tirto.id - Angka 9 punya makna tersendiri bagi Presiden Soeharto. Menurutnya, 9 adalah angka paripurna yang bisa dicapai manusia. Dalam ranah agama, ia juga menyimbolkan asmaul husna—nama-nama baik Allah dalam keyakinan umat Islam yang berjumlah 99. Betapa istimewanya angka tersebut, Soeharto bertekad mendirikan 999 masjid di Indonesia lewat Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila (YAMP).
“Jadi, Pak Harto itu semua pakai filosofi,” ujar Ketua Pengurus YAMP Sulastomo menerangkan makna di balik angka 999 kepada Tirto, 17 Januari lalu.
Soeharto mendirikan YAMP pada 17 Februari 1982. Tiga puluh tujuh tahun setelahnya, tekad membangun 999 masjid itu tercapai. Tepat pada tanggal cantik yang dipenuhi angka 9 (9/9/2009), Ketua Pengurus YAMP Sulastomo meresmikan Masjid Al-Hasanah di Bekasi, Jawa Barat. Itulah masjid ke-999 yang didirikan YAMP.
Dalam salah satu buku soal kekayaan keluarga Cendana, Harta Jarahan Harto (1998), George Aditjondro menyebutkan, ada 13 yayasan yang termasuk dalam “yayasan kelompok pertama”—yayasan yang diketuai langsung oleh Soeharto. YAMP adalah salah satunya (hlm. 3-5).
Selain YAMP, yayasan dalam kelompok pertama ini mencakup Dharma Bakti Sosial (Dharmais), Dana Abadi Karya Bakti (Dakab), Dana Sejahtera Mandiri (Damandiri), Yayasan Supersemar, Yayasan Yatim Piatu Trikora, Yayasan Dwikora, Yayasan Seroja, Yayasan Nusantara Indah, Yayasan Dharma Kusuma, Yayasan TVRI, dan Yayasan Ibu Tien Soeharto.
George juga mencatat mengenai “yayasan kelompok kedua”, yakni yayasan yang diketuai Siti Hartinah (Tien), istri Soeharto. Kelompok ini terdiri dari 7 yayasan: Harapan Kita, Kartika Chandra, Kartika Djaja, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Purna Bhakti Pertiwi, Kemajuan dan Pengembangan Asmat, Dharma Bakti Dhama Pertiwi (DBDP), dan Dana Gotong Royong Kemanusiaan.
Meski memiliki bidang perhatian yang berbeda, pada dasarnya yayasan-yayasan tersebut memiliki kegiatan serupa: menghimpun dana masyarakat untuk kemudian disalurkan dalam bentuk barang, bangunan, bantuan tunai, atau beasiswa.
Uang Yayasan Dialihkan untuk Perusahaan
Modus mendirikan yayasan sesungguhnya cara lama Soeharto menghimpun dana. Sejak menjabat Kepala Staf Divisi Diponegoro di Semarang pada 1950-an, ia sudah melakukannya untuk membiayai keperluan tentara yang tidak tercakup dalam anggaran resmi negara.
Yayasan paling awal yang didirikan Soeharto bernama Teritorial Empat. Yayasan ini dibentuk pada Juni 1957 dengan tujuan, seperti diungkap Retnowati Abdulgani-Knapp dalam Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia's Second President (2007), "mengumpulkan dana untuk meningkatkan taraf hidup anggota angkatan bersenjata dan menambah dana pensiun mereka" (hlm. 30).
Sebulan kemudian, Soeharto mendirikan sebuah yayasan lagi dengan nama Pembangunan Teritorial Empat. Tujuan yayasan ini membantu para petani di wilayah Semarang dan sekitarnya. Sejak itu, ia seperti keranjingan membikin yayasan.
Setelah diangkat sebagai penguasa tertinggi Republik Indonesia pada 1967, Soeharto mengulangi cara lama yang pernah ia lakukan di Semarang itu. Sepanjang periode kekuasaannya, ratusan yayasan difasilitasi pendiriannya baik secara langsung maupun tidak.
Yayasan-yayasan yang ia dirikan kemudian menjadi sumber dana yang menopang kekuasaannya, sekaligus menjadi bancakan perusahaan-perusahaan yang dimiliki anak-anak dan para kroninya. Karena itu, setelah ia lengser, persoalan yang membelit yayasan-yayasan tersebut tidak lepas dari peran mereka dalam penyalahgunaan dana serta korupsi yang dilakukan selama Soeharto berkuasa.
Buku karya George Junus Aditjondro yang lain, Korupsi Kepresidenan, Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa (2006), menyebutkan bahwa Soeharto secara resmi didakwa Jaksa Agung pada 8 Agustus 2000 karena menggelapkan 571 juta dolar AS dari tujuh yayasan yang diketuainya ketika menjabat sebagai presiden.
“Meskipun secara tidak langsung yayasan-yayasan ini dibiayai publik, uang yang terkumpul dan digunakan oleh yayasan-yayasan ini tidak diawasi negara. Semua kegiatan keuangan yayasan-yayasan ini dikontrol lingkaran-dalam Soeharto dan tidak atas supervisi publik,” tulis George.
Sebagian besar dana yayasan digunakan untuk membeli saham mayoritas pada perusahaan-perusahaan yang dimiliki Soeharto dan kroni-kroninya.
Dalam catatan George, trio Dakab-Supersemar-Darmais memiliki saham di 27 perusahaan. Majalah Gatra, PT Nusantara Ampera Bakti (PT Nusamba), Bank Duta, dan Graha Dana Abadi (Granadi) adalah tiga di antaranya.
Mengutip Business Week edisi 17 Februari 1997, George menyebutkan, trio yayasan itu menguasai saham di 140 perusahaan lewat PT Nusamba. Jumlah kekayaannya ditaksir 5 miliar dolar AS.
Lalu, berdasarkan akta notaris bertanggal 2 Mei 2017 yang tercatat di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Dakab-Supersemar-Dharmais plus YAMP dan Yayasan Purna Bhakti Pertiwi saat ini menguasai saham Granadi sebesar Rp21,6 miliar. Rinciannya dijelaskan sebagai berikut:
Dakab menguasai saham terbanyak di Granadi sebesar 6.048 lembar saham (28 persen); Dharmais dan Supersemar masing-masing memiliki 5.616 lembar saham (26 persen); sementara YAMP dan Yayasan Purna Bhakti Pertiwi menguasai 2.160 lembar saham (10 persen).
Sulastomo mengatakan, saham yang ditanamkan YAMP ke Granadi merupakan "suatu keuntungan tersendiri" bagi YAMP.
"Setiap tahun [YAMP] dapat dividen. Itu menguntungkan. Kantor-kantor Granadi juga penuh. Semakin penuh semakin menguntungkan," ujarnya.
Dia juga menambahkan bahwa yang dilakukan YAMP merupakan hal wajar karena di gedung Granadi itu pula YAMP beralamat.
"Ini, kan, setengah kewajiban. Masak YAMP tidak punya kantor? Jadi, kami tanam saham ke Granadi. Jadi, pantas, kan? Tanam ke Bank Muamalat juga pantas, kan? Itu bukan korupsi."
Selain itu, menurut Lex Rieffel dan Karaniya Dharmasaputra dalam bab “Di Balik Korupsi Yayasan Pemerintah” yang dimuat dalam buku Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan (2009), banyak yayasan Soeharto berkantor di gedung pemerintah dan mempekerjakan PNS. YAMP adalah salah satu contoh. Sebelum berkantor di Gedung Granadi, ia beralamat di Gedung Sekretariat Negara, Jakarta.
Generasi Kedua Ketiban Warisan Yayasan
Kisah kejayaan dinasti Cendana memang tidak abadi. Pada Idul Adha 1996, Siti Hartinah meninggal. Dua tahun setelahnya, Soeharto berhenti dari jabatan presiden yang telah ia emban selama 32 tahun. Sembilan tahun kemudian, Soeharto mengembuskan napas terakhir saat berusia 87 tahun pada 27 Januari 2008.
Meski keduanya telah tiada, yayasan-yayasan yang mereka pimpin tetap berlanjut dengan kepengurusan yang berubah. Berdasarkan data termutakhir yang dimiliki Ditjen AHU, kini yayasan-yayasan itu diurus enam anak Soeharto dan Tien—generasi kedua keluarga Cendana. Setiap anak diangkat sebagai pengawas, pembina, atau pengurus di satu yayasan atau lebih.
Anak pertama, Siti Hardiyanti Hastuti alias Tutut, menjadi Ketua pembina Dharmais. Sedangkan anak kedua, Sigit Harjojudanto, menjadi pembina YAMP dan ketua pengawas Dharmais.
Lalu, anak ketiga, Bambang Trihatmodjo, menjadi pengawas Damandiri. Di dalam Damandiri pula, Siti Hutami Endang Adiningsih alias Mamiek, anak keenam, masuk dalam struktur yayasan sebagai pembina. Mamiek juga menjadi pengawas YAMP.
Anak keempat, Siti Hediati Harijadi alias Titiek, juga ikut ambil bagian. Dia kini menjadi pembina Yayasan Supersemar. Sedangkan anak kelima, Hutomo Mandala Putra alias Tommy, bertindak sebagai pembina di dua yayasan: Dakab dan Yatim Piatu Trikora.
Tiga anak plus satu menantu Soeharto kini juga bercokol dalam Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan. Yayasan ini didirikan Tien Soeharto guna menyalurkan bantuan kepada korban bencana alam. Tommy berperan sebagai pengawas, sedangkan Indra Rukmana, suami Titiek, menjadi pembina. Sementara Titiek dan Tutut menjadi bendahara dan ketua pengurus.
Peran besar yang dimiliki generasi kedua keluarga Cendana sekarang ini sebenarnya tidak mengherankan. Sejak 1990-an, mereka telah dilibatkan sebagai pengurus yayasan. Soeharto mendorong hal itu agar anak-anaknya, seperti ia utarakan kepada Warta Ekonomi (29/10/1990), “Belajar dalam rangka kegiatan sosial.”
Selain menjadi pengurus di yayasan yang diketuai orangtuanya, generasi kedua keluarga Cendana membentuk yayasan mereka sendiri semasa Soeharto dan Tien hidup. Dari pelbagai kelompok yayasan yang ada, menurut George Aditjondro, yayasan-yayasan mereka inilah yang terbesar dari segi jumlah dan besaran aset.
Generasi Ketiga Mulai Muncul
Selain peran generasi kedua, ada pula hal mencolok yang dapat diamati dari struktur kepengurusan yayasan: munculnya generasi ketiga keluarga Cendana atau para cucu Soeharto.
George Aditjondro menyebut Dandy Nugroho dan Danny Bimo Hendro Utomo (anak Tutut dan Indra) serta Ari Haryo Wibowo (anak Sigit) menjadi pengurus Yayasan Rally Indonesia yang diketuai Mamiek.
Gendis Siti Hatmanti, putri Bambang Trihatmodjo, kini menjadi sekretaris Dakab. Sedangkan Danti Indrastuti dan Dandy Nugroho menjadi wakil bendahara Damandiri dan pengurus Yayasan Supersemar. Sementara putri Sigit Harjojudanto, Retno Sari Widowati, menjadi sekretaris Damandiri.
Baik Danty dan Retno masuk kepengurusan Damandiri berdasarkan akta notaris bertanggal 7 November 2016 yang disebutkan dalam data Ditjen AHU. Sedangkan Gendis masuk kepengurusan Dakab berdasarkan akta notaris bertanggal 13 Desember 2016 dan Dandy masuk kepengurusan Yayasan Supersemar berdasarkan akta notaris bertanggal 15 Desember 2017.
Nasib Yayasan Saat Ini
Selain mengalami perubahan dalam struktur kepengurusan, saat ini sejumlah yayasan juga tengah terkendala masalah fulus.
Sebelumnya, YAMP menghimpun dana melalui skema iuran yang diperoleh dari memotong gaji pegawai negeri sipil (PNS) dan anggota militer. Jumlah iuran dibedakan berdasarkan golongan jabatan dan pangkat dengan kisaran Rp50 sampai Rp2.000.
Pada 1998, program iuran dihentikan. Saat itu, berdasarkan laporan keuangan YAMP, dana yang terkumpul sekitar Rp137 miliar. Setelah tidak lagi digunakan untuk membangun masjid, dana itu ditanam sebagai saham di PT Granadi sebesar Rp2,16 miliar dan Rp3,18 miliar untuk Bank Muamalat Indonesia.
Baca juga:
- Pengeboman BCA 1984, Soeharto, dan Islam
- Cara Orde Baru Membungkam Para Ulama
- Benarkah Soeharto Memusuhi Islam dan Mengapa Ia Berubah?
PT Granadi mengelola gedung Graha Dana Abadi (Granadi) yang menjadi kantor YAMP, Dakab, Dharmais, Yayasan Supersemar, serta sejumlah yayasan dan perusahaan lain, termasuk PT Humpuss yang dimiliki Tommy Soeharto.
“Ke mana-mana saya ditanya, kenapa dihentikan, kenapa dihentikan? Pak Harto itu enggak semuanya tentang yang jelek. Banyak yang bagus [...] Maka, Jaya Suprana memberi piagam rekor untuk kategori presiden di dunia yang membangun masjid terbanyak.”
Kalimat tersebut dilontarkan Sulastomo ketika menceritakan Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila (YAMP) berhenti mendirikan masjid sejak 2009. Bagi Sulastomo, permintaan agar YAMP membangun masjid lagi adalah pertanda masyarakat "mengapresiasi secara positif" program yayasan itu.
Menurut Sulastomo, setelah tidak lagi membangun masjid, YAMP memusatkan kegiatan pada pemeliharaan dan pelatihan pengurus masjid dengan menggunakan dana yang tersisa. Pemasukan tambahan diperoleh dari keuntungan saham yang ditanam di Granadi dan Bank Muamalat Indonesia.
Kendala keuangan juga dihadapi Yayasan Yatim Piatu Trikora—lazim disebut Yayasan Trikora. Kartono, sekretaris Yayasan Trikora, mengatakan saat ini Yayasan Trikora memberikan bantuan kepada sekitar 300 siswa. Mereka adalah anak-anak anggota TNI yang wafat dalam tugas. Kartono memperkirakan dana yang dimiliki Yayasan Trikora bakal habis dalam lima sampai sepuluh tahun ke depan.
"Sekarang enggak dapat dana lagi. Kalau sudah habis, ya sudah, bubar. Namanya juga kegiatan. Enggak ada tuntutan dan enggak ada yang menuntut,” ujar Kartono.
Sementara Yayasan Supersemar juga berhenti menjalankan program utamanya. Sejak 2015, yayasan ini sudah tidak lagi memberikan beasiswa kepada siswa tidak mampu yang berprestasi.
Masuknya generasi ketiga dinasti Cendana bisa jadi merupakan angin segar dalam kepengurusan yayasan. Namun, persoalan hukum dan kendala keuangan mesti diselesaikan jika ingin yayasan-yayasan keluarga mereka itu abadi.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Zen RS