tirto.id - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengeluarkan pernyataan keras terkait kekerasan yang dilakukan tentara Myanmar di wilayah komunitas Muslim Rohingya. Ia menilai kematian ratusan orang Rohingya dalam seminggu terakhir melalui operasi militer sebagai genosida (pembantaian etnis secara besar-besaran).
“Ada genosida di sana,” kata Erdogan pada perayaan Idul Adha di Istanbul Turki, seperti diberitakan Reuters, Jumat (1/9).
Dunia mestinya bersuara mengecam kekerasan yang dialami warga Rohingya. Sebab, menurut Erdogan, sikap diam berarti turut berkontribusi terhadap kekerasan yang sedang terjadi.
“Semua orang yang berpaling dari genosida yang dilakukan di bawah tabir demokrasi juga merupakan bagian dari pembantaian ini,” ujarnya.
Erdogan mengatakan Turki memiliki kewajiban moral menyerukan penghentian kekerasan oleh tentara Myanmar terhadap etnis Rohingya. Ia memastikan hal ini akan menjadi isu penting yang dibahas secara rinci dan serius oleh para pemimpin dunia di sidang Majelis Umum PBB pada 12 September mendatang di New York.
Baca artikel bantahan Pemerintah Myanmar tentang tuduhan genosida:Suu Kyi Menolak PBB Selidiki Myanmar Soal Rohingya
Pelapor Khusus PBB bidang hak asasi manusia di Myanmar, Yanghee Lee, menyampaikan kekhawatirannya terhadap situasi terakhir yang dialami etnis Rohingya. “Situasi kemanusiaan memburuk dengan cepat dan saya khawatir ribuan orang semakin berisiko mengalami pelanggaran berat hak asasi,” katanya seperti diberitakan Aljazeera.
Lee mendesak Myanmar mengakhiri agresinya terhadap warga Rohingnya. “Siklus kekerasan yang memburuk sangat memprihatinkan dan harus segera dihentikan,” ujarnya
Pernyataan Lee bukan tanpa dasar. PBB memperkirakan saat ini ada hampir 40.000 orang mengungsi di daerah sekitar Cox's Bazar, Bangladesh. Sementara ribuan lainnya masih terdampar di perbatasan antara kedua negara. Para pengungsi itu mempertaruhkan nyawa di tengah upaya keras Pemerintah Bangladesh menolak mereka.
Gelombang pengungsi Rohingya meningkat seiring kekerasan yang terus dilakukan militer Myanmar. Seorang saksi mata mengatakan tentara Myanmar menembaki warga dan membakar desa mereka tanpa pandang bulu. Ratusan penduduk desa juga dilaporkan hilang dan ratusan lainnya diduga tewas.
Wakil Direktur Human Rights Watch Asia Phil Robertson menolak dalil pemerintah Myanmar bahwa operasi militer hanya ditujukan bagi pejuang bersenjata Rohingya. Sebab, menurutnya, banyak penduduk desa biasa yang juga ikut menjadi korban.
“Mereka seolah-olah menargetkan pejuang, namun pada kenyataannya menyasar penduduk desa biasa,” kata Robertson.
Robertson menuntut penasihat Myanmar Aung San Suu Kyi menghentikan serangan militer tentaranya kepada etnis Rohingya. Menurutnya kekerasan yang dialami orang Rohingya menunjukkan kegagalan pemerintahan Suu Kyi menjaga hak asasi manusia. Ia juga meminta Suu Kyi membuka akses bagi aktivis kemanusiaan, jurnalis, dan peneliti ke lokasi konflik.
“Masyarakat internasional perlu menuntut Aung San Suu Kyi dan pemerintah sipilnya menghentikan operasi pembersihan ini dan mengizinkan petugas kemanusiaan, jurnalis dan peneliti ke wilayah ini untuk menilai situasi dan meminta mereka yang melakukan pelanggaran dapat bertanggung jawab,” kata Robertson.
