tirto.id - Pada 9 Oktober 2016, ratusan orang menyerang tiga pos perbatasan di wilayah utara Myanmar. Serangan tersebut menewaskan sembilan petugas keamanan. Pemerintah menyalahkan kelompok milisi Harakat al-Yaqin—yang kelak berubah nama menjadi Arakan Rakhine Salvation Army (ARSA)—sebagai dalang di balik serangan.
Tak terima dengan serangan Harakat, Tatmadaw (militer Myanmar) mulai bergerak. Tentara diturunkan ke sejumlah wilayah yang diduga menjadi markas persembunyian Harakat, misalnya Buthidaung, Maungdaw, hingga Rakhine, untuk mencari pelaku.
Kenyataan di lapangan bicara lain. Operasi militer tak hanya menarget kelompok milisi, warga Rohingya pun kena sasaran. Tentara Myanmar dituduh telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia secara sistematis dan meluas dalam operasi balasan terhadap peledakan pos perbatasan pada 9 Oktober lalu.
Berdasarkan laporan Amnesty Internasional, militer Myanmar menyerang warga Rohingya secara acak serta tanpa pandang bulu yang menyebabkan luka-luka maupun kematian pada perempuan, pria, dan anak-anak. Seperti halnya yang terjadi pada 12 November 2016 kala dua helikopter tempur melepaskan tembakan ke kerumunan warga Rohingya.
Selama dua bulan sejak Oktober 2016, Tatmadaw telah melakukan penangkapan massal terhadap ratusan orang terutama warga Rohingya. Dari ratusan orang yang tertangkap, enam meninggal dunia di tahanan.
Kebrutalan militer tak berhenti sampai situ. Lebih dari 1.200 rumah warga Rohingya diratakan dengan tanah. Peluncur roket juga menyasar fasilitas-fasilitas umum berupa masjid dan sekolah. Analisis citra satelit menunjukkan pola pembakaran dilakukan militer Myanmar secara konsisten dan sistematis.
Baca juga: Mengenang Pembantaian Umat di Talangsari
Tak ketinggalan pula militer Myanmar menjarah barang-barang milik warga Rohingya seperti emas dan uang tunai, serta menyita dokumen-dokumen yang membatasi akses warga Rohingya untuk memulihkan hak kewarganegaraan.
Yanghee Lee, Utusan Khusus PBB di Myanmar menjelaskan serangan Tatmadaw bertujuan untuk mengusir warga Rohingya. Sedangkan Rafendi Djamin, Direktur Amnesty Internasional Asia Tenggara dan Pasifik mengatakan bahwa militer Myanmar berniat menghukum warga Rohingya atas serangan yang dilakukan Harakat. Serangan brutal yang meluas dan sistematis kepada warga Rohingya dikhawatirkan hanya “puncak gunung es, kata Djamin.
Bantahan datang dari pemerintah Myanmar dan para perwira tinggi Tatmadaw. Juru bicara pemerintah U Zaw Htay mengatakan pihak pemerintah menganggap serius situasi di Rakhine dan akan menindaklanjuti apabila terdapat bukti nyata pelanggaran kemanusiaan.
Tindakan bumi hangus yang dilakukan militer Myanmar nyatanya bukan kali pertama. Sebelumnya, militer Myanmar menerapkan taktik sama saat konflik etnis di Karen, timur Myanmar meletus.
Zoya Phan dan Damien Lewis dalam Undaunted: My Struggle for Freedom and Survival in Burma (2010) menyebutkan sepanjang konflik berlangsung, pemerintah Myanmar diduga menerapkan taktik bumi hangus untuk memukul mundur pasukan Karen. Taktik bumi hangus dilakukan dengan membakar seluruh desa, menanam ranjau, memperbudak warga, hingga pemerkosaan dan pembunuhan.
Kevin Heppner dari Karen Human Rights Group mengatakan tidak ada yang bisa dilakukan warga Karen selain melarikan diri dari tembakan militer Myanmar. Sekitar tujuh juta warga Karen menjadi korban atas kekejaman militer Myanmar.
Bumi Hangus yang Berujung Tragedi
Menurut kamus Merriam-Webster yang dimaksud dengan taktik bumi hangus ialah kebijakan militer untuk menghancurkan properti maupun sumber daya secara sengaja sehingga pihak musuh tak dapat menggunakannya lagi.
Penggunaan taktik bumi hangus sudah ada sejak zaman kuno. Adalah orang-orangSkithia yang menggunakan taktik ini saat melawan Raja Darius dari Persia. Orang Skithia yang dikenal sebagai penggembala nomaden menghancurkan persediaan makanan tantara Raja Darius selain meracuni sumur. Akibatnya, pasukan Raja Darius banyak yang meninggal karena kelaparan dan dehidrasi.
Taktik bumi hangus tak jarang digunakan di basis wilayah pelaku demi mengusir musuh atau menggagalkan serangan yang dilancarkan. Taktik bumi hangus dengan metode pertahanan ini pernah digunakan di bawah Tsar Alexander I.
Pada 1812 Tsar Alexander I berhasil menggagalkan invasi Napoleon Bonaparte ke Rusia dengan cara taktik bumi hangus. Menurut David Chandler dalam The Campaigns of Napoleon (1966) tatkala mengetahui Napoleon akan memasuki wilayah Rusia, Tsar meminta warganya untuk meninggalkan Moskow. Kemudian, Tsar membakar habis Moskow agar tak dapat dikuasai Napoleon.
Baca juga: Erdogan: Myanmar Melakukan Genosida Rohingya
Strategi berjalan dengan baik. Tentara Perancis tak memenangkan apapun. Sesampainya di Moskow, Napoleon melihat tanah yang sudah porak-poranda. Walhasil, karena ketiadaan sumber daya yang bisa dimanfaatkan, pasukannya pun kelaparan..
Taktik bumi hangus juga diterapkan dalam Perang Sipil Suriah. Loyalis Bashar al-Assad yang berbasis di utara Suriah membakar sebagian besar pepohonan dan kawasan hutan untuk melemahkan posisi kelompok milisi. Wilayah hutan Idlib dan Lattakia digunakan kelompok milisi Suriah untuk berlindung saat tidak berperang. Dampak ekologisnya tidak main-main: dibutuhkan hingga 80 tahun untuk memulihkan secara menyeluruh.
Di masa modern, perkembangan taktik bumi hangus merupakan respons terhadap siasat perang gerilya. Dalam peperangan, siasat gerilya dianggap menyulitkan pasukan yang lebih besar. Mengutip pendapat Max Boot dalam Invisible Armies: An Epic History of Guerilla Warfare from Ancient Times to the Present (2013), gerilyawan memiliki beberapa faktor yang mendukung keberhasilan saat perang, di antaranya adalah ruang gerak gerilyawan yang fleksibel dan tidak mudah ditebak, kemampuan menghimpun dukungan dan menjadi representasi masyarakat setempat, serta ketiadaan basis wilayah tetap yang dapat dihancurkan tentara.
Atas dasar itu, menurut Boot gerilyawan mampu menyulitkan tentara dengan pukulan-pukulan yang mengejutkan, sehingga lawan akhirnya mundur teratur setelah terus-menerus dibikin bingung dan menguras sumber dayanya. Contoh nyatanya adalah Amerika Serikat dalam Perang Vietnam dan Perancis dalam Perang Kemerdekaan Aljazair.
Mengingat sulitnya mengalahkan gerilyawan dengan taktik dan pergerakannya yang fleksibel, tentara menggunakan taktik bumi hangus sebagai jalan keluar. Taktik bumi hangus digunakan pasukan penyerbu untuk menyasar wilayah yang disinggahi gerilyawan. Pasukan lantas menyerang penduduk lokal, membakar habis seluruh desa, guna memutus persediaan logistik.
Strategi semacam ini pernah digunakan pada Perang Sipil Amerika (1861-1865) ketika pasukan Union dari negara-negara bagian utara menerapkan siasat bumi hangus di Arkansas yang saat itu menjadi basis pasukan Konderasi.
Indonesia memiliki riwayat kelam dengan taktik bumi hangus di Timor Timur (kini Timor Leste).
Taktik bumi hangus juga pernah dilakukan di Indonesia dalam peristiwa Bandung Lautan Api dan operasi militer di Timor Timur.
Peristiwa Bandung Lautan Api terjadi pada 23 Maret 1946. Kala itu, sekitar 200.000 penduduk Bandung membakar rumah mereka lantas mengungsi ke daerah pegunungan di selatan kota. Tujuan pembakaran rumah penduduk tak lain agar mencegah tentara sekutu dan NICA Belanda menguasai Bandung serta menjadikannya basis militer dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.
Pembakaran Bandung dianggap menjadi strategi yang tepat mengingat kekuatan TRI (Tentara Rakyat Indonesia) dan kelompok milisi rakyat tidak sebanding dengan kekuatan tentara NICA atau sekutu.
Baca juga: Dapatkah Hukum Genosida Menghentikan Pembantaian Massal?
Kemudian, strategi bumi hangus selanjutnya diterapkan kala invasi militer Indonesia di Timor Timur. Operasi Seroja (1975-1978) dilancarkan TNI untuk memukul milisi pro-kemerdekaan Fretilin sehingga dapat memuluskan aneksasi Timor Timur ke Indonesia.
Pada 7 Desember 1975, militer Indonesia melakukan mobilisasi besar-besaran ke arah kota Dili. Ratusan pasukan penerjun paying turun dan terlibat kontak senjata langsung dengan milisi Fretilin.
Selama invasi, kelompok Fretilin memberikan perlawanan keras dengan cara gerilya. Pada akhirnya, militer Indonesia menggunakan dua taktik utama untuk mengalahkan kelompok milisi. Pertama, militer Indonesia melakukan pengepungan di desa-desa dan menjatuhkan bom dari pesawat.
Tak berhenti di situ, militer Indonesia masih menembaki penduduk yang masih hidup. Bahkan pada awal 1978, warga desa di Krakas dibantai oleh militer Indonesia karena mendukung kelompok Fretilin.
Setelah taktik pertama dilakukan, militer Indonesia mengkampanyekan pembersihan akhir, di mana militer memaksa penduduk dari kamp permukiman untuk mencari anggota Fretilin. Ketika sudah ditemukan, anggota Fretilin dihadapkan dua pilihan: menyerah atau menembak diri sendiri.
Commision for Reception, Truth, and Reconciliation (CAVR) melaporkan korban yang jatuh mencapai 102.800 orang. Sekitar 18.600 orang dibunuh atau dihilangkan dan 84.000 tewas akibat kelaparan serta sakit parah.
Laporan CAVR menyebutkan pihak militer bertanggung jawab atas serangan di Timor Timur pasca jajak pendapat pada 1999. CAVR menambahkan, Wiranto yang saat itu menjadi Panglima Jenderal TNI dan sejumlah pejabat militer lain terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur.
Pada dasarnya taktik bumi hangus di wilayah konflik telah dilarang berdasarkan Pasal 54 Protokol I Konvensi Jenewa 1977. Pasal 54 konvensi tersebut melarang penyerangan, penghancuran, pemindahan benda-benda yang diperlukan penduduk sipil untuk bertahan hidup seperti makanan, area pertanian, tanaman pangan, instalasi air minum, dan irigasi.
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf