tirto.id - Belakangan ini Aceh didatangi lagi oleh ratusan orang pengungsi etnis Rohingya, tepatnya di daerah Pidie dan Bireuen. Identitas mereka tidak diakui dan dibenci di Myanmar, kemudian diusir seiring dengan kebijakan yang berlaku di sana.
Etnis Rohingya merupakan penduduk yang berasal dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Lantaran sejumlah konflik dan aksi represif militer di negara tersebut, etnis ini terusir dari tempat tinggalnya.
Adapun etnis Rohingya ini sudah berada di Rakhine (dahulu Arakan) sejak abad ke-7 Masehi. Wilayah itu pada zaman dahulu sempat menjadi kawasan administratif Kerajaan Arakan, tepatnya mulai 1428-1782.
Akibat beberapa musabab, etnis Rohingya tidak diakui oleh Pemerintah Myanmar. Situasi itu membuat Rohingya terdiskriminasi. Bahkan, sempat terjadi juga beberapa pengusiran dan penindasan.
Hal itu menyebabkan sejumlah orang Rohingya datang ke negara-negara tetangga, salah satunya Indonesia. Dikabarkan pada 14-16 November lalu, ratusan kelompok mereka yang terusir mendatangi wilayah Aceh.
Mereka datang ke daerah Pidie dan Bireuen menggunakan kapal. Dua gelombang pengungsi Etnis Rohingya diterima oleh pemerintah setempat. Kemudian, rombongan terakhir di tolak oleh nelayan lokal Bireuen. Jumlah pengungsi ini sekarang lebih dari 1.000 orang jika mengacu data UHCR.
Alasan Etnis Rohingya Dibenci dan Tidak Diakui Myanmar
Rohingya ini merupakan kelompok muslim minoritas yang ada di Rakhine. Sebagaimana dikutip dari IKAI: The Indonesian Journal of Southern Asian Studies (Vol. 2, No. 1, 2018) daerah tersebut punya dua komunitas minoritas muslim, yaitu Kaman dan Rohingya.
Etnis Kaman menjalankan kesehariannya dengan bahasa Rakhine dan dianggap akrab dengan budaya mayoritas Buddha yang ada di sana. Oleh sebab itu, mereka memperoleh status kewarganegaraan.
Berbeda dengan itu, Etnis Rohingya bercakap menggunakan bahasa Ruaingga. Percakapan sehari-harinya hampir serupa dengan gaya tutur Chittagonia di Bangladesh. Perawakan mereka pun lebih terbilang mirip orang Bangladesh dibandingkan orang-orang asli Myanmar.
Myanmar (dahulu bernama Burma) pada 1958 mengeluarkan penetapan terhadap status komunitas muslim Arakan. Kaman ditetapkan sebagai salah satunya, sementara Rohingya tidak ditautkan sebagai penduduk setempat.
Diskriminasi terhadap etnis ini terjadi setelah pengeluaran kebijakan tersebut. Situasi diperparah dengan UU Kewarganegaraan yang disahkan 1982 silam. Etnis Rohingya dijelaskan bukan sebagai warga negara Myanmar.
Mereka yang tidak diakui ini pada akhirnya diusir dari tempat tinggalnya, misal kejadian tahun 1978 hingga 1990-an lalu. Kelompok buddhis pun sempat berkonflik dan memberikan tekanan kepada etnis minoritas ini pada 2012-2015.
Rohingya kembali dibenci lantaran perang yang terjadi pada 2017 silam. Kala itu, kelompok yang bergesekan terdiri dari kubu Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) dan tentara Myanmar.
Sebagaimana dikutip dari CFR, konflik tersebut menyebabkan kisaran 700.000 orang Rohingya lari meninggalkan Myanmar. Kemungkinan pengusiran, pengucilan, dan diskriminasi etnis ini masih berlanjut hingga sekarang.
Hal itu dapat dilihat dari kisaran ratusan pengungsi Etnis Rohingya yang mendarat di Aceh beberapa hari lalu. Selain ke Indonesia, mereka juga kerap melarikan diri ke Bangladesh, Thailand, dan Malaysia.
Kenapa Indonesia Menerima Pengungsi Rohingya?
Pada Mei 2015, pengungsi Etnis Rohingya dan Bangladesh berlayar di kawasan Selat Malaka. Mereka yang terombang-ambing dibiarkan begitu saja lantaran Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menampungnya.
Indonesia, Thailand, dan Malaysia, dikecam oleh pihak internasional maupun nasional lantaran menolak pengungsi ini. Oleh sebab itu, ketiga negara mengadakan rapat di Malaysia.
Hasilnya masing-masing akan menyuguhkan penampungan sementara untuk para pengungsi Etnis Rohingya. Sehubungan dengan itu, Indonesia sebenarnya tidak menandatangani Konvensi 1951 yang membahas tentang pengungsi.
Bantuan yang diberikan sejak 2015 hanya didasarkan pada kemanusiaan belaka. Seperti tanggapan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Muhammad Iqbal, Indonesia tak wajib menampung mereka. Kemudian, tidak juga bisa menyuguhkan solusi permanen untuk pengungsi Etnis Rohingya.
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Yulaika Ramadhani