tirto.id - Saddam Hussein boleh jadi pemimpin otoriter yang punya banyak lawan, tapi ekonomi Irak sempat menanjak pada permulaan kekuasaannya di tahun 1979.
Prospek cerah didorong oleh produksi minyak yang mencapai 3,5 juta barel per hari. Keuntungan dari minyak sendiri mencapai 21 miliar dolar AS pada 1979. Setahun berselang angkanya naik menjadi 27 miliar karena harga minyak memecahkan rekor tertinggi.
Berdasarkan data Bank Dunia, pada 1980 jumlah Produk Domestik Bruto (PDB) Irak sempat menembus 53,406 miliar dolar. Pencapaian ini naik dua digit dari tahun sebelumnya, yakni 37,816 miliar dolar. Irak mengumpulkan cadangan devisa sekitar 35 miliar dolar pada akhir tahun tersebut.
Perang Irak-Iran yang menggelora selama satu windu (1980-1988) sempat menggoyahkan ekonomi Irak. Namun setelahnya terjadi perbaikan yang dipicu meningkatnya ekspor minyak secara perlahan.
Kuncinya ada pada pembangunan jaringan pipa baru serta pemulihan fasilitas yang rusak. Puncaknya, pada 1990 pendapatan negara Irak mencapai 179,889 miliar dolar.
Irak bergantung pada ekspor minyak—tapi demikian pula negara-negara Arab lain. Panasnya persaingan di Timur Tengah sering kali bukan didasarkan pada persoalan ideologis atau politis, tapi ekonomis.
Bersamaan dengan kebangkitan ekonomi Irak, tetangganya, Kuwait, memutuskan untuk menurunkan harga minyak.
Kebijakan tersebut menurunkan pendapatan Irak secara signifikan. Arsip New York Times melaporkan Saddam kemudian meminta Kuwait untuk membayar miliaran dolar AS kepada Irak sebagai kompensasi. Kuwait tidak menuruti permintaan tersebut.
Hubungan kedua negara semakin tegang setelah Saddam juga menuduh Kuwait mencuri minyak Irak dengan metode pengeboran miring (slant drilling). Asalnya dikatakan dari teritori Kuwait tembus hingga ke ladang minyak Irak di wilayah Rumala.
Problem ini bisa ditelusuri hingga 1960 ketika Liga Arab menentukan batas wilayah Irak-Kuwait. Rumala ditentukan menjadi milik Irak. Tuduhan bermula pada era Perang Irak-Iran sebab saat itu produksi minyak di Rumala menurun sementara produksi Kuwait sedang besar-besarnya.
Kuwait mengelak. Mereka mengatakan tuduhan sebagai taktik palsu Irak untuk melegitimasi intervensi militer terhadap Kuwait.
Kekhawatiran Kuwait terbukti. Pada 2 Agustus 1990, tepat hari ini 29 tahun lalu, Saddam Hussein melancarkan invasi militer terhadap Kuwait.
Mengelak Bayar Utang, lalu Menginvasi
Hanya butuh dua hari bagi pasukan Saddam untuk menggulingkan pemerintahan resmi Kuwait, mendirikan rezim boneka bernama Republik Kuwait, dan beberapa hari kemudian mengumumkannya sebagai provinsi ke-19 Irak.
Sejumlah sejarawan meyakini motif invasi juga didasarkan pada klaim historis bahwa Kuwait adalah bagian alamiah Irak sebagai hasil dari imperialisme Inggris.
Lainnya menelusuri hingga ke Perang Iran-Irak. Salah satunya Musallam Ali Musallam dalam bukunya, The Iraqi Invasion of Kuwait: Saddam Hussein, His State and International Power Politics (1996).
Musallam mencatat Kuwait pada awalnya bersikap netral di Perang Iran-Irak. Mereka mencoba menjadi mediator di antara dua negara.
Politik netral gagal. Pada akhirnya Kuwait mendukung Irak dan koalisi Arab. Bentuk sokongannya berupa pasukan, perlengkapan militer, dan tak ketinggalan dana segar untuk menguatkan pertahanan Irak.
Bantuan yang diperkirakan mencapai hampir 15 miliar dolar tersebut dianggap sebagai utang. Tapi Irak belum dalam kondisi mampu membayarnya setelah perang berakhir.
Irak meminta Kuwait melupakan soal utang dengan alasan dana dipakai untuk membiayai kemenangan Irak dan otomatis menggagalkan hegemoni Iran atas Kuwait. Tapi Kuwait tetap minta pelunasan.
Meski terdapat pertemuan resmi maupun tidak resmi, kesepakatan final tidak pernah tercapai. Kedua negara sama-sama ngotot. Problem ini tetap mengawetkan kerenggangan hubungan antara Irak dan Kuwait sepanjang akhir 1980-an.
Arsip BBC mencatat lebih dari 100.000 tentara Irak dikerahkan dalam invasi. Mereka terdiri dari empat divisi elite Pengawal Republik Irak beserta unit pasukan khusus yang diperkuat 700 tank. Pasukan Kuwait tidak mampu berbuat banyak sebab kalah jumlah (total sekitar 20.000).
Jet-jet Irak membom target-target di ibu kota. Unit khusus merebut kementerian pertahanan dan istana pemerintahan. Pemimpin Kuwait, Jaber al-Ahmed al-Sabah, sudah mengungsi bersama pengawal dan anggota keluarga sebelum ditangkap pasukan Irak.
Warga sipil tentu saja turut menjadi korban. Total yang terbunuh diperkirakan sekitar 200 orang. Sementara itu kerusuhan dan aksi penjarahan merebak di berbagai titik.
Seluruh jaringan komunikasi diputus, baik komunikasi dalam negeri maupun ke luar negeri. Kondisi ini membuat ribuan warga Kuwait dan orang-orang asing terperangkap di dalam kota-kota.
Pada saat itu Saddam mengklaim pemerintahan Kuwait telah digulingkan oleh grup revolusioner dan meminta bantuan Irak. Mereka juga memperingatkan agar jangan terjadi intervensi asing lain. Perwakilan Kuwait kemudian menyangkal klaim tersebut.
Sejumlah negara langsung mengecam invasi Irak, dua di antaranya Amerika Serikat dan Inggris. Sementara Uni Soviet menghentikan kiriman perlengkapan militernya ke Irak.
PBB mendesak Irak untuk angkat kaki dari Kuwait. Tapi hingga batas waktu yang ditetapkan Irak tak mengindahkannya. Pada 9 Agustus 1990 Dewan Keamanan PBB mengambil suara 15:0 untuk menyatakan tidak berlakunya aneksasi Irak atas Kuwait, lalu meluncurkan pasukan gabungannya.
Pasukan gabungan dipimpin Amerika Serikat dan didukung Kuwait, Inggris, Arab Saudi, Mesir, dan Perancis. Mereka diterjunkan dalam Operasi Penyelamatan Gurun selama beberapa bulan. Manuver tersebut mengawali apa yang sejarah catat sebagai Perang Teluk I.
Pada 17 Januari 1991 serangan gelombang kedua dikerahkan dengan nama Operasi Badai Gurun. Operasi ini tercatat sebagai serangan udara dengan durasi terpanjang dalam sejarah pertempuran angkasa.
Irak awalnya bisa bertahan. Lama kelamaan tenaga mereka menipis. Serangan misil ke Israel dan Arab Saudi tidak menimbulkan efek yang signifikan. Pada 28 Februari 1991 kekuatan militer mereka sudah benar-benar hampir habis, sehingga Saddam menyetujui gencatan senjatan.
Kegilaan Saddam Hussein
Perang kemudian berakhir. Tapi, sembari hengkang dari Kuwait, dalam rekam jejak yang makin menegaskan kegilaan Saddam, adalah keputusannya untuk menjalankan strategi bumi hangus.
New York Times pernah menarasikan bagaimana mereka membakar 700-an ladang minyak Kuwait sembari melakoni perjalanan pulang.
Api pertama menyalak pada Januari dan Februari 1991. Proses pemadamannya menelan biaya besar—semua ditanggung Kuwait. Penanggulangannya memakan waktu lama. Pemadaman api terakhir baru dilakukan pada November 1991.
Polusi yang dihasilkan dari aksi bumi hangus itu meluas hingga melumpuhkan perekonomian warga lokal yang dulu bergantung pada ladang-ladang minyak tersebut.
Tapi krisis multidimensi yang lebih parah juga dialami warga Irak. Ini buntut dari sanksi ekonomi yang diberlakukan PBB per 6 Agustus 1990 atau empat hari setelah Irak melancarkan invasinya. Nama resminya Resolusi 661.
Embargo tidak meliputi persediaan medis, makanan, dan kebutuhan kemanusiaan lain. Meski demikian, sanksi tersebut tetap mendorong Irak ke jurang hiperinflasi, kian luasnya angka pengangguran, memperparah kemiskinan, dan melahirkan kasus-kasus malnutrisi.
Pada 1990-an PBB melunakkan sanksi mengingat dampaknya amat dirasakan warga Irak secara umum. Embargo baru secara resmi dicabut pada 2003, atau tahun terakhir Saddam berkuasa.
Editor: Ivan Aulia Ahsan