.

Direktur CELIOS Bhima merekomendasikan agar proyek BRI ke depan mendukung tata kelola industri pertambangan dan pengolahan mineral penting yang lebih baik, lebih transparan, dan menghilangkan kerusakan lingkungan serta kerugian terhadap masyarakat dan pekerja lokal. Pada saat yang sama, pemerintah Indonesia harus lebih tegas dalam menurunkan emisi karbon dari seluruh proyek dan harus lebih selektif dalam memilih pendanaan.

“Indonesia perlu membicarakan komitmen Cina terhadap pembangunan hijau karena Indonesia membutuhkan Cina sebagai mitra strategis dalam pendanaan transisi energi yang berkeadilan, dengan atau tanpa JETP,” tutup Bhima.

Catatan: Artikel ini tayang pertama kali di CGSP oleh Antonia Timmerman dengan judul China’s Belt & Road Checks May Get Smaller, But Indonesia Can Still Get Plenty.

Baca juga artikel terkait BELT ROAD INITIATIVE atau tulisan lainnya dari The China Global South Project

tirto.id - Ekonomi
Penulis: The China Global South Project
Editor: Dwi Ayuningtyas