tirto.id - Empat dekade lalu, kelompok muda Lebanon bernama Hizbullah menyusun manifesto. Mereka berjanji akan berperang melawan Israel dan Barat demi membangun negeri yang sepenuhnya dijalankan sesuai dengan syariat Islam.
Negeri yang dimaksud bukan hanya Lebanon, melainkan Jazirah Arab, wilayah yang membentang dari Semenanjung Arab hingga Mesopotamia. Hizbullah mencoba menggapai kembali kemasyhuran Kekhalifahan Islam yang pernah berhasil mempersatukan dunia Arab, bahkan merangsek hingga ke Spanyol.
Lahir sebagai buah dari Revolusi Iran tahun 1979, Hizbullah memiliki kerja sampingan sebagai pelayan Iran--bangsa besar di abad pertengahan yang bertransformasi menjadi tanah sekuler, lalu diubah menjadi negeri Syiah di tangan Ruhollah Khomeini setelah menggulingkan kekuasaan Mohammed Reza Pahlevi.
Merujuk laporan khusus The Economist berjudul "The Arab World" (Agustus, 2021), lewat Hizbullah, Iran ingin menggaungkan semangat revolusi ke segala penjuru Jazirah Arab. Dengan catatan, revolusi yang diharapkan terjadi harus menempatkan Syiah sebagai yang utama.
Namun, di Islam juga ada Sunni yang secara jumlah lebih banyak dibandingkan Syiah di seluruh dunia, termasuk di Jazirah Arab. Akibatnya, keinginan Iran mendapat tentangan, terutama dari negeri yang dianggap wajah utama Sunni dan wajah dunia Islam secara keseluruhan, yakni Arab Saudi.
Uniknya, bak meminjam strategi Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, upaya menghantam Iran tak dilakukan Arab Saudi dengan tangannya sendiri (paling tidak pada dekade-dekade awal konflik Arab-Iran), tetapi meminjam kekuatan lain khususnya yang segolongan (Sunni), baik dalam bentuk negara ataupun kelompok-kelompok paramiliter.
Pada 1980-an, misalnya, Arab Saudi menggempur Iran melalui tangan Saddam Hussein dengan mahar senilai $37 miliar.
Perlahan, konflik Arab Saudi-Iran menggurita ke seluruh penjuru Jazirah Arab lewat pelbagai proksi yang dilahirkan kedua negara, termasuk di tanah air masing-masing. Misalnya, di Arab Saudi, muncul Hezbollah Al-Hejaz dan Organization for the Islamic Revolution in the Arabian Peninsula (OIRAP) sebagai kelompok dalam negeri pro Iran.
Merujuk Athina Tzemprin dalam The Middle East Cold War (2015), ini bisa terjadi karena Barat yang hengkang dari Jazirah Arab setelah Perang Dunia II mewariskan pengkotak-kotakan negeri secara asal-asalan. Suku-suku dan penganut kepercayaan yang saling berseteru digabungkan dalam satu negara tertentu.
Arab Saudi contohnya, "dibentuk sebagai negara modern atas penaklukan empat wilayah geografis yang sebelumnya tak pernah bisa bersatu [...] Wilayah-wilayah ini mempertahankan rasa identitas daerah mereka yang kuat," tulis Tzemprin.
Di wilayah lain, selain Hizbullah dan dua organisasi pro Iran di dalam negeri Arab Saudi, muncul Liwa Fatemiyoun, Gerakan Houthi, Popular Mobilization Forces, Brigade Al-Ashtar, Brigade Al-Mukhtar, Husseiniyoun, Muslim Brotherhood, Liwa Zainebiyoun, IMN, dan Polisario Front sebagai kelompok-kelompok pendukung Iran.
Sebaliknya, di Iran lahir kelompok-kelompok pro Arab Saudi dalam bentuk Free Syrian Army (FSA), National Council of Iran (NCI), Democratic Party of Iranian Kurdistan (PDKI), Kurdistan Free Life Party (PJAK), Komala, dan Arab Struggle Movement for the Liberation of Ahwaz (ASMLA).
Juga kelompok lain di seluruh penjuru Jazirah Arab semisal Jaish ul-Adl Ahvaz National Resistance, Kurdistan Freedom Party (PAK), Army of the Men of the Naqshbandi Order (JRTN), Sadrist Movement, dan Lebanese Forces (LF).
Adu hegemoni Arab Saudi dan Iran jadi bara utama pelbagai konflik di Timur Tengah, termasuk perang sipil di Suriah dan Yaman, perebutan kekuasaan di Bahrain, Lebanon, Qatar, dan Irak.
Bara ini kian memanas pada 2016 setelah terjadi serangan terhadap Kedutaan Besar Arab Saudi di Teheran. Juga serangan drone Iran yang memorak-porandakan fasilitas kilang minyak Arab Saudi pada 2019 sebagai balasan terhadap eksekusi yang dilakukan Arab Saudi terhadap Nimr al-Nimr, tokoh Syiah Iran.
Konflik Arab Saudi-Iran kian rumit karena keduanya bukan kekuatan terbesar wilayah ini. Israel, anak kandung Inggris yang diadopsi Paman Sam, adalah negeri terkuat di Timur Tengah, sekaligus paling berbeda yang turut serta memanas-manasi situasi.
Upaya Cina Menjadi Penguasa Baru Dunia
Pada 10 Maret 2023, penasihat keamanan nasional Arab Saudi dan Iran setuju untuk memulihkan hubungan diplomatik. Kabar ini tidak datang dari wilayah manapun di Timur Tengah atau dari Washington sebagai kekuatan terbesar di dunia, melainkan dari Beijing, Cina, lewat salah satu diplomat terbaik mereka, Wang Yi.
Dalam sejarah panjang konflik Timur Tengah, Cina tak pernah menampakkan batang hidungnya di wilayah ini. Maka usaha Cina mendamaikan Arab Saudi dan Iran terasa aneh. Namun, keanehan ini segera sirna mengingat betapa pentingnya Timur Tengah bagi Cina sebagai pemasok energi.
Dalam "China and the Middle East" (Trinity Collage, 2014) yang ditulis Xiangmin Chen, sejak 2014 Cina adalah pengimpor minyak mentah terbesar di dunia dengan 6,1 juta barel per hari. Meskipun Cina telah berusaha untuk mendiversifikasi sumber minyaknya, Timur Tengah merupakan wilayah pemasok terpenting, menyumbang 52 persen impor Cina atau setara dengan 3,2 juta barel minyak mentah per hari.
Dari jumlah tersebut, Arab Saudi dan Iran menjadi penyokong utama. Demi menjaga pasokan minyak, Cina mengeluarkan dana melimpah untuk membangun kilang dan teknologi baru di wilayah ini, seperti investasi senilai $100 juta untuk National Iranian Oil Company dalam membangun Yadavaran.
Tentu tak hanya minyak sebagai alasan. Dipaparkan Andrew Scobell dalam "Why the Middle East Matters to Cina" (China's Presence in the Middle East, 2018), secara umum Timur Tengah penting bagi Cina, terutama bagi hegemoni yang ingin mereka gaungkan ke seluruh penjuru dunia.
Sejak Presiden Xi Jinping berkuasa pada 2012, Cina tak cuma berhasrat melejitkan ekonomi dalam negerinya, tetapi berupaya "membentuk dunia abad ke-21 ini sesuai cara Cina, selayaknya AS yang membentuk dunia abad ke-20 dengan kehendak mereka," tutur Scobell.
Dalam menjalankan misinya, Cina melihat tanah airnya sebagai "pusat dunia" yang dikelilingi tiga lingkaran, yakni negara-negara yang bersebelahan dengannya sebagai lingkaran pertama, Asia Pasifik (termasuk Asia Tenggara) sebagai lingkaran kedua, dan seluruh sisa wilayah dunia (termasuk Timur Tengah dan Amerika Utara) sebagai lingkaran ketiga.
Bagi Cina, terdapat ancaman nasional yang serius di setiap lingkaran, dengan dinamika domestik (di titik pusat) sebagai paling berbahaya bagi kekuasaan Cina sendiri.
Meskipun melihat ancaman dalam lingkup terpisah, yang paling ditakutkan Cina adalah kemungkinan ancaman-ancaman di setiap lingkaran ini bersatu, bergabung, berinteraksi di seluruh lingkaran yang akhirnya memperparah dinamika domestik.
Di tangan Mao Zedong, usaha membendung ketakutan terbesar ini dilakukan dengan cara menutup diri, "Great Leap Forward". Namun, sadar bahwa kekuatan ekonominya sukses membungkam kritik di dalam negeri dan kekuatan ekonomi ini hanya bisa diraih dengan kerja sama internasional yang terbungkus secara apik dalam "made in China", maka "Great Leap Outward" kemudian dipilih.
Dimulai Deng Xiaoping lalu dilanjutkan Xi Jinping, Cina masuk ke segala negara di dunia dengan kekuatan ekonomi yang dimilikinya dalam bungkus "Jalur Sutra Baru".
Khusus bagi Timur Tengah, usaha ini dilakukan terutama untuk membuat konflik di sana tak menyebar ke lingkaran lain dunia, terutama ke titik pusat. Terlebih, kala Jazirah Arab dilanda Musim Semi (Arab Spring).
Pembangunan sistem kereta api di Makkah dan Teheran pada 2010 jadi cara pertama Cina membeli pengaruh di kawasan Timur Tengah.
Tak cuma itu, pentingnya Timur Tengah bagi Cina adalah kenyataan bahwa wilayah ini, sebelum Cina tiba, jadi area adu kekuatan Barat. Cina sukar menjadi kekuatan paling besar di dunia apabila tak ikut-ikutan berkompetisi di Jazirah Arab.
Editor: Irfan Teguh Pribadi