Menuju konten utama

Riwayat Hubungan Arab Saudi dengan Cina yang Kiwari Kian Mesra

Hubungan Arab Saudi dengan Cina kian menguat di tengah renggangnya hubungan Amerika Serikat dengan negara-negara Arab.

Riwayat Hubungan Arab Saudi dengan Cina yang Kiwari Kian Mesra
Header Mozaik Relasi Cina-Saudi. tirto.id/Tino

tirto.id - Tiga minggu setelah pertemuan dengan Presiden Amerika Serikat Joe Biden di Bali, Presiden Cina Xi Jinping bertolak menuju Riyadh. Ia hendak menemui Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz dan Putra Mahkota Muhammad bin Salman.

Seperti dilansir Antara, lawatan Xi Jinping ke Arab Saudi berkaitan dengan agenda Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Cina- Arab yang diselenggarakan pada pekan kedua Desember.

Menyikapi agenda ini, AS meradang. Pasalnya, KTT tersebut berkaitan dengan kedudukan Cina di wilayah Timur Tengah. Apapun hasilnya, dipastikan Negeri Tirai Bambu akan semakin memperkokoh serta mempertahankan pengaruhnya di Timur Tengah.

Peningkatan pengaruh ini niscaya akan semakin menyingkirkan posisi AS yang memang sudah melemah karena kerap konflik dengan negara-negara Arab. Dan salah satu dari negara tersebut adalah Arab Saudi.

Hubungan Saudi-AS belakangan memang sedang renggang. Penyebabnya, AS menuduh putra mahkota Saudi terlibat dalam kematian jurnalis Jamal Khashogi pada 2018, kegagalan kesepakatan ihwal energi, sampai keengganan Saudi memberi sanksi terhadap Rusia atas perang di Ukraina.

Meruncingnya hubungan ini ditunjukkan secara eksplisit oleh elite Riyadh. Seperti diwartakan CNN Indonesia, saat menyambut kunjungan Presiden Biden pada Juli lalu, putra mahkota tidak memberikan senyuman. Muhammad bin Salman bahkan menolak permintaan Biden di depannya langsung perihal peningkatan produksi minyak.

Sikap ini berbeda ketika berhadapan dengan Cina yang selalu disambut dengan tangan terbuka. Bagi Saudi, dibanding mengurusi perbaikan hubungan dengan AS yang kadang ingin menang sendiri, menghidupkan kemesraan dengan Cina di era sekarang adalah jalan terbaik.

Begitu pula dengan Cina. Di tengah meningkatnya kekuatan AS di Eropa dan Pasifik, menjalin hubungan bersama negara-negara Arab, khususnya Saudi sebagai negara berpengaruh besar di kawasan tersebut, menjadi langkah strategis.

Dari Masa Lampau

Kemesraan Cina-Saudi tidak muncul secara tiba-tiba dan mengalami pasang surut sepanjang berdirinya kedua negara. Menurut Yang Fuchang dalam “China-Arab Relations in the 60 Years’ Evolution” (Journal of Middle Eastern and Islamic Studies, 2018), akar hubungan Cina-Saudi, atau dengan negara Arab pada umumnya, bisa ditarik mundur sejak berabad-abad silam, tepatnya 2 ribu tahun lalu saat jalur sutra masih menjadi jalur perdagangan global.

Membentang sepanjang 6 ribu kilometer, dari Cina ke Asia Tengah dan berakhir di Timur Tengah, jalur sutra menjadi saksi bisu interaksi orang-orang Cina dan Arab untuk pertama kalinya. Selama proses tersebut, berbagai wilayah yang dilaluinya berkembang dan reputasinya meningkat.

Sebagai contoh, lahirnya ungkapan “tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”. Menurut Yang Fuchang, “kalimatnya mengindikasikan Cina telah memiliki reputasi besar di negara-negara Arab pada saat itu.” Reputasi yang membuatnya tidak dapat dipandang sebelah mata karena keberhasilan memproduksi barang terbaik dan gagasan baru.

Seiring waktu, kondisi politik dan perkembangan teknologi membuat kejayaan jalur sutra runtuh. Meski begitu, hubungan dua wilayah ini tidak berakhir begitu saja. Ekspedisi Kekaisaran Cina dari berbagai dinasti beberapa kali berhasil menjalin hubungan dagang dan politik dengan otoritas lokal dan pedagang Arab.

Hubungan yang berlangsung ribuan tahun ini sayangnya justru mengalami kemunduran ketika konsep negara terbentuk di dua wilayah itu sejak abad ke-20. Munculnya negara Arab Saudi dan Cina yang memiliki perbedaan pandangan politik membuat relasi tak lagi sama. Puncaknya terjadi ketika Cina menjelma menjadi negara komunis pada 1949.

Situasi global yang memanas karena perebutan pengaruh antara AS dan Soviet berdampak pula pada hubungan Cina-Saudi.

Sebagai catatan, Saudi adalah mitra strategis AS di Timur Tengah sejak 1930-an. Awal mula hubungan terjadi berkat kerja sama Kerajaan Saudi dengan perusahaan minyak AS, SOCAL (cikal bakal ARAMCO), untuk eksplorasi minyak.

Selain mendapat keuntungan ekonomi yang besar, hasil kerja sama ini juga membuat Saudi sukses mengamankan dukungan ekonomi dan politik dari AS. Karena bernaung di bawah lindungan AS, maka tak heran jika Saudi juga bersekutu dalam menentang perluasan pengaruh komunis di seluruh dunia, termasuk Cina.

Tentangan dari Saudi mendorong Cina memunculkan sikap antagonistik. Menurut Jonathan Fulton dalam Strangers To Strategic Partners: Thirty Years of Sino-Saudi Relations (2020), elite Cina memandang bahwa sistem monarki yang dijalankan negara-negara Teluk, termasuk Arab Saudi, adalah warisan imperialisme Barat. Maka, harus dilawan dan dihilangkan karena dianggap berbahaya.

Atas sikap seperti ini, kedua negara kesulitan mencari titik temu dan pada akhirnya berpegang teguh pada prinsip yang sama: tidak ingin menjalin hubungan diplomatik. Situasi beku ini bertahan hingga berpuluh-puluh tahun kemudian.

Dan kian parah ketika kedua negara sengaja membuat kebijakan yang memanaskan suasana, seperti dukungan Saudi untuk kedaulatan Taiwan, dukungan Cina terhadap gerakan anti-monarki di Oman pada 1960-an, serta penentangan Saudi atas keanggotaan Cina di PBB pada 1971.

Perang Iran-Irak sebagai Pembuka Jalan

Memasuki tahun 1979, Cina mulai membuka diri di percaturan politik global yang ditandai dengan diresmikannya hubungan diplomatik dengan AS. Perubahan kebijakan politik luar negeri ini juga berlaku terhadap Saudi. Meski tidak ada hubungan diplomatik, kedua negara mulai mengembangkan hubungan tidak resmi, khususnya di sektor ekonomi.

Sebagaimana dipaparkan Nasser M. Al-Tamimi dalam China-Saudi Arabia Relations, 1990-2012 (2016), jalinan pertama dibuktikan dengan dibukanya perjalanan haji bagi warga negara Cina oleh Saudi pada akhir 1979. Lalu diikuti oleh masuknya barang-barang Cina di pasar Saudi pada 1980-an.

Hubungan kedua negara mulai mencair secara drastis setelah tahun 1980-an kala Perang Iran-Irak pecah.

Dalam konflik itu, kedua negara bertempur setelah Irak menginvasi wilayah Iran secara mendadak. Irak didukung oleh AS, Soviet, Prancis, dan Saudi. Sementara Iran bertahan dengan dukungan dari Suriah, Korea Utara, dan Cina.

Di tengah pertempuran yang kian memanas, Saudi merasa bahwa konflik yang terjadi berbahaya bagi kedaulatan dan keamanan dalam negeri. Puluhan rudal yang ditembakkan dari dua negara jelas membuat Saudi gentar. Apalagi Iran yang semula disepelekan berhasil membalikkan keadaan dan tidak menutup kemungkinan akan menyerang Arab Saudi.

Beranjak dari sini, catat T. Y. Wang dalam “Competing For Friendship: The Two Chinas And Saudi Arabia” (Arab Studies Quarterly, 1993), para pemimpin Saudi mulai membutuhkan peralatan perang, yakni rudal berhulu ledak nuklir. Satu-satunya cara untuk mendapatkanya adalah menjajaki kerja sama persenjataan dengan Paman Sam. Namun, itu tidak mudah dilakukan.

Bagi AS, rudal yang diminta Saudi tidak realistis dan menjadi ancaman yang tidak dapat diterima. AS takut jika Saudi akan menggunakan senjata berbahaya tersebut untuk menyerang anak kesayangannya di Timur Tengah: Israel. Pasalnya, sejarah mencatat Saudi dan Israel tidak pernah akur.

Akibat penolakan dan tingginya ancaman, baik konteks peperangan atau Israel yang tak mungkin lagi dibendung, elite Saudi mulai melirik Soviet dan Cina.

Riyadh akhirnya memilih Cina. Keputusan itu diambil atas pertimbangan geografis dan politis. Cina lebih dekat dan kebetulan sedang meluaskan pengaruhnya di Timur Tengah.

Merujuk tulisan Bruce Riedel di Brookings, proses penjajakan senjata Saudi-Cina djalankan secara diam-diam agar tidak diketahui AS. Semua dilakukan oleh Menteri Pertahanan Sultan bin Abdulaziz Al-Saud dan Duta Besar Saudi untuk AS Bandar bin Sultan Al-Saud.

Infografik Mozaik Relasi Cina-Saudi

Infografik Mozaik Relasi Cina-Saudi. tirto.id/Tino

Keduanya melakukan kunjungan rahasia ke beberapa tempat bersama perwakilan Cina. Tiongkok setuju membantu Saudi di sektor persenjataan pada Desember 1986. Meski akhirnya ketahuan dan ditentang habis-habisan AS, kesepakatan rudal membawa Cina dan Saudi ke fase negosiasi serius.

Elite politik kedua negara sadar punya keunggulan masing-masing yang menjadi daya tawar untuk menjalin hubungan diplomatik. Saudi menawarkan minyak melimpah yang cukup untuk menunjang ketersediaan energi selama puluhan tahun.

Sementara Cina menawarkan keunggulan militer dan industri yang diproyeksikan bakal mengalahkan dominasi Barat beberapa tahun ke depan. Cina juga punya reputasi yang tidak kalah penting: bukan negara yang suka mengurusi rumah tangga negara lain apapun masalahnya dan hanya fokus pada kepentingan bisnis.

Khusus yang terakhir, ini memang menjadi daya pikat kuat dan pembeda dengan AS yang terkenal punya rekam jejak merecoki internal negara lain.

Keunggulan yang ditawarkan kedua negara akhirnya berbuah manis. Pada 21 Juli 1990, Saudi dan Cina mencapai kata mufakat untuk menjalin hubungan diplomatik.

Meski demikian, menurut Evan Freidin, peneliti di lembaga think thank Lowy Institute, hubungan yang terjadi sangat bersifat transaksional. Sebagai contoh, Cina bakal memberi senjata jika Saudi mengirimkan minyak, atau sebaliknya. Jika tidak dilakukan, maka tidak terjadi proses pertukaran.

Terlepas dari sifatnya yang demikian, kerja sama yang telah dibangun sejak tahun 1990 itu sangat dirasakan hasilnya saat ini dan membuktikan bahwa keduanya tidak salah langkah. Aspek ekonomi dan energi tetap menjadi keuntungan yang dapat dinikmati Cina-Saudi di tengah situasi global yang tidak menentu.

Baca juga artikel terkait DIPLOMATIK atau tulisan lainnya dari Muhammad Fakhriansyah

tirto.id - Politik
Kontributor: Muhammad Fakhriansyah
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Irfan Teguh Pribadi