tirto.id - Republik Indonesia berada di titik nadir pada akhir 1948 itu. Negara yang baru 3 tahun merdeka ini bisa saja bubar lantaran Belanda berhasil menduduki Yogyakarta sebagai ibukota pemerintahan. Tak hanya itu, para pemimpin RI termasuk Sukarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir berada dalam tawanan Belanda sehingga Indonesia benar-benar terancam gulung tikar.
Penyelamat Kedaulatan RI
Dari wilayah barat sana, para tokoh nasional di Sumatera segera berkumpul setelah mendengar kabar bahwa Sukarno dan pemimpin negara lainnya ditangkap. Ada Syafruddin Prawiranegara, Teuku Mohammad Hassan, Kolonel Hidayat, Lukman Hakim, Indracahya, Mananti Sitompul, Maryono Danubroto, A. Karim, Rusli Rahim, juga Sutan Mohammad Rasjid.
Di sebuah tempat di ketinggian yang terletak belasan kilometer sebelah selatan Payakumbuh, Sumatera Barat, pertemuan pada 22 Desember 1948 itu mengambil keputusan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Inilah tindakan penyelamatan untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa Indonesia masih ada.
Kabinet darurat segera disusun. Syafruddin Prawiranegara ditunjuk sebagai Ketua PDRI merangkap Menteri Pertahanan, Menteri Penerangan, dan Menteri Luar Negeri. Yang lainnya pun diberikan posisi penting, termasuk Sutan Mohammad Rasjid selaku Menteri Keamanan, Sosial, Pembangunan, Pemuda, dan Perburuhan. Ia juga mengemban tugas sebagai Gubernur Militer Sumatera Barat dan Tengah.
Berkat PDRI, negara Indonesia tetap berdiri. Namun, 10 tahun setelah peristiwa penting tersebut, Sutan Mohammad Rasjid selaku salah satu penegak kedaulatan RI yang berandil besar dalam pembentukan pemerintahan darurat itu, justru menjadi buronan pemerintah karena pilihannya yang oleh rezim Sukarno dianggap salah.
“Pembelotan” Sang Duta Besar
Semua bermula pada 15 Februari 1958 ketika Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dideklarasikan di Padang, yang disusul dengan berdirinya Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) dari Sulawesi. Oleh pemerintah pusat di Jakarta, PRRI dan Permesta disebut sebagai gerakan pemberontakan yang ingin memisahkan diri dari NKRI.
Asal-muasal munculnya PRRI di Sumatera, juga Permesta di Sulawesi, berawal dari ketidakpuasan para pemimpin militer di daerah yang merasa dianaktirikan oleh pemerintah pusat (Khairul Ikhwan Damanik, dkk., Otonomi Daerah, Etnonasionalisme, dan Masa Depan Indonesia, 2010). Mereka menuntut otonomi wilayah yang lebih luas tetapi tidak dihiraukan.
Kala itu, Sutan Mohammad Rasjid sedang di Italia. Ia ditunjuk oleh Presiden Sukarno sejak 1954 untuk menempati posisi sebagai Duta Besar RI dan Berkuasa Penuh di negara tersebut. Selain itu, Rasjid juga tercatat sebagai anggota Konstituante Republik Indonesia, lembaga negara pembuat undang-undang.
Sebagai putra Minangkabau yang juga orang Indonesia, Rasjid tentunya mengharapkan hubungan antara pemerintah pusat dengan rekan-rekannya di Sumatera segera membaik meskipun PRRI terlanjur dideklarasikan.
Namun, harapan Sutan Mohammad Rasjid tersebut tidak terwujud. Presiden Sukarno justru menggerakkan kekuatan militer untuk membasmi PRRI/Permesta (R. Z. Leirissa, PRRI, Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis, 1991: 116).
Jadi Pelarian di Eropa
Tindakan Sukarno tersebut tentu saja membuat Rasjid kecewa karena ia tahu betul bahwa apa yang dituntut oleh PRRI dan Permesta terkait otonomi wilayah yang lebih luas memang dibutuhkan. Rasjid sangat paham adanya ketimpangan antara daerah dengan pusat karena ia pernah menjabat sebagai Gubernur Militer Sumatera Barat dan Tengah.
Rasjid pun membuat salah satu keputusan terpenting dalam hidupnya. Dengan keyakinan bulat, ia meninggalkan posnya di Roma dan berpihak kepada PRRI (Marah Joenoes, Mr. H. Sutan Mohammad Rasjid, 1991:173). Rasjid kemudian berperan sebagai Duta Besar PRRI di Eropa.
Namun, pilihan bergabung dengan PRRI membuat Rasjid menjadi buronan pemerintah Republik Indonesia. Sebagai pelarian politik di Eropa, ia harus sering berpindah tempat untuk menghindari kejaran orang-orang suruhan rezim Sukarno maupun jejaring internasionalnya.
Ketika PRRI akhirnya takluk pada pertengahan Mei 1961, Rasjid yang saat itu berada di Swiss masih ragu untuk pulang ke tanah air meskipun orang-orang yang terlibat dijanjikan akan diberi pengampunan. Pada 1964, ia akhirnya meninggalkan Eropa namun tidak kembali ke Indonesia. Demi keamanan, Rasjid memilih menetap di Singapura.
Hidup Tenang Pasca Orde Lama
Sejak muda, Sutan Mohammad Rasjid sebenarnya sudah mengabdikan dirinya untuk kepentingan perjuangan, termasuk selama era pergerakan nasional ketika Indonesia belum berbentuk negara yang berdaulat dan masih di bawah kendali pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Dilahirkan di Pariaman, Sumatera Barat, 19 November 1911, Rasjid langsung terlibat ke ranah pergerakan bahkan sebelum lulus sekolah menengah. Pada 1927, saat berumur 16 tahun, ia memimpin Jong Sumatranen Bond cabang Padang yang setahun kemudian turut berperan dalam ikrar kebangsaan Sumpah Pemuda (T.B. Simatupang, Report from Banaran: Experiences During the People's War, 2009:238).
Sempat aktif di organisasi Indonesia Muda cabang Jakarta hingga menjadi Jaksa Tinggi di Padang, karier politik Rasjid melesat setelah kemerdekaan Indonesia pada 1945. Ia ditunjuk sebagai Residen Sumatera Barat dari tahun 1946 hingga 1948.
Selanjutnya, ia menjabat sebagai Komisaris Negara Urusan Keamanan Dalam Negeri Seluruh Sumatera, jabatan yang setara dengan menteri, sebelum menjadi Gubernur Militer Sumatera Barat dan Tengah yang turut mendeklarasikan berdirinya Pemerintah Darurat Republik Indonesia sebagai tindakan penyelamatan NKRI pada 1948 itu.
Tergulingnya rezim Sukarno yang merupakan dampak peristiwa Gerakan 30 September 1965 membuka peluang bagi Rasjid untuk pulang ke tanah air. Dari Singapura, ia akhirnya kembali ke Indonesia pada 1968 atau ketika Soeharto mulai merintis rezim anyar yakni Orde Baru.
Selama Soeharto berkuasa, Rasjid mendapatkan perlindungan penuh. Ia bahkan dianugerahi penghargaan Bintang Perintis Kemerdekaan dan Bintang Mahaputra Adipradana dari pemerintah Orde Baru.
Label sebagai mantan “pemberontak” dan buronan negara sama sekali tidak mempengaruhi kehidupannya selama Orde Baru. Rasjid dan keluarganya hidup tenang lagi mapan hingga akhirnya ia wafat di Jakarta pada 30 April 2000 dalam usia 88 tahun.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti