tirto.id - Jumat, 2 Maret 1957, tepat pukul 03.00 dini hari di Makassar, Letkol Ventje Sumual membacakan naskah proklamasi dalam situasi yang disebutnya Staat van Oorlog en Beleg (SOB), artinya “negara dalam keadaan darurat perang”. Proklamasi inilah yang kemudian menandai gerakan serius bernama Perjuangan Rakyat Semesta atau Permesta.
Buku-buku sejarah untuk anak-anak sekolah acapkali menyebut Permesta sebagai usaha pemberontakan, label serupa yang juga dilekatkan untuk beberapa peristiwa lainnya yang sebenarnya masih menjadi misteri. Benarkah Permesta adalah upaya wilayah timur untuk melepaskan diri dari Republik Indonesia?
Letkol Ventje Sumual selaku salah satu tokoh sentral dalam gerakan Permesta menyangkal tudingan tersebut. Kendati begitu, jika pun disebut sebagai pemberontak, ia tidak pernah merasa menyesal telah memproklamirkan gerakan Permesta.
Pledoi Sang Proklamator
Dalam proklamasi yang dibacakan Ventje Sumual pada 2 Maret 1957 itu, tidak ada kata-kata yang merujuk pada upaya memerdekakan diri. Bahkan, teks yang dirumuskan oleh para perwira Teritorium VII/Wirabuana yang menaungi kawasan Indonesia Timur itu diawali dengan penggalan kalimat “Demi keutuhan Republik Indonesia….” dan seterusnya.
Proklamasi Permesta tersebut hanya menyatakan seluruh wilayah Teritorium VII dalam keadaan darurat perang. Situasi seperti ini memungkinkan untuk memberlakukan pemerintahan militer sesuai Pasal 128 Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 dan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1948.
Alinea ketiga proklamasi Permesta bahkan menyebutkan: “Segala peralihan dan penyesuaiannya dilakukan dalam waktu sesingkat-singkatnya dalam arti tidak, ulangi, tidak melepaskan diri dari Republik Indonesia.” Kata “ulangi” yang sengaja diselipkan di situ bisa dimaknai sebagai penegasan bahwa Permesta bukan gerakan separatis.
Permesta oleh Ventje Sumual disamakan dengan gerakan reformasi 1998 yang sama-sama bertujuan menginginkan perubahan, “Permesta bukan pemberontakan, melainkan suatu deklarasi politik. Isinya seperti yang diperjuangkan gerakan reformasi. Dulu, gerakan reformasi kami sebut sebagai Permesta,” ujarnya kepada Tempo pada April 2009.
Ventje Sumual bahkan mengklaim deklarasi Permesta tidak ditentang oleh A.H. Nasution dan Ahmad Yani, dua petinggi militer Republik Indonesia, yang berkunjung ke Makassar pada Mei 1957. “Saya setuju dengan isi Permesta. Ini untuk kepentingan prajurit, tapi tidak usah berpolitik,” sebut Nasution menurut Ventje Sumual.
Dicetuskan Permesta beriringan dengan dibentuknya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat. Bahkan, kedua gerakan ini sering disebut saling melengkapi dan mendukung satu sama lain. Tapi Ventje Sumual menyangkal dan menyebut PRRI memang gerakan pemberontakan, tapi tidak dengan Permesta.
“Tidak ada hubungan apa-apa. Kalau PRRI memang pemberontakan. Tapi Permesta hanyalah suatu program untuk pembangunan Indonesia Timur,” elaknya.
Ia bersikukuh bahwa Permesta digagas demi keadilan bagi masyarakat Indonesia timur dengan menginginkan otonomi wilayah yang lebih luas. PRRI semula sebenarnya juga menuntut hal yang sama. Namun, PRRI lebih “berani” dengan membentuk pemerintahan baru lengkap dengan kabinet beserta jajaran menterinya.
Cara bermain Permesta cenderung halus. Tak ada susunan kabinet, melainkan hanya seksi-seksi yang membawahi berbagai aspek kehidupan, dari politik, tata negara, hukum, keamanan, ekonomi dan pembangunan, pangan, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, perburuhan, perhubungan, pekerjaan umum, pertanian, penerangan dan informasi, agama, pemuda, veteran, dan seterusnya.
Sekali lagi, benarkah gerakan Permesta bukan pemberontakan?
Gara-gara Pemerintah dan PKI
Wilayah Indonesia Timur saat itu disebut dalam keadaan darurat perang. Ventje Sumual dan kawan-kawan punya alasan kuat atas kesimpulan tersebut. Selain persoalan ekonomi, ancaman disintegrasi dari sejumlah daerah di Sulawesi dan Maluku juga mulai muncul.
“Daripada berdiri sendiri, semua saya ambil-alih, dan Permesta sebagai simbol perjuangan. Nah, melihat situasi yang ada, saya lalu menyatakan Indonesia Timur dalam keadaan darurat perang,” ujar Ventje Sumual.
Ventje Sumual menyebut, deklarasi Permesta kemudian dikondisikan oleh pemerintah pusat menjadi sebuah ancaman, seperti halnya PRRI di Indonesia barat, “Pemerintah yang kemudian ingin memecah-belah. Jadi, seolah-olah ada dua pemberontakan, PRRI di Sumatera dan Permesta di Sulawesi.”
Yang terjadi kemudian adalah digerakkannya operasi militer oleh Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) atas perintah pemerintah pusat ke Sulawesi untuk memadamkan Permesta. Pemerintah mengerahkan sektor darat, laut, maupun udara untuk merebut daerah-daerah yang telah dikuasai oleh kubu Permesta.
Permesta sendiri tidak hanya diperkuat oleh unsur militer dari Indonesia Timur. Tidak sedikit laskar rakyat, bahkan gerombolan pemberontak yang sebenarnya seperti Pasukan Pembela Keadilan (PPK) pimpinan Jan Timbuleng, Laskar Sambar Njawa, dan lainnya, yang bergabung untuk menghadapi APRI.
Pasukan Permesta sempat membuat APRI sangat kewalahan. Ventje Sumual bahkan yakin, pihaknya akan dapat menduduki Jakarta sebagai pusat pemerintahan RI. Menurutnya, Jakarta adalah titik kunci. “Setelah menguasai Banjarmasin (Kalimantan Selatan), sebetulnya mudah saja untuk menguasai Jakarta,” katanya.
“Yang dibutuhkan adalah lapangan terbang Kemayoran. Dari situ, tinggal mengebom kilang minyak di Tanjung Priok. Kalau kilang minyak sudah dibom, Jakarta dan Bandung akan lumpuh,” lanjutnya.
Di titik inilah Permesta, yang semula cuma pernyataan politik demi menuntut keadilan, mulai mengarah pada aksi yang lebih serius karena berencana merebut Jakarta, pusat kedudukan pemerintah. Bukankah ini suatu bentuk pemberontakan? Tapi Ventje Sumual punya pembenaran.
“Tuntutan kami ke pemerintah pusat dijawab dengan bom di Ambon. Dan kami menegaskan, kalau Kabinet Djuanda (1957-1959) tidak dibubarkan, kami tidak akan menaati pemerintah pusat lagi. Menurut kami, kabinet itu dibentuk secara inkonstitusional!” dalihnya.
Para perwira militer di Indonesia Timur juga mencemaskan pengaruh orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI) yang semakin kuat di pemerintahan. Itulah yang menjadi alasan bagi Permesta untuk mengobarkan perang melawan pemerintah pusat.
Ventje Sumual mengatakan, sebagai prajurit pejuang, mereka tidak bisa berpangku tangan melihat keadaan saat itu. “PKI ketika itu mulai membesar. Bung Karno membentuk Dewan Nasional yang salah satu kakinya adalah komunis!” tukasnya.
“Kami ingin komunisme dihapus dari Indonesia. Kalau saja usaha PRRI/Permesta berhasil, pemberontakan PKI pada 1965 tidak akan terjadi,” lanjut Ventje Sumual.
Usaha mendekatkan diri kepada pemerintah seperti yang dilakukan PKI, salah satu parpol terbesar pada Pemilu 1955, adalah halal dalam politik. Ventje Sumual menyesalkan terjadinya pemberontakan PKI pada 1965, tapi ia dan Permesta justru sudah melakukannya terlebih dulu.
Pengakuan Tanpa Penyesalan
Gerakan Permesta memperoleh bantuan dari sejumlah negara asing, seperti Taiwan, Jepang, Filipina, dan terutama Amerika Serikat, yang sama-sama anti-komunis. Terkait ini, Ventje Sumual memberikan jawaban yang cenderung kontradiktif dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya terkait tudingan pemberontakan.
Amerika tidak membantu, tapi memanfaatkan Permesta untuk kepentingan mereka sendiri. “Setelah terbukti bahwa Jakarta masih kuat dan perwira Angkatan Darat seperti Nasution dan Yani bukanlah komunis, mereka meninggalkan kami begitu saja,” sebut Ventje Sumual.
“Memang, kalau mereka (Amerika) tidak pergi, saya yakin kami akan berhasil merebut Jakarta. Paling lama, kami akan menghabiskan waktu sekitar 2 bulan untuk menguasai seluruh Indonesia,” imbuhnya.
Pernyataan kali ini jelas menunjukkan bahwa Permesta memang berniat memberontak, bahkan ingin menguasai wilayah NKRI dengan mengharpkan bantuan dari Amerika Serikat. Dan, Ventje Sumual akhirnya mengaku, tapi bukan untuk melawan pemerintahan yang sah. Permesta tidak pernah berniat melengserkan Sukarno, hanya menginginkan keadilan, serta menyingkirkan PKI.
“Ya, saya mengaku. Tapi saya memberontak terhadap kezaliman. Dan perlu saya tegaskan lagi, saya tidak pernah menyesal pernah menjadi pemberontak!”
Ventje Sumual menyerah tanpa syarat pada 1961 dan mendekam di Rumah Tahanan Militer di Jakarta. Ia langsung dibebaskan begitu Soeharto memegang kendali pemerintahan RI sejak 1966.
Setelah itu, kehidupan Ventje Sumual jauh lebih baik, ia memimpin perusahaan dan aktif di beberapa yayasan di bawah naungan Orde Baru. Ventje Sumual menikmati masa-masa makmur itu hingga wafat pada 28 Maret 2010 di Jakarta dalam usia 86 tahun.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti