tirto.id - Setiap bersalaman, cukup sering Soeharto menempatkan tangannya di atas tangan orang yang disalaminya, dengan jempol sedikit menekan punggung tangan orang tersebut. Gaya jabat tangan seperti itu dilakukan Soeharto untuk menegaskan posisi, status, atau dominasi atas orang yang disalaminya, persis seperti raja dengan bawahannya.
Tak percaya? Buka Google, cari gambar dengan kata kunci “Soeharto jabat tangan”. Akan terpapar beberapa foto tokoh berjuluk The Smilling General itu bersalaman dengan gaya yang telah disebutkan di atas.
Gaya itulah yang boleh jadi membuat Hamengkubuwana IX alias Dorodjatun merasa tak berkenan. Berkenan atau tidak, relasi antara Soeharto dan Dorodjatun memang menarik. Keduanya cukup lama saling mengenal, jauh sebelum mereka berpasangan sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Ada relasi yang intens dan penuh kerja sama, namun juga diselimuti potensi perbedaan pendapat yang tidak pernah dinyatakan secara terbuka.
Raja Jogja yang Membela Republik
Terlepas dari perdebatan tentang feodalisme, Dorodjatun tetap berkesan bagi sebagian masyarakat Indonesia. Perannya di masa kemerdekaan yang dengan mantap memberikan dukungan penuh atas berdirinya Republik Indonesia menjadi catatan tersendiri bagi kiprah Sultan Yogyakarta ini.
Dorodjatun lahir di Yogyakarta pada 12 April 1912. Ia anak lelaki Hamengkubuwana VIII sekaligus putra mahkota Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Sejak kecil, Dorodjatun sudah merasakan kehidupan modern dengan pergaulan yang sangat luas, tidak terbatas pada lingkungan keraton saja. Sejak berusia 4 tahun, ia sudah dititipkan di keluarga Mulder, seorang Belanda totok, yang tinggal di Yogyakarta.
Ia menuntaskan sekolah dasar di Yogyakarta, lantas melanjutkan pendidikan ke Semarang. Tamat sekolah setara SMA, yakni Hoogere Burgerschool (HBS) di Bandung, Dorodjatun kuliah ke Universitas Leiden, Belanda. Di Belanda ia mengambil jurusan Indologi, termasuk mempelajari hukum dan ekonomi (Sri Sultan Hamengku Buwono IX: Riwayat Hidup dan Perjuangan, 1996: 63).
Dorodjatun dipanggil pulang ke tanah air tak lama setelah ayahnya wafat pada 22 Oktober 1939. Tanggal 18 Maret 1940, ia dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta yang ke-9 pada usia 28 (Mohamad Roem & Atmakusumah, Takhta untuk Rakyat, 1982: 98).
Selanjutnya, terutama selama masa Revolusi, Dorodjatun memainkan peranan penting bagi tegaknya negara Republik Indonesia dari ancaman Belanda yang ingin berkuasa kembali.
Panas-Dingin Bung Sultan dan Pak Harto
Hubungan Dorodjatun dengan Soeharto ibarat api dalam sekam, panas di dalam tapi dari luar tampak baik-baik saja. Berbagai kisah tentang relasi tak biasa antara dua tokoh nasional ini sudah sering terdengar. Salah satunya tentu saja terkait Serangan Umum 1 Maret 1949.
Serangan singkat yang berlangsung selama 6 jam itu merupakan gagasan Dorodjatun. Tapi, di buku-buku pelajaran selama Orde Baru, ceritanya berbeda. Soeharto memperjelas dirinya sebagai pengambil inisiatif sekaligus pelaksana penyerangan tersebut (Ahmad Shahab, Biografi Politik Presiden Republik Indonesia Kedua Soeharto, 2008: 71).
Lantas, apa yang dilakukan Dorodjatun untuk meluruskan episode bersejarah itu? Atmakusumah lewat Takhta untuk Rakyat (1982) memang menuliskan kronologis proses awal pencetusan Serangan Umum 1 Maret itu. Namun secara pribadi, Dorodjatun memilih tidak banyak bicara.
Perlawanan dalam diam juga tersirat dari sikap Dorodjatun saat mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden RI pada 3 Maret 1978. Alasan resminya adalah faktor kesehatan. Namun, banyak pihak menduga bukan itu dalih sebenarnya, melainkan "ada ketidakcocokan prinsipal dengan Presiden Soeharto" (Inilah Mati yang Paling Hidup: Sri Sultan Hamengku Buwono IX, 1988).
Dalam suatu diskusi pada 2013, mantan Ketua PP Muhammadiyah yang juga Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Ahmad Syafii Maarif, pernah menyinggung tentang hal ini. Menurutnya, Dorodjatun mundur karena mengetahui bahwa tindakan Soeharto sebagai presiden tidak seluruhnya dapat dibenarkan.
“Beliau tahu tapi beliau menahan saja, karena menjaga perasaan. Beliau tahu, atasannya, presiden, menyimpang, tapi diam saja,” kata Syafii Maarif.
Diam hingga Akhir
Gelagat bahwa Dorodjatun memang tak selalu sepakat dengan Soeharto sudah terlihat tidak lama setelah ia mundur dan Soeharto menunjuk Adam Malik untuk menjabat sebagai Wakil Presiden RI.
Sebelum mengiyakan penunjukan itu, Adam Malik sempat meminta saran dari Dorodjatun. Sebenarnya Dorodjatun tidak ingin banyak bicara, tapi demi kebaikan Adam Malik sendiri, ia akhirnya memberikan nasihat singkat, “Sebaiknya jangan diterima, karena Anda akan menyesal” (Intisari, 12 Mei 2015).
Namun, seperti diketahui, Adam Malik tetap menerima pinangan Soeharto untuk menjadi Wakil Presiden RI sejak 23 Maret 1978. Adam Malik mengampu jabatan itu hingga 11 Maret 1983.
Dorodjatun sendiri akhirnya mengungkapkan alasan mengapa ia mundur dari jabatan sebagai Wakil Presiden saat itu kendati terkesan diplomatis. Sultan beralasan bahwa ia merasa terkungkung dengan semua protokoler sebagai Wakil Presiden.
Dalam buku berjudul Inilah Mati yang Paling Hidup: Sri Sultan Hamengku Buwono IX 1912-1988 yang disusun Centre for Strategic and International Studies (1988) juga diungkapkan alasan Dorodjatun mundur. Ia berkata, “[…] itu keinginan di dalam jiwa saya untuk memberikan bakti yang lebih besar dan lebih efektif kepada bangsa dan negara”.
“Dan semua itu,” lanjut Dorodjatun, “hanya dapat dilaksanakan jika saya melepaskan diri dari ‘hambatan resmi’ yang melekat pada kedudukan sebagai Wakil Presiden.”
Hingga meninggal pada 2 Oktober 1988, tepat hari ini 31 tahun lalu, tidak sempat terkuak apa yang sebenarnya alasan Dorodjatun mundur dari jabatan sebagai orang nomor dua di Republik Indonesia itu. Dorodjatun tetap diam.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 12 April 2017. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Ivan Aulia Ahsan