Menuju konten utama
Wimanjaya Keeper Liotohe

Wimanjaya Bertaruh Nyawa Membongkar Dosa Rezim Soeharto

Wimanjaya menulis trilogi buku yang mengungkap bobrok Orde Baru semasa Soeharto masih berkuasa. Alhasil, ia dituding gila, dimata-matai, diteror, sampai dipenjara.

Wimanjaya Bertaruh Nyawa Membongkar Dosa Rezim Soeharto
Wimanjaya Keeper Liotohe. tirto.id/Sabit

tirto.id - Tanggal 23 Januari 1994, Presiden Soeharto menggelar acara temu wicara dengan para perwira Angkatan Laut di peternakan pribadinya yang berlokasi di Tapos, Depok. Di depan 400 lebih anggota ABRI itu, presiden menyinggung satu nama yang disebutnya telah memutar-balikkan fakta dan ingin mengganti Pancasila. Orang yang dimaksud itu bernama Wimanjaya Keeper Liotohe.

Apa yang dipaparkan presiden pada kesempatan tersebut tidak lain terkait dengan buku yang ditulis oleh Wimanjaya. Primadosa: Wimanjaya dan Rakyat Indonesia Menggugat Imperium Soeharto adalah judulnya.

Bukan hal yang mengherankan jika para perwira yang hadir saat itu terkaget-kaget. Sangat mengejutkan bahwa ada yang berani mengkritik apalagi menuduh orang nomor satu di Indonesia yang sudah berkuasa berpuluh-puluh tahun lamanya dan nyaris tak tersentuh.

Presiden tentu saja murka dengan tulisan Wimanjaya yang terhimpun di dalam buku tersebut. Di hadapan para prajurit negara yang siap membela sang panglima tertinggi itu, Soeharto menyebut Wimanjaya sebagai penulis gila yang ingin menjatuhkan namanya.

Maka, Wimanjaya harus lekas ditangkap. Akademisi dan bekas kepala sekolah kelahiran Tahuna, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, tanggal 9 Mei 1933 atau genap 84 tahun silam ini pun lantas menjadi salah satu orang yang paling dicari oleh tangan-tangan kekuasaan tirani Soeharto.

Trilogi Penguak Aib Penguasa

Buku itu cukup tebal, terdiri dari beratus-ratus halaman yang terbagi dalam 25 bab. Seluruhnya ditulis dengan menggunakan mesin ketik manual, belum memakai komputer. Sialnya, tidak ada penerbit yang bersedia, atau lebih tepatnya berani, menerbitkan seabrek tulisan yang jelas bakal memantik gempar tersebut.

Wimanjaya tak hilang akal. Ia membuat sendiri sampul buku itu memakai kertas karton, dan memperbanyak lembar-lembar cetakannya dengan memanfaatkan mesin fotokopi meskipun dalam jumlah yang amat terbatas dan beredar di kalangan yang sangat terbatas pula.

Sebenarnya, sudah tiga buku yang ditulis Wimanjaya tentang kebobrokan Soeharto dan rezim Orde Baru. Selain Primadosa, ada juga Primadusta dan Primaduka. Kendati awalnya sangat sulit menerbitkan buku-buku itu, tapi berkat upaya keras, Wimanjaya akhirnya bisa merilis ketiganya sekaligus meski bukan di Indonesia. Ia menerbitkannya di Belanda.

Oktober 1993, Wimanjaya meluncurkan tiga buah bukunya tersebut bersama masyarakat Indonesia yang bermukim di Belanda. Saat itu, ia masih aman dan akhirnya ada satu pihak yang bersedia mencetak buku-bukunya tersebut kendati dalam jumlah sedikit, yakni Yayasan Eka Fakta Kata.

Yang diterbitkan awalnya pun hanya satu buku, yakni seri pertama, Primadosa, pada akhir 1993. Buku terbitan Yayasan Eka Fakta Kata itu memuat 1.400 halaman yang seluruhnya mengungkap dosa-dosa Soeharto, termasuk upaya merebut pemerintahan dari Sukarno dan usaha untuk mempertahankan kekuasaan selama mungkin yang dilakukan dengan menghalalkan segala cara.

(Baca juga: Dosa dan Jasa Soeharto untuk Indonesia)

Akhirnya, buku pertama dari Trilogi Prima karya Wimanjaya sampai juga ke tangan sang penguasa berkat jejaring intelnya yang memang tersebar di mana-mana.

Dan Teror pun Dimulai

Sehari usai Soeharto berbicara di Tapos, Singgih SH selaku Jaksa Agung mengeluarkan larangan resmi terhadap buku karya Wimanjaya. Selain itu, seolah membeo ucapan sang presiden, Menteri Pertahanan dan Keamanan Eddy Sudrajat juga menyebut Wimanjaya sebagai “orang gila” dalam pertemuannya dengan parlemen alias DPR.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) saat itu, Hasan Basri, turut berbicara atas nama umat Islam. Ia mendesak agar Wimanjaya tidak dilepaskan dari tuntutan hukum meskipun misalnya ia ternyata tidak waras. Bagi Hasan Basri, Wimanjaya telah menghina Presiden Soeharto dan seluruh muslim di Indonesia (Aula, Volume 16, 1994).

Lantas, apa tanggapan Wimanjaya?

