tirto.id - Perang Iran vs Irak pada awal dekade 1980-an begitu mengguncang kawasan Teluk, memantik perhatian seluruh dunia, sekaligus berdampak panjang. Baku tembak dimulai pada 22 September 1980, tepat hari 40 tahun lalu, saat Presiden Irak Saddam Hussein memerintahkan invasi militer ke Khuzestan, provinsi penghasil minyak di Iran. Serbuan itu mengawali salah satu pertempuran paling berdarah dan merusak setelah Perang Dunia II.
Korban tewas akibat adu kekuatan militer dua negara ini diperkirakan mencapai 1,5 juta. Jutaan penduduk harus mengungsi, serta ribuan lainnya hidup dalam bui. Perang ini diperkirakan menghabiskan biaya hingga 300 miliar dolar AS.
Mayoritas pengamat internasional bersepakat bahwa perang dipicu oleh invasi militer Irak. Namun, rezim Saddam mengklaim sebaliknya: konflik dipicu aksi pasukan Iran menembaki kota-kota dan perdesaaan di sepanjang wilayah tengah perbatasan kedua negara.
"Dampak perang ini di level regional maupun internasional dapat diukur, tapi asal usul konflik sulit dipahami," tulis Will D. Swearingen dalam "Geopolitical Origins of the Iran-Irak War" yang terbit pada 1988 di Jurnal Geographical Review.
Hingga hampir satu dekade setelah perang meletus, perbedaan pendapat di kalangan para analis terus muncul mengenai pemicu sebenarnya perang Irak vs Iran pada 1980. Banyak aspek membuat kabur asal-usul konflik, termasuk intervensi Amerika Serikat serta pihak lain.
Sebagian pengamat berpendapat perang dipicu oleh sengketa perbatasan kedua negara di sepanjang 105 kilometer aliran sungai Shatt al-Arab. Perang memang dilatarbelakangi oleh keputusan Saddam membatalkan perjanjian tahun 1975 yang memberi Iran wilayah perbatasan seluas 518 km persegi, di sebelah utara aliran sungai Shatt al-Arab. Wilayah itu semula menjadi imbalan atas jaminan Iran menghentikan bantuan militer kepada minoritas Kurdi yang sedang berjuang untuk merdeka dari Irak. Namun, sejumlah pengamat lainnya menyebut sengketa perbatasan hanya dalih untuk perang, yang sebenarnya tidak melulu terkait masalah teritorial.
Mengutip ulasan Williamson Murray dan Kevin M. Woods dalam The Iran-Irak War: A Military and Strategic History (2014), perang Iran vs Irak tidak terlepas dari perubahan besar di Timur Tengah setelah revolusi yang dipimpin Ayatollah Khomeini membuat rezim sekutu AS--pemerintahan Shah Reza Pahlevi--berantakan pada 1979. Pada tahun yang sama, Saddam bersama Partai Baath berhasil memaksa Presiden Ahmed Hassan al-Bakr mundur.
Bangkitnya kekuasaan yang direstui para Mullah Syiah menyebabkan sejumlah negara di Timur Tengah menyetel alarm waspada, terutama rezim Baath di Irak yang memiliki proyek politik internasional yang cukup besar. Saddam maupun Khomeini memiliki ambisi yang jauh lebih luas dari batas negara mereka.
Maka itu, dua negara ini akhirnya saling berebut dominasi. Murray dan Woods menulis, Saddam dan pendukungnya di Partai Baath meyakini keputusan menyerbu Iran adalah langkah awal untuk merebut kepemimpinan di dunia Arab. Pada ujung berlainan, Khomeini dan seluruh anak-anak ideologisnya mengobarkan bara semangat untuk mengekspor revolusinya ke seluruh dunia, yang dimulai dari negara-negara Islam di Timur Tengah.
Namun, kenyataannya tidak ada yang benar-benar menang dalam perang ini. Yang tak terbantahkan hanya besarnya jumlah korban tewas dan banyaknya warga sipil yang sengsara.
Meskipun seruan gencatan senjata Dewan Keamanan PBB dan negosiasi yang dibesut oleh Sekjen PBB, Javier Perez de Cuellar, akhirnya disepakati oleh kedua negara pada pertengahan 1988, tapi ketegangan tidak pernah benar-benar padam.
"Kedua pemimpin memulai konflik dengan keyakinan bahwa emosi, retorika sederhana, dan populasi yang termotivasi untuk berperang akan memberikan kemenangan. Ketika mereka gagal, tanggapan mereka adalah menyeret lebih banyak orang dan sumber daya ke dalam perang, sembari mengeluarkan pernyataan yang lebih fanatik dan keras," demikian tulis Murray dan Woods di bab pembuka bukunya.
