tirto.id - Derap langkah pasukan prajurit Keraton Kasunanan Surakarta terdengar gagah di kompleks keraton. Lengkap dengan pakaian khas dan senjata, para prajurit berjalan serentak di sekitar Kori Kamandungan Kasunanan Surakarta, di tengah kerumunan masyarakat yang datang menonton, kemudian menyusuri jalan Supit Urang.
Karnaval pasukan keamanan keraton itu merupakan bagian dari Atraksi Prajurit yang diinisiasi oleh Keraton Surakarta bersama Direktorat Jenderal Atraksi Budaya Kementerian Pariwisata. Sejak 2022 lalu, atraksi tersebut rutin digelar saban Sabtu sore pukul 16.00 WIB.
Pada Pengageng Parentah Keraton Surakarta, KGPH Dipokusumo, menceritakan ide awal atraksi prajurit tersebut. Katanya, gagasan itu berangkat dari keinginan mengadakan aktivitas yang berkaitan dengan tradisi budaya Jawa yang bisa menjadi tontonan masyarakat.
Ia ingin semua hal yang berkaitan dengan tradisi dan adat budaya Jawa dipertontonkan kepada masyarakat luas. Tak hanya sekadar menonton, tetapi juga merasa menyatu dengan kegiatan tersebut.
Pemantik ide atraksi prajurit salah satunya ialah agenda malam satu Suro, yang ramai ditonton masyarakat, bahkan dengan khidmat mengikuti rangkaiannya. Sejak itulah Dirjen Atraksi Budaya Kementerian Pariwisata melihat potensi tontonan baru: aksi baris berbaris prajurit keraton.
Masyarakat yang menonton diharapkan dapat memahami fungsi, jenis, serta sejarah pembentukan prajurit di Keraton Surakarta.
"Atraksi prajurit masuk dalam unsur pengembangan dan inovasi baru. Unsur pelestarian dari sisi pertahanan keamanan, dengan formasi rangkaian dari prajurit untuk menjadi atraksi budaya," ujar Gusti Dipo, begitu sapaan akrabnya.
Tak hanya menampilkan atraksi formasi prajurit, terdapat pula selingan tontonan atraksi budaya berupa tarian berdasarkan cerita wayang Ramayana, Baratayuda, hingga Mahabarata. Tarian ala-ala teater itu dimainkan di tengah berlangsungnya kirab atraksi para prajurit.
Atraksi budaya yang dirancang oleh keraton bukan hanya sekadar agenda syarat untuk memenuhi unsur pariwisata. Unsur filosofisnya cukup mendalam, yakni dari tontonan, tuntunan, menjadi tatanan.
"Stratifikasi pertunjukan ada tontonan, tuntunan, dan tatanan. Bagaimana masyarakat menyerap sebagai tontonan, kemudian apakah itu meningkat ada suatu nilai untuk jadi tuntunan. Nah, itu harus memahami tatanan. Dasar dari aktivitas ini ada dua hal, daya tarik wisata masyarakat yang melihat secara langsung membentuk memori kolektif. Tapi juga ada komodifikasi, artinya memiliki nilai ekonomi apakah kalau itu dikembangkan bisa menarik daya wisata ke Surakarta, khususnya Keraton Surakarta," terang Gusti Dipo.
Serangkaian unsur yang dikemukakan oleh Gusti Dipo, sedikit banyak, beririsan dengan teori sosiologi pariwisata. Terdapat konsep yang disebut Autentisitas Pariwisata, dikemukakan oleh Dean MacCannell dalam bukunya bertajuk The Tourist: A New Theory of the Leisure Class (1976). Teori tersebut mencoba menjelaskan bahwa wisatawan modern punya hasrat untuk mengalami "keaslian" atau pengalaman yang autentik ketika mengunjungi suatu destinasi.
Ada pula teori Tourist Gaze yang kondang pada zamannya, dicetuskan dan dijelaskan oleh John Urry dalam The Tourist Gaze (1990). Seturut konsep tersebut, dalam konteks sosiologi, pariwisata merupakan sebuah arena interaksi antara wisatawan dengan objek atau subjek pariwisata.
Dua teori tersebut terejawantahkan dalam satu pertunjukan, yakni atraksi prajurit keraton. Semua kalangan bisa menontonnya, dari anak muda hingga orang tua. Karnaval tersebut juga menciptakan suatu interaksi, yang kemudian menumbuhkan persepsi, utamanya dari masyarakat yang menonton dan tenggelam ke dalamnya.
"Ketika seorang wisatawan melihat pertunjukan atraksi dari prajurit keraton, imajinasi, perasaan, dan pemahaman subjektif mereka akan aktif berinteraksi dengan apa yang sedang mereka tonton, dengar, dan nikmati," papar Argyo Demartoto, akademisi sosiologi pariwisata Universitas Sebelas Maret Surakarta, Kamis (20/3/2025).
Menurut Argyo, wisatawan yang menonton pertunjukan atraksi prajurit akan mendapatkan penggambaran secara langsung keaslian prajurit keraton. Wisatawan juga dapat mengimajinasikan tentang kondisi Keraton Surakarta di masa lampau melalui atraksi ini.
Seretnya Regenerasi Prajurit
Selama kurang lebih 3 tahun berjalan, Gusti Dipo tak bisa tutup mata terhadap beberapa kekurangan terkait terselenggaranya atraksi prajurit. Di antaranya termasuk persoalan jumlah prajurit, sarana prasarana berupa pakaian, hingga keterlibatan anak muda sebagai bentuk regenerasi.
"Sudah mulai ada regenerasi pelan-pelan. Sudah ada yang masuk usia 20, 30-an tahun. Namun, untuk jumlah rata-rata, masih kurang untuk regenerasi. Tapi kita pelan-pelan dalam rangka berkelanjutan," ujar Gusti Dipo kepada Tirto, Rabu (19/3).
Terkait regenerasi, Argyo sebagai akademisi menjelaskan, perlu adanya pemahaman mendalam terkait karakteristik pemuda sebagai penerus kebudayaan. Semua kalangan masyarakat tentu telah bertransformasi dan memiliki ciri khas masing-masing di setiap generasinya. Untuk itu, perlu ada pemetaan konsep yang relevan dengan masing-masing generasi.
Dalam konteks regenerasi atraksi prajurit, menurut Argyo, akan sulit untuk membuat generasi muda tertarik untuk terlibat dalam atraksi prajurit hanya dari menonton. Mesti ada cara-cara yang relevan dengan gaya hidup atau keseharian mereka.
"Kita bisa menggunakan cara-cara yang relevan dengan mereka, seperti melalui konten-konten yang mengedukasi tentang tradisi ini. Edukasi yang saya maksud bisa berupa video cinematic atau life story dari para prajurit yang kemudian dipublikasikan dalam media-media sosial terkini, seperti TikTok, Instagram, Youtube, Twitter atau X, dan lain sebagainya," jelas Argyo.
Generasi muda sekarang, berdasarkan pandangan Argyo, akan lebih mudah tertarik dengan seni yