tirto.id - Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya menyetujui usulan Pemerintah Orde Baru untuk memberlakukan UU Nomor 3/1985 pada 19 Februari 1985. Undang-undang itu mengharuskan semua partai politik di Indonesia untuk berasas tunggal pancasila. Undang-undang itu menggantikan UU Nomor 3/1975 yang membolehkan partai mengusung azas lain selain pancasila.
Selain Pancasila, asas lain adalah haram sejak 19 Februari 1985. Tidak hanya partai politik, seluruh organisasi kemasyarakatan (ormas) di Indonesia juga diwajibkan mengusung Pancasila sebagai azas tunggal. Keharusan itu, menurut Faisal Ismail dalam Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila (1999), didasarkan pada keluarnya Undang-undang Nomor 8/1985 pada 17 Juni 1985 (hlm. 206-207).
Ormas besar dan berpengaruh macam Muhammadiyah maupun Nahdlatul Ulama (NU) juga diharuskan mendukung dua UU yang disahkan tahun 1985 itu. NU, sebelum UU tadi disahkan, juga telah menyatakan diri menerima Pancasila secara resmi pada Muktamar NU ke-27 yang berlangsung pada Desember 1984 di Situbondo.
Muhammadiyah baru menerima Pancasila dalam Muktamar 1985. Ketua Muhammadiyah waktu itu, A.R. Fachruddin, sebagaimana dikutip Abdul Munir Mulkhan dalam 1 Abad Muhammadiyah: Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan (2010), mengibaratkan Pancasila sebagai "helm yang harus dipakai supaya Muhammadiyah bisa tetap berjalan dan berdakwah secara aman ketika berhadapan dengan pemerintah."
Pemerintahan Soeharto, yang mulai memperkuat diri sejak 1970-an, berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan berbagai cara, termasuk dengan mewajibkan Pancasila pada semua golongan. Bagi Orde Baru, semua harus serba Pancasila. Artinya, semua orang dipaksa untuk jadi orang yang berpancasila. Lain tidak boleh.
Basis agama pun tidak mampu menjadi kekuatan politik lagi seperti di zaman Sukarno. Partai-partai Islam telah disatukan dalam satu partai bernama Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Agama sebagai basis ideologi mulai dihancurkan pemerintah Orde Baru.
Kelanjutan Gerakan Usroh
Satu kelompok Islam kecil bernama Gerakan Usroh, yang dipimpin Abdullah Sungkar, dijadikan contoh oleh Orde Baru sebagai gerakan politik yang tidak sesuai dengan ideologi pemerintah. Gerakan yang kebetulan berada di teritorial Kodam Diponegoro (Jawa Tengah) itu dihancurkan Mayor Jenderal Harsudiono Hartas.
Dalam Gerakan Usroh di Indonesia: Peristiwa Lampung1989 (2001), Abdul Syukur mencatat bahwa seorang petani asal Banaran, Kulonprogo, bernama Tubagus Muhamad Jiddan adalah orang pertama dari Gerakan Usroh yang ditangkap. Dia dijatuhi hukuman 6 tahun penjara pada Februari 1986. Beberapa aktivis Gerakan Usroh lain pun ditangkap oleh aparat Orde Baru. Mereka yang ditangkap adalah Muhamad Sobirin Syukur, Margono Syafii, Slamet Riyanto, Darussalam, Siradjudin Abbas, Marsidi, Sarjoko, Rusdi, Nurfalah, Mualif, Lukman Suratman, Wahyono Syafii, Wiyono alias Mohamad Shodiq, Suyud bin Rahmat, dan Sujiman (hlm. 53-55).
Tidak lama setelah Tubagus Muhamad Jiddan tertangkap, Fadillah yang juga berasal dari Banaran melarikan diri dari Jawa Tengah. Dia menghindari aksi pengganyangan Kodam Diponegoro terhadap gerakannya. Fadillah tidak sendiri, dia lari bersama Muslimah, muridnya. Mereka akhirnya tiba di Lampung dan ditampung oleh Darhari, seorang petani penganut Islam yang saleh.
Melalui Darhari, Fadillah mengenal Warsidi, seorang guru mengaji. Mereka segera akrab dan saling melindungi. Warsidi menampung pelarian Gerakan Usroh dari Jawa Tengah itu di rumahnya. Selain mereka, Warsidi juga menampung pelarian yang lain seperti Beny, Umar, dan Sholeh. Di Lampung, kehidupan si pelarian itu dibantu Warsidi yang membantu memberikan pencaharian sebagai petani.
Warsidi adalah tipe guru mengaji yang suka membahas masalah agama dalam sebuah kelompok kecil daripada berceramah di hadapan banyak orang. Sedikit tapi efektif.
Bersama para pelarian yang diuber Kodam Diponegoro itulah Warsidi berniat membangun sebuah pesantren di Cihideung. Lokasi tersebut dipilih karena seorang muridnya bernama Jayus mewakafkan tanah seluas 5 hektar di sana. Warsidi pun menjadi orang berpengaruh di Cihideung, Sidorejo, Banjar Agung, dan sekitarnya.
Selain gerakan Usroh, ada juga kelompok pengajian pimpinan Nur Hidayat yang cukup memiliki pengaruh. Nur Hidayat termasuk orang yang kecewa dengan "politik akomodatif" ala PPP, NU, dan Muhammadiyah yang menerima UU nomor 3 1985. Bagi Nur Hidayat dan pengikutnya, menerima UU itu sama saja melampaui wahyu dari Allah, mengesampingkan Islam, dan menomor satukan asas Pancasila yang baginya adalah produk sekuler.
Nur Hidayat adalah bagian dari gerakan usroh Abdullah Sungkar yang paling dicari aparat Orde Baru. Mereka berambisi membangun kampung Islam agar dapat menerapkan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Mereka bekerja sama dengan kelompok pengajian Warsidi untuk menggabungkan program kerja membangun kampung Islam dan berencana sama-sama mendirikan pondok pesantren di Cihideung.
Kesepakatan kerjasama tercapai pada 12 Desember 1988 di Cibinong, Jawa Barat. Sejak Januari 1989, anggota kelompok pengajian Nur Hidayat hijrah ke Umbul Cihideung (hlm. 54-59).