tirto.id - “Aku tak peduli kau menyebutnya apa. Aku ingin kasih tahu. Mereka (Presiden George W. Bush dan jajaran administrasinya) bohong. Mereka bilang di sana (Irak) ada senjata pemusnah masal. Sebenarnya tidak ada. Dan mereka tahu soal ini. Tidak pernah ada yang namanya senjata pemusnah masal.”
Pernyataan yang dikutip Vox itu keluar dari mulut Donald Trump, pada pertengahan Februari 2016, saat masih menapaki tangga menuju kursi kepresidenan Amerika Serikat.
Barangkali normal jika dikatakan oleh seorang Demokrat. Tapi Trump adalah Republikan. Partainya, dengan ideologi neokonservatif, dulu turut memenangkan George W. Bush, si bebal yang memicu serbuan ke Irak pada awal 2000-an.
Hari pertama invasi militer AS dan koalisinya—Inggris, Australia, dan Polandia—terjadi pada 20 Maret 2003, tepat hari ini 15 tahun lalu. Invasi berakhir 20 hari berselang atau pada 1 Mei 2003.
Dalih Invasi
AS, dengan bangga, menyebut invasinya sebagai “Operation Iraqi Freedom”. Mereka ingin membebaskan rakyat Irak dari pemimpin saat itu yang dianggap sebagai diktator berbahaya, Saddam Hussein.
Bush dan Perdana Menteri Inggris menambahkan dua tujuan besar lain. Pertama, mengakhiri dukungan Saddam terhadap terorisme. Lebih tepatnya, untuk kelompok Al-Qaeda yang dituding AS sebagai dalang aksi serangan 11 September 2001. Tragedi yang meruntuhkan Menara Kembar World Trade Center, New York, dan merenggut lebih dari 6.000 nyawa.
Kedua, melucuti senjata pemusnah massal Irak. Alasan terakhir ini tercatat menjadi yang paling kontroversial sebab hingga detik ini tidak didasarkan pada bukti (yang jelas dan kuat).
Dari sekian banyak laporan investigasi dengan kesimpulan bahwa senjata pemusnah massal Irak hanyalah hoaks, salah satu yang paling penting datang dari administrasi pemerintahan AS sendiri, National Intelligence Estimate (NIE).
Dalam laporan Washington Post, NIE dibentuk atas permintaan kubu Demokrat agar dibuatkan laporan terkait tiga tuduhan utama pemerintahan Bush kepada Saddam, yakni kepemilikan senjata nuklir, senjata biologis, dan senjata kimia. Pada Oktober 2002, laporannya dirilis secara internal dan baru dibuka untuk umum di tahun 2014.
Laporan ini ditujukan untuk jadi bahan pertimbangan sebelum jajaran administratif di Gedung Putih melakukan pemungutan suara. Apakah AS benar-benar akan menginvasi Irak, atau menyelesaikannya melalui jalur diplomatik (jalur yang disarankan negara-negara aliansi AS).
Pertama, terkait senjata nuklir. Sejumlah badan intelijen menilai pemerintah Irak sedang menyusun kembali program senjata nuklir. Namun beberapa badan intelijen lain menyanggahnya. Perbedaan pendapat paling mengemuka terjadi antara Biro Intelijen dan Riset Departemen Luar Negeri AS dengan Departemen Energi. “Perselisihan substansial di dalam komunitas intelijen” ini amat digaris bawahi NIE.
Irak disebut-sebut punya tabung yang biasa dipakai untuk program pengayaan uranium. Departemen Energi AS meyakini barang itu tidak sesuai untuk dipakai membuat senjata nuklir. Tabung-tabung itu hanya dipakai untuk membuat roket artileri.
Kedua, tentang senjata biologis. Badan intelijen yakin Irak mengembangkannya sejak akhir 1990-an dan awal 2000-an. Meski demikian, NIE juga menitikberatkan bahwa muncul ketidaksetujuan dari kelompok intelijen AS lain. “Kesenjangan intelijen” ini disebutkan secara eksplisit dalam laporan NIE, namun tak dibawa ke pembahasan oleh administrasi Bush.
Ketiga, soal senjata kimia. Banyak laporan yang masuk dan menyebutkan jika Irak memiliki 100 hingga 500 metrik ton senjata kimia. Satu badan intelijen menyatakan bahwa Saddam ingin mengembangkannya melalui pembangunan industri kimia. Namun, per Oktober 2002, NIE menyatakan bahwa tidak ada proses produksi terkait senjata kimia sebagaimana yang dituduhkan.
Kebenaran dari berbagai klaim yang dikemukakan badan intelijen AS kemudian datang terlambat. Ketika invasi berakhir, fakta-fakta anyar yang menyangkal eksistensi tiga jenis senjata pemusnah massal sebagaimana yang dikupas NIE baru ditemukan.
Kembali merujuk Washington Post, pemerintah AS mengetahui bahwa program senjata nuklir Irak telah diakhiri sejak 1991. Irak juga tidak mengembangkan penelitian untuk produksi senjata biologis sejak 1996. Sementara program pengembangan senjata kimia sudah ditinggalkan pada 1980-an. Irak tak berniat untuk membangkitkan ketiganya pada awal 2000-an.Jika ingin main tuding-menuding, AS juga punya andil terhadap pemakaian senjata kimia yang dilakukan Saddam Hussein kepada rakyatnya sendiri pada era 1980-an. Menurut catatan Vox, produksinya dibantu perusahaan asal AS. Pemakaian senjata kimia ini dilanjutkan Irak saat berperang melawan Iran pada 1980-an.
Kemesraan AS-Irak berakhir saat Irak menginvasi Kuwait dan melahirkan krisis politik baru di Timur Tengah. Pada 1991, AS mendukung Kuwait dan sukses mengalahkan pasukan Saddam. Kekalahan ini membuat Saddam mau menghentikan proyek senjata pemusnah massalnya. Ia mengizinkan PBB untuk menonaktifkan gudang dan tempat produksi yang tersisa.
Sayangnya, pada 31 Oktober 1998 Presiden Bill Clinton menandatangani UU Pembebasan Irak. Artinya AS mensponsori kelompok pemberontak Irak yang ingin menggulingkan Saddam Husein.
Saddam geram. Di hari yang sama ia mengusir anggota PBB yang sedang merampungkan tugas memeriksa fasilitas pengembangan senjata pemusnah massal Irak. Beruntung, sebagian besar di antaranya sudah tak aktif dan akhirnya terbengkalai.
Kebodohan Bush, Kecerobohan Intelijen AS
Jika memang senjata pemusnah massal adalah kabar hoaks, mengapa AS tetap menggunakannya untuk menginvasi Irak?
Peta politik elite AS berubah sejak Bush naik. Ia dan jajaran administrasinya menjajaki kebangkitan neokonservatisme yang sejak 1990-an amat bernafsu menggulingkan Saddam. Terlepas faktor ini, ditambah ketepatan momentum usai aksi teror 9/11, invasi Irak adalah hasil dari kekeliruan intelijen AS dalam menjaring informasi.
Jane Mayer mendalami kasus ini dalam bukunya, The Dark Side: The Inside Story of How the War on Terror Turned Into a War on American Ideals (2009). Mayer mewawancarai Roger Chessey yang pernah bekerja di Dewan Keamanan Nasional AS era Bush. Chessey mengungkapkan betapa buruknya cara Bush mendapatkan informasi intelijen dari para anak buahnya.
“Kesalahannya bukan cuma analisis intelijen sebelum di serahkan ke presiden. Tapi sebab tak ada filter. Kebanyakan analisis itu sampah. Tak ada yang dipilah dengan baik atau disaring. Tapi langsung ke presiden dan para penasihatnya, yang bukan pakar intelijen. Di situlah kesalahan dibuat,” jelasnya.
Dari awal kerjanya pun sudah bias. Tak lama usai pengeboman World Trade Center, pencarian dalang teror dilandasi motif mengkambinghitamkan Saddam Husein. Itu adalah titah langsung dari Bush.
Kondisi ini tidak sampai membuat para intelijen AS memalsukan informasi ke telinga sang presiden, namun mereka cenderung hanya menganggap penting informasi yang menguatkan ambisi Bush. Mirip bagaimana framing sebuah media bekerja. Ini pula yang mengakibatkan perdebatan terkait kredibilitas informasi antar intelijen, sesuai laporan NIE.
Mengutip laporan Vox, contohnya terjadi pada tahun 2001, saat intelijen AS amat mengandalkan informasi dari seorang laki-laki bernama Ibn al-Sheikh al-Libi. Libi dibawa dari Afghanistan, disiksa dulu di Mesir, kemudian baru dipindah ke AS. Di AS ia berkata jika Saddam menyediakan pelatihan senjata kimia dan biologis untuk Al-Qaeda.
Departemen Pertahanan AS sudah mengingatkan bahwa informasi dari Libi tidak bisa dipercaya. Namun Bush tetap menggunakannya sebagai sumber yang kredibel. Bush berulang kali menyebarkan informasi dari Libi ini di panggung-panggung resmi. Padahal hasil temuan banyak lembaga investigasi usai invasi menyangkal cerita-cerita Libi.
AS juga amat menggantungkan analisis intelijennya pada Rafid Ahmed Alwan al-Janabi, seorang warga Irak yang mengasingkan diri ke Jerman. Ia mengklaim punya informasi langsung tentang program senjata pemusnah massal Irak yang dijalankan secara rahasia.
Lagi-lagi, meski intelijen Jerman dan Inggris mengingatkan AS bahwa informasi Janabi tak bisa diandalkan, AS justru menjadikannya salah satu bukti kuat menuju invasi.
Pada 2011, Janabi baru mengakui bahwa informasi yang ia berikan palsu belaka. Kepada Guardiania menjelaskan bahwa motif kebohongannya didorong keinginannya melihat Saddam tumbang. Ia pernah punya masalah dengan rezim Saddam, sehingga pada 1995 memutuskan pergi dari Irak.
Meski tinggal di negeri orang, cita-cita agar kekuasaan Saddam segera berakhir selalu tersimpan di benaknya. Oleh sebab itu Janabi turut gembira dengan kemenangan AS dan koalisi dalam invasi Irak. Ia senang dulu punya kesempatan untuk membuat cerita bualan hanya agar dendamnya terpenuhi.
“Aku dan anakku bangga dengan itu, dan kami bangga karena kami adalah alasan Irak bisa mencicipi sedikit rasa demokrasi,” imbuhnya.
Janabi tidak sepenuhnya salah. Terutama jika yang ia maksud dengan demokrasi adalah pendudukan militer AS (baca: Perang Irak) selepas invasi, hingga baru benar-benar berakhir di tahun 2011.
Lagi pula, Janabi juga tak bisa mengelak dari fakta ini: labilnya kondisi politik-sosial Irak setelah invasi, konflik sektarian yang berkecamuk selama bertahun-tahun akibat munculnya ISIS dan kelompok bersenjata lain, Timur Tengah yang terus terkoyak akibat manuver kelompok-kelompok itu, juga puluhan ribu nyawa rakyat sipil yang melayang sia-sia.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Ivan Aulia Ahsan