“Tak ada nasib yang lebih sial bagi seorang warga selain dinyatakan gila. Seorang yang dinyatakan gila tentu saja akan dikucilkan oleh masyarakat, dianggap berbahaya. Jika ia punya anak, maka tak ada orang yang mau menikah dengan anaknya, karena bapaknya gila. Mencari nafkah pun menjadi sulit karena pasti akan ditolak di mana-mana,” paparnya (Reformata, September 2003).

Memang itulah yang dialami oleh Wimanjaya sejak diketahui bahwa dirinya telah menjadi salah satu “musuh” negara. Ia sudah mengirim surat kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan meminta agar dikirim dokter untuk memeriksa kejiwaannya, sebagai pembuktian apakah tudingan gila yang dituduhkan itu benar atau tidak. Tapi, surat tersebut tak pernah berbalas.

Tanggal 13 April 1994, teror pun dimulai. Ia dicokok aparat, diinterogasi dengan tuduhan penghinaan terhadap presiden. Wimanjaya dicekal dan diancam bahwa ia bisa dipenjara selama 7 tahun 4 bulan. Namun, tanpa alasan jelas, Wimanjaya kemudian dilepas kendati sempat ditahan.

Meski belum dibui, pergerakan Wimanjaya selalu diawasi oleh intel. Bahkan, ia pernah mengalami percobaan pembunuhan. Menurut pengakuan Wimanjaya, ia nyaris mati diracun saat makan di kantin Pengadilan Jakarta Pusat. Saat itu, ia sedang mengikuti sidang 21 mahasiswa yang dituduh subversif oleh pemerintah.

Anak-anak Wimanjaya pun turut terkena imbasnya. Salah seorang anak Wimanjaya yang berkuliah di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya tiba-tiba dicabut beasiswanya tanpa sebab. Putranya yang lain, yang menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor (IPB), sempat dicari-cari intel meski tidak ketemu karena ada kesalahan penulisan nama di media.

“Koran itu menulis nama anak saya Rudy. Padahal namanya sebenarnya adalah Ludy. Puji Tuhan, hanya dengan kesalahan satu huruf, anak saya bisa lolos dari cengkeraman intel,” kenang Wimanjaya.

infografik pengungkap dosa dosa orde baru

Dipenjara, Hidup Lama Pasca-Orba

Lolos dari jeruji besi dan selalu menjadi incaran spionase pemerintah tak lantas membuat Wimanjaya ciut nyali. Bahkan ia kemudian meluncurkan dua buku lanjutan triloginya dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama pada 1997 kendati itulah yang membawa Wimanjaya harus merasakan pengapnya udara di dalam penjara.

Buku kedua diberinya judul Primadusta: Dusta Terbesar Abad Ini, Dokumen Negara Terpenting Raib. Secara garis besar, buku ini mengungkap kebohongan Soeharto usai peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966 yang dijadikan legitimasi pengambilalihan kekuasaan.

Tentang Surat Perintah Sebelas Maret 1966, Baca: Jika Supersemar Palsu, Apakah Orde Baru Tidak Sah?

Kepingan terakhir trilogi Wimanjaya adalah buku bertajuk Primaduka: Pembantaian Manusia Terbesar Abad Ini. Ia membeberkan pembunuhan massal yang terjadi semasa rezim Orde Baru, mulai dari pembantaian pasca-1965 serta berbagai pembantaian berikutnya di sejumlah wilayah, termasuk Aceh, Lampung, Maluku, Papua, Timor-Timur, Makassar, Madura, dan seterusnya.

Wimanjaya lalu ditangkap dan dibui 6 bulan 10 hari. Ia bebas sebelum Sidang Umum MPR hasil Pemilu 1997. Tanggal 3 September tahun itu, Wimanjaya diusung Solidaritas Masyarakat Independen sebagai calon wakil presiden RI periode 1998-2003 berpasangan dengan tokoh perempuan dari Mangkunegaran Solo, Raden Ajeng Berar Fathia.

(Baca juga: Hamengkubuwana IX Melawan Soeharto dengan Diam)

Atas “kelancangan” tersebut, Wimanjaya yang saat itu sedang pulang ke Sangihe dan tengah berada di rumah orangtuanya digeruduk aparat dan digiring kembali ke Jakarta. Sesampainya di ibukota, ia dijebloskan ke tahanan Mabes Polri sebelum dipindahkan ke LP Cipinang dan meringkuk di sana selama 3 bulan.

Beruntung, rezim Soeharto akhirnya tumbang pada Mei 1998. Wimanjaya bebas pada 1999 dan langsung membentuk partai politik yang ia beri nama Partai Prima, sebagaimana tajuk trilogi bukunya yang menggemparkan itu.

Tahun 2001, pada era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Wimanjaya mendapatkan amnesti sekaligus abolisi. Ia diampuni dan dibebaskan dari tuduhan bersalah menjadi tidak bersalah.

Sang pembongkar dosa Orde Baru dianugerahi usia panjang. Nyawa Wimanjaya bisa saja purna lebih cepat kala Soeharto berkuasa. Tapi, Tuhan berkehendak lain. Jikapun waktu itu ia ternyata tak selamat, Wimanjaya sudah siap, seperti ucapannya yang terselip dalam Primadosa, seri pertama dari trilogi yang menggegerkan itu.

“Satu Wimanjaya bisa mati, tetapi sejuta Wimanjaya baru akan bangkit membela harta milik mereka, membela tanah mereka, membela hak asasi mereka, membela nyawa mereka!”

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Maulida Sri Handayani