Komandan militer Myanmar Min Aung Hlaing mengklaim tentaranya telah membunuh 370 etnis Rohingya hanya dalam lima hari lewat sebuah operasi bersenjata melawan Tentara Penyelamat Rakyat Rohingya (Arakan Rohingya Salvation Army/ ARSA). Di saat bersamaan sedikitnya 15 anggota pasukan keamanan Myanmar juga tewas, termasuk dua pekerja pemerintah, dan hilangnya satu tentara. Konflik juga telah membuat sekitar 38.000 orang Rohingya mengungsi ke Bangladesh .
Media pemerintah pada hari Jumat juga mengatakan ada lebih dari 150 pejuang ARSA menyerang pasukan keamanan Myanmar di dekat desa Indi Rakhine. Serangan itu mengakibatkan kematian satu orang penyerang.
Bagi aktivis kemanusiaan Ro Nay San (39 tahun), apa yang diklaim kelompok anti Rohingya sebagai pertempuran antara etnis Rohingya dengan militer Myanmar, hanyalah dalil menyembunyikan ketidakberimbangan kekuatan senjata kedua belah pihak. “Saya tidak mendukung kekerasan dari kedua sisi," katanya.
"Mereka adalah petani Rohingya yang bertarung dengan pisau. Jika kita terus melawan militer Burma, orang Rohingya akan habis,” ujarnya.
Baca artikel tentang kekerasan terhadap etnis Rohingya:400 Warga Rohingya Tewas Diserang Militer Myanmar
Sekitar 27.400 Warga Rohingya Mengungsi ke Bangladesh
Myanmar Memanas, 18.500 Orang Rohingya Lari Ke Bangladesh
Konflik Muncul Lagi, 1.000 Warga Rohingya Lari ke Bangladesh
Konflik baru-baru ini mengingatkan dunia akan peristiwa kekerasan yang terjadi pada 2012 lalu. Saat itu kekerasan di Ibukota Rakhine, Sittwe, menyebabkan sedikitnya 200 orang Rohingya meninggal. Konflik tersebut juga mendorong meningkatnya retorika anti-Rohingya dari nasionalis Buddhis, termasuk para biksu, dan pengikut mereka di media sosial.
Kelompok militer maupun masyarakat anti Rohingya juga menyuarakan pidato kebencian terhadap wartawan dan pekerja LSM yang menunjukkan kepedulian terhadap orang Rohingya. Bulan lalu, bantuan kemanusiaan terpaksa dibatalkan karena ancaman pembunuhan melalui media sosial.
Etnis Rohingya Myanmar sudah berpuluh tahun mengalami penganiayaan. Mereka kerap digambarkan sebagai entnis minoritas paling teraniaya di dunia. Kekerasan terhadap etnis Rohingya terjadi karena pemerintah Myanmar enggan mengakui mereka sebagai warganya, dan pada saat yang sama Bangladesh pun menolak etnis Rohingya masuk ke negara mereka.
Ketegangan antara militer Myanmar dan etnis Rohingya kembali terjadi setelah serangan pejuang ARSA terhadap kantor militer dan pos polisi Myanmar di Rakhine pada 25 Agustus lalu. Aksi itu dibalas militer Myanmar dengan serangan brutal kepada seluruh etnis Rohingya, tak peduli perempuan, anak-anak, dan orang tua.
Matthew Smith, pemimpin kelompok Hak Asasi Manusia Fortify Rights mengatakan situasi yang dialami etnis Rohingya sangat mengerikan. Ia mendesak militer Myanmar menghentikan serangan demi menghindari bertambahnya korban. “Situasinya sangat mengerikan,” kata Smith.
“Kejahatan kekejaman massal terus berlanjut. Pemerintah sipil dan militer perlu melakukan segalanya dengan kekuatan mereka untuk segera mencegah lebih banyak serangan.”