Perang Iran vs Irak juga memiliki akar mendalam di sejarah kawasan Mesopotamia--sekalipun pernah menjadi pusat peradaban besar--yang kerap dibakar konflik.
Selain riwayat konflik yang rumit pada masa setelah Imperium Ottoman bubar, Irak pada masa Saddam berkuasa juga dipengaruhi pandangan kelompok Sunni "Irak" yang selalu waspada terhadap dua gugus kekuatan budaya di Timur Tengah, Sunni "Arab" dan Syiah "Persia" (Murray dan Woods, hlm 19-18).
Di sisi lain, visi Saddam ditopang oleh semacam kebanggaan akan bangsa yang berdiam di kawasan tempat pusat peradaban pernah bersinar, baik pada era Islam maupun sebelumnya. Dia mengira, dengan mengobarkan perang terhadap tetangga "Persia-nya" akan melapangkan jalan bagi Irak untuk menggalang dukungan sekaligus menguatkan klaimnya sebagai pemimpin dunia Arab. Pemikiran itu pun terlihat pada ucapan agitasinya seperti yang disampaikan Saddam dalam KTT ketiga Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 28 Januari 1981:
"Masalah antara Irak dan Iran berakar pada 450 tahun lalu, jika kita mau menilik sejarah. Perang ini bukan soal sengketa perbatasan ataupun wilayah penerbangan, tapi sesuatu yang jauh.... lebih besar. Masalah utama terletak pada sikap tamak dan ekspansionis Iran di dekat perbatasan jazirah Arab."
Serangan Kilat Memicu Perang 8 Tahun
Perang Iran vs Irak yang dimulai pada tahun 1980 berjalan hingga delapan tahun lamanya. Konflik meledak dengan bumbu isu Sunni vs Syiah, Persia vs Arab, sengketa perbatasan, hingga pertentangan ideologi politik.
Sejarawan terkemuka asal AS dengan spesialisasi kajian Irak modern, Phebe Marr menyatakan bahwa, "secara langsung, perang ini hasil dari penilaian politik yang buruk dan salah perhitungan di pihak Saddam."
Kampanye militer dilancarkan rezim Saddam dengan kepercayaan diri besar. Iran dinilai sedang tidak stabil, dan intelijen Irak memprediksi militer negara lawan tidak memiliki alutsista yang memadai. Kawasan Khuzestan, sasaran pertama Irak, juga sedang tidak dijaga ketat. Baghdad menilai Garda Revolusi pimpinan mullah tanpa pengalaman militer akan mudah diempaskan dalam waktu singkat. Sementara militer Irak pada awal 1980-an mempunyai 190.000 pasukan, 2.200 tank, 450 pesawat tempur, serta beragam senjata berteknologi terbaru dari Uni Soviet.
Satu-satunya ketidakpastian bagi intelijen Irak adalah kekuatan udara lawan yang dilengkapi beberapa pesawat terbaru buatan AS. Angkatan udara Iran sebelumnya sudah menunjukkan kepiawaian saat menjegal upaya AS membebaskan sandera di negara itu pada April 1980. Agaknya inilah yang membuat Irak melancarkan serangan udara besar-besaran ke pangkalan Iran pada masa awal perang.
Namun, kalkulasi militer Irak meleset. Pada 22 September 1980, formasi pesawat MiG-23 dan MiG-21 dikerahkan Irak untuk memborbardir pangkalan udara dekat Teheran, yakni Mehrabad dan Doshen-Tappen, serta delapan lokasi lainnya. Serangan itu menghancurkan landasan pacu, depot bahan bakar hingga gudang amunisi, tapi pesawat-pesawat Iran masih utuh. Maka, hanya beberapa jam setelah serangan mendadak itu, beberapa jet tempur F-4 Phantom diluncurkan Iran untuk mengebom sejumlah target strategis dekat kota-kota besar di Irak.
Secara bersamaan, 6 divisi tentara Irak merangsek masuk wilayah Iran melalui 3 front yang semula berhasil dan bisa bergerak hingga sejauh 8 kilometer dari perbatasan. Pasukan Irak sempat menduduki 1.000 kilometer persegi wilayah Iran. Mereka juga dengan mudah menduduki titik utama jalur penghubung Teheran-Baghdad di area perbatasan Qasr-e Shirin, sebuah kota di Provinsi Bakhtaran. Sementara di Khuzestan, kendaraan lapis baja Irak dengan mudah melintasi jalur air Shatt al Arab. Beberapa kota lain dengan cepat diduduki oleh Irak pada 1980.
Serbuan kilat itu sempat membuat sejumlah analis menduga Irak bakal menang dalam hitungan pekan. Namun, Iran bergerak cepat untuk membendung invasi lawan. Rezim revolusioner yang baru terbentuk segera memobilisasi ratusan ribu relawan dan tentara veteran untuk turut berperang. Setidaknya 200 ribu milisi dengan ketaatan ideologis pada Khomeini dikerahkan ke garis depan sejak akhir November 1980.
Sebenarnya, dalam periode awal perang ini, Iran sempat direpotkan oleh krisis politik dalam negeri. Maka itu, Iran baru bisa meraih kemenangan di front garis depan setelah Presiden Bani Sadr digulingkan dan mobilisasi relawan bertambah massif. Iran menggalang relawan dari usia anak-anak hingga 50-an tahun.
Seorang warga Iran veteran perang itu, Mehdi Talati, mengaku ikut angkat senjata saat usianya baru 15 tahun. Ia menganggap seruan perang dari Khomeini adalah sesuatu yang tidak mungkin ia abaikan
"Ketika dia memberi perintah untuk mempertahankan negara, kami dengan senang hati menjawab panggilannya," kata Mehdi kepada BBC.
"Semua generasi saya ikut maju perang, dan menurut saya, kami pergi dengan sukacita."
Irak Terdesak dan Senjata Kimia
Setahun usai serangan Irak yang begitu cepat, militer Iran mulai mampu merepotkan Baghdad. Titik balik terlihat saat perang ini memasuki tahun ketiga. Pada Maret 1982, operasi militer yang dilancarkan Teheran merangsek garis pertahanan pasukan Irak untuk pertama kali dan memaksa mereka mundur. Dalam sepekan, Iran menghancurkan mayoritas kekuatan tiga divisi Irak. Operasi gabungan dari tentara Iran, pasukan Garda Revolusi Pasdaran, dan milisi paramiliter Basij, menjadi pertanda bahwa inisiatif strategis bergeser dari Irak ke Iran.
Dua bulan kemudian, Saddam mengumumkan pasukan Irak akan mundur dari wilayah Iran. Namun, Iran tidak hendak mengakhiri perang dan melanjutkan serangan meski Baghdad bilang mau berunding pada akhir Juni 1982. Secara konsisten, Iran mengerahkan serangan kombinasi antara militer, Pasdaran, dan Basij. Pengerahan relawan menimbulkan korban besar di kubu Iran, tapi efektif menggerus pertahanan Irak.
Resistensi Iran memaksa Irak mengubah haluan, dari semula hendak melakukan aneksasi wilayah menjadi mencegah Iran mengambil keuntungan dari perang. Pada 1984, Irak pun mulai mendesak Iran maju ke meja perundingan. Saddam mendorong hal itu dengan menambah kekuatan militernya dan menyasar target pusat ekonomi milik musuh. Bahkan, senjata kimia juga dikerahkan. Iran menuduh Irak telah menjatuhkan 40 bom kimia antara Mei 1981 dan Maret 1984, meski Saddam menyangkalnya.
Pada 1984, sekitar 300 ribu tentara Iran dan 250 ribu tentara Irak telah terbunuh serta luka-luka. Masa depan perang ini menemui jalan buntu.
Penggunaan senjata kimia oleh Irak memaksa PBB bersuara keras. Pada akhir Maret 1986, Sekretaris Jenderal PBB, Javier Perez de Cuellar, secara resmi menuduh Irak menggunakan senjata kimia untuk melawan Iran. Menurut perwakilan Inggris pada Konferensi Perlucutan Senjata di Jenewa pada Juli 1986, "Perang kimia Irak menyebabkan sekitar 10 ribu korban."
Adu misil kedua negara juga menyasar kapal-kapal tanker maupun kapal dagang sipil yang berlayar di perairan sekitar Teluk. Tujuannya tentu saja untuk membuat kegiatan ekspor kedua negara penghasil minyak ini terhenti.
Selama perang, Irak menembakkan 361 rudal Scud B dari 1982 hingga 1988. Selain itu Irak juga menembakkan 160-an rudal al-Hussein ke Teheran. Sebaliknya, Iran menembakkan 117 rudal Scud yang 60 di antaranya ke Baghdad. Maka itu, jumlah korban tewas di kubu Iran lebih banyak.
Perang delapan tahun itu baru berakhir ketika kedua negara sepakat menerima Resolusi 598 Dewan Keamanan PBB, yang mengarah pada gencatan senjata pada 20 Agustus 1988--setahun sebelum Ayatollah Khomeini tutup usia.
Editor: Irfan Teguh