tirto.id - Rakyat Kurdi di Irak tengah bersiap menyambut referendum kemerdekaan yang akan digelar pada tanggal 25 September 2017 mendatang.Sebelumnya Pemerintah Regional Kurdistan (KRG) di Irak utara bertemu di Erbil dan menyatakan dukungan untuk pelaksanaan referendum.
Pemerintahan Irak di Baghdad berang. Sabtu (16/9) Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi menyatakan bahwa dengan mengadakan referendum, warga Kurdi di Irak sedang bermain api.
Sejalan dengan reaksi pemerintah Irak, Turki turut mendukung penolakan referendum di Irak utara, tempat para orang Kurdi menetap dan menikmati otonomi lewat Pemerintah Regional Kurdistan.
Amerika Serikat pun menolak. Dilansir dari Reuters, beberapa jam setelah rencana referendum diumumkan, Gedung Putih secara terbuka menyerukan kepada KRG untuk membatalkan keputusan itu. AS menyatakan bersedia memfasilitasi perundingan antara Pemerintah Daerah Kudistan dengan pemerintahan Irak di Baghdad.
AS pun beralasan bahwa referendum akan mengganggu upaya mengalahkan ISIS dan menstabilkan wilayah-wilayah yang telah dibebaskan. Peringatan ini sekaligus menjadi yang pertama dikeluarkan oleh AS kepada KRG.
Alasan serupa juga dilontarkan Iran. Komandan Pasukan Quds di Iran menyampaikan agar referendum ditunda terlebih dahulu karena Irak dan tentunya orang-orang Kurdi masih menjadi sekutu penting dalam perang melawan ISIS.
Baca juga: Perkosaan Massal sebagai Strategi Militer
Meski pemerintahan otonom Kurdi mendapat tekanan internasional untuk menunda referedum, tetapi Presiden Kurdi Masoud Barzani menyatakan tidak akan menarik keputusan tersebut. Menurut Barzani, akan menjadi sebuah penghinaan jika menunda referendum setelah api nasionalisme Kurdi kembali berkobar karena perang melawan ISIS.
"Barzani dan penasihatnya tidak menghiraukan ancaman dari Iran dan Turki secara serius, dengan mengatakan bahwa mereka telah mendengar semuanya dan situasi akan aman-aman saja," kata pemimpin veteran Kurdi Omar Sheikhmous.
Di Irak sendiri, populasi suku bangsa Kurdi mencapai 15 sampai 20 persen dari total penduduk Irak yang berjumlah 39 juta jiwa. Mayoritas tinggal di Irak bagian utara, yang berbatasan langsung dengan Suriah, Iran dan Turki.
Baca juga: Kurdi, Bangsa tanpa Negara
Jejak Kurdi di Irak
Wilayah Kurdi di Irak yang kemudian bernama Pemerintah Daerah Kurdi (KRG) telah sudah diakui dalam konstitusi Irak sejak tahun 2005 sebagai daerah otoritas resmi yang meliputi Dohuk, Erbil, Sulaimaniya dan Halabja. Mereka memiliki parlemen sendiri termasuk angkatan bersenjata bernama Peshmerga. Erbil ditunjuk sebagai ibukota dan dipimpin oleh Presiden Massoud Barzani serta wakilnya Kosrat Rasul Ali.
Berdirinya wilayah otonom Pemerintah Daerah Kurdi pada 2005 telah melalui proses puluhan tahun. Melalui referendum tahun 2005, 98,8 persen suara menghendaki wilayah Kurdi yang terpisah, meski statusnya bukan berarti benar-benar lepas dari Irak.
Mundur ke belakang, runtuhnya Kekhalifahan Utsmaniyah pada 1918 membawa harapan bagi orang Kurdi di Irak Iran Suriah dan Turki untuk memiliki negara-bangsa sendiri. Mereka mulai mencari tanah air yang tepat untuk mendirikan negara Kurdi.
Namun, kolonisasi Inggris di beberapa wilayah di Mesopotamia termasuk Irak membuat etnis Kurdi kecewa karena menghambat cita-cita mereka untuk dapat hidup dalam sebuah negara sendiri tanpa menjadi bangsa kelas dua.
Kenyataan pahit saat negara Irak berdiri pun terpaksa mereka telan. Rakyat Kurdi harus rela berbagi tempat dan masuk ke dalam teritori Irak. Nasib serupa juga dialami oleh orang Kurdi di Iran, Suriah maupun Turki.
Rakyat Kurdi di Irak mulai angkat senjata memerangi Inggris. Peristiwa Pemberontakan Mahmud Barzanji pada 1919 menjadi gong perlawanan rakyat Kurdi di Irak yang dipimpin oleh Syeh Mahmud Barzanji. Perlawanan ini berhasil ditekan oleh pasukan Inggris dan wilayah Kurdi pun dimasukkan ke dalam Mandat Irak 1926.
Sejak itu, berbagai kelompok dan partai nasionalis Kurdi terbentuk dan mewarnai konflik antara orang Kurdi dengan Irak.
Baca juga: Umur Singkat Republik Mahabad yang Melawan Pemerintah Iran
Era kepemimpinan Saddam Hussein adalah zaman gelap bagi orang Kurdi di Irak. Pada akhir 1980an, Saddam Hussein menggelar operasi militer Anfal untuk menghabisi orang-orang Kurdi
Human Rights Watch menyebutkan bahwa selama operasi tersebut terjadi genosida yang menelan korban sekitar 100.000 orang Kurdi. Pemerintah Irak juga meratakan antara 3.000 sampai 4.000 desa dan kota, menggusur ratusan ribu orang Kurdi.
Sebagian orang Kurdi dipindahkan ke sebuah tempat penampungan yang dijaga ketat tentara. Sementara yang lain dideportasi ke Irak selatan dan melarikan diri ke negara-negara tetangga, terutama Iran. Warga sipil juga dibantai dengan senjata kimia, khususnya di Kota Halabja pada 1988.
Sebenarnya, bukan hanya orang Kurdi saja yang menjadi korban pembersihan etnis. Genosida terhadap minoritas Asyur, Yazidi, Amenia dan Turkmen juga terjadi.
Kampanye arabisasi Partai Baath yang berlandaskan nasionalisme Arab dilancarkan oleh Saddam Husein sejak 1975. Orang Arab didatangkan dari pusat Irak dan Irak selatan ke tanah-tanah Kurdi yang telah dikosongkan secara paksa.
Suku-suku Arab dari gurun Al-Jazeera didorong untuk masuk menghuni daerah Irak utara milik orang Kurdi tersebut. Termasuk mencakup kota Kirkur yang kaya minyak, mendorong orang Kurdi dan kelompok etnis lainnya keluar dan mengganti dengan pemukiman Arab
Baca juga: Taktik Bumi Hangus dari Timor Timur hingga Rohingya
Kemalangan rakyat Kurdi berangsur reda menyusul Perang Teluk dan kejatuhan Saddam Husein. Setelah Pemerintah Daerah Kurdi diputuskan melalui referendum pada 2005, orang Kurdi giliran berhadapan dengan militan ISIS. Pasukan militer Kurdi di Irak bernama Peshmerga turut berjibaku melawan dan merebut kota dari cengkeraman ISIS.
Para pengkritik Presiden Kurdi Masoud Barzani menyatakan bahwa rencana referendum mendatang hanyalah sarana sang Presiden untuk memperluas kekuasaannya sebagai seorang pemimpin Pemerintah Regional Kurdistan (KRG) sekaligus ketua Partai Demokratik Kurdistan (PPP), dengan cara memanfaatkan patriotisme Kurdi.
Dengan memainkan kartu nasionalis, Barzani juga mengalihkan perhatian para pemilih dari keadaan ekonomi di KRG yang memburuk sejak tahun 2014 ketika wilayah tersebut kehilangan ladang minyak dan merana akibat anjloknya harga minyak dunia.
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf