tirto.id - Sepuluh tahun lalu, pada 30 Desember 2006, Saddam Hussein menghembuskan napas terakhirnya di tiang gantungan.
Di saat detik-detik kematiannya, Saddam berpendapat Irak membutuhkan seorang diktator seperti dirinya.
“Jika kamu mendapat perintah dari Saddam Hussein, kamu tidak akan mempertanyakannya,” kata seorang petugas Irak di bawah pemerintahan Saddam seperti dilansir irishtimes.com.
Kekuasaan Saddam tak terbendung. Saddam menguasai segalanya, mulai dari sistem politik, pertahanan, keamanan, hingga persoalan ekonomi di Negeri 1001 Malam ini.
Saddam dan Ekonomi Irak
Sosok otoriter Saddam memang banyak tak disukai oleh para lawan politiknya, tapi ekonomi Irak di bawah Saddam sempat menanjak sejak sejak memerintah pada 1979.
Pada masa awal berkuasa, Saddam berhasil membawa ekonomi Irak bangkit, berdasarkan data Bank Dunia, pada 1980 jumlah Gross Domestic Product (GDP) Irak menembus $53,406 miliar, naik dua digit dari tahun sebelumnya yang hanya $37,816 miliar.
Namun, setelah dimulainya Parang Irak-Iran pada akhir 1980 hingga selama delapan tahun, membuat ekonomi Irak terpuruk, khususnya di tahun pertama perang yang melibatkan kedua negara bertetangga tersebut. Tahun-tahun berikutnya ekonomi Irak terlihat terus membaik.
Puncaknya, setelah perang yang disebut sebagai Perang Teluk I, pada 1990 ekonomi Irak tercatat $179,889 miliar, dengan PDB per kapita 10.291,86 per kapita per tahun. Capaian ini belum bisa tertandingi hingga kini di bawah pemerintahan baru.
Semua itu berubah pada akhir 1990, saat Kuwait sebagai negara tetangga menurunkan harga minyak dan mempersulit pemasukan ekonomi Irak. Padahal, sebagian negara Timur Tengah bergantung pada penjualan minyak untuk perkembangan ekonomi.
Inilah yang membuat Saddam kemudian menyerang Kuwait--agar tunduk di bawah kekuasaan Irak. Amerika pun mengintervensi Irak, sehingga Irak masuk sebuah fase yang disebut sebagai Parang Teluk II, meski berlangsung singkat, perang ini cukup membuat ekonomi Irak kena dampaknya.
Setelah Perang Teluk II, ekonomi Irak semakin remuk karena embargo dari PBB. Setelah itu, pada 1994, Saddam terpilih sebagai Perdana Menteri sekaligus Presiden Irak untuk kesekian kalinya. Embargo PBB makin membuat ekonomi Irak cukup merana, inflasi Irak membengkak sampai angka 396,4 persen.
Selama masa embargo, Saddam sempat menyetujui kesepakatan dengan PBB untuk bisa mengekspor minyak senilai $5,2 miliar untuk membeli bahan pangan bagi rakyat Irak yang sengsara pasca perang.
Dengan cara ini, Irak bisa memulihkan ekonominya. Pada tahun 1996, malah terjadi deflasi hingga 12,5 persen. Jelang masa aksi kekuasaan Saddam, perekonomian Irak kembali mengalami kehancuran saat masa invasi oleh AS pada periode 2001-2003, hingga Kota Baghdad jatuh ke tangan tentara AS.
Berdasarkan catatan Central Inteligence Agency (CIA), pada masa akhir embargo atau jelang runtuhnya Saddam di 2002, Irak masih harus mengimpor makanan untuk memenui kebutuhan pangan masyarakat, meskipun buah-buahan dan sayuran masih tercukupi.
Irak Pasca-Saddam
Setelah Saddam Hussein pada 2003, Amerika segera melakukan pembenahan di Irak. Menurut laporan yang dirilis oleh cbsnews, dana sekitar $60 miliar sudah digelontorkan untuk membangun kembali Irak yang sudah porak-peranda akibat perang. Sebanyak $2,4 miliar dikucurkan untuk perbaikan di bidang pengairan, kelistrikan, juga termasuk sektor lainnya antara lain makanan, kesehatan dan tanggungan bagi mereka yang kehilangan tempat tinggal pascaperang.
Dampaknya memang cukup terasa, di atas kertas ekonomi Irak pada 2004 masih tercatat $36,628 miliar, nilai yang tak jauh berbeda ketika kali pertama Saddam berkuasa. Kemudian ekonomi Irak membaik, pada 2008 dengan GDP mencapai $131,614 miliar, hingga melaju pada puncaknya di 2014 yang mencapai $234,648 miliar, dengan GDP per kapita tertinggi pasca-Saddam sebesar $6.879,698 per kapita per tahun.
Namun, capaian tertinggi GDP per kapita yang ditorehkan pada masa puncak ekonomi Saddam di 1990 belum bisa terkalahkan.
Tahun lalu, ekonomi Irak melemah dengan GDP hanya $180,069 miliar. Berdasarkan rata-rata kinerja ekonomi tahunan di masa Saddam dan pasca Saddam, terungkap rata-rata pertumbuhan ekonomi di era Saddam (1979-2003) sebesar 6,28 persen, dengan inflasi hingga 53,96 persen. Catatan makroekonomi ini jelas di bawah dari capaian pasca-Saddam Husein berkuasa, yang rata-rata ekonomi tumbuh 9,94 persen, dan inflasi hanya 9,30 persen.
Namun, meski GDP per kapita kini tak bisa mengalahkan Irak rezim Saddam, kinerja ekonomi rata-rata sepeninggal Saddam relatif stabil, tidak sefluktuatif saat Saddam masih memimpin.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Suhendra