tirto.id - Pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi, mengatakan istilah pembersihan etnis terlalu kuat untuk menggambarkan peristiwa yang terjadi di Rakhine, wilayah dengan mayoritas penduduknya Muslim.
“Saya tidak berpikir ada pembersihan etnis yang terjadi,” kata Suu Kyi kepada BBC, Rabu (5/4/2017) waktu setempat. “Saya pikir pembersihan etnis terlalu kuat dipakai sebagai ekspresi untuk [menggambarkan] apa yang terjadi.”
Periah Nobel Perdamaian ini tengah menghadapi kritik internasional terkait penanganan pemerintahnya untuk krisis di wilayah Rakhine yang mayoritas penduduknya Muslim, di mana tentara telah memblokir akses bagi pekerja bantuan serta dituduh memperkosa dan membunuh warga sipil.
Aung San Suu Kyi, yang setelah 15 tahun tahanan rumah sebagai tahanan politik kini secara efektif memerintah Myanmar sebagai konselor negara, telah dikritik untuk segera berbicara menentang aksi pelanggaran tersebut.
Namun, kepada BBC ia mengatakan: “Apa yang Anda maksud dengan berbicara? ... Pertanyaan ini telah ditanyakan sejak 2013 saat putaran terakhir dari masalah ini pecah di Rakhine. Dan mereka memberikan pertanyaan dan saya menjawab mereka. [Tapi] orang-orang justru mengatakan aku tidak berkata apa-apa. Hanya karena saya tidak membuat semacam pernyataan yang mereka pikir saya harus buat, [yakni] yang mengutuk satu komunitas atau yang lainnya.”
Dikutip dari The Guardian, Kamis (6/4/2017), pada Desember tahun lalu, lebih dari selusin peraih Nobel menulis sebuah surat terbuka kepada Dewan Keamanan PBB yang berisi peringatan atas tragedi "pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan” di Rakhine, sembari menyebutnya sebagai potensi aksi genosida.
Aung San Suu Kyi mengatakan ia tengah menuju rekonsiliasi di daerah bermasalah tersebut. Namun, dalam komentar yang mungkin dapat memancing kritik lebih lanjut, ia menolak untuk menerima fakta bahwa agresi sedang dilanggengkan oleh tentara Myanmar di sana.
“Saya pikir ada banyak permusuhan di sana,” kata Suu Kyi. “Ini Muslim membunuh Muslim juga, jika mereka berpikir bahwa mereka berkolaborasi dengan penguasa ... Ini masalah orang di sisi yang berbeda dari suatu kelompok.”
Myanmar telah meluncurkan penyelidikan lokal ke dalam kejahatan yang mungkin terjadi di Rakhine. Adapun mantan Sekjen PBB Kofi Annan ditunjuk sebagai kepala komisi yang bertugas menyelesaikan perpecahan antara umat Buddha dan Muslim di sana.
Lebih lanjut Aung San Suu Kyi mengatakan bahwa tentara itu “tidak bebas untuk memperkosa, menjarah dan menyiksa.”
“Mereka bebas untuk masuk dan melawan. Dan tentu saja, yang ada di konstitusi ... hal-hal militer harus diserahkan kepada tentara,” kata Suu Kyi, menambahkan bahwa ia bertujuan untuk mengamandemen konstitusi.
Hampir 75.000 orang dari minoritas yang teraniaya telah melarikan diri ke Bangladesh setelah militer melancarkan operasi di utara negara bagian Rakhine untuk menemukan militan Rohingya yang menyerang pos perbatasan polisi pada bulan Oktober.
Kaum etnis Rohingya yang melarikan diri telah mengatakan kepada perlindunga HAM PBB bahwa tentara mengeksekusi bayi di depan ibu mereka, sebagai bagian dari upaya untuk meneror minoritas Muslim.
“Jika mereka kembali mereka akan aman,” kata Aung San Suu Kyi, menambahkan bahwa orang-orang yang melarikan diri dipersilakan untuk kembali.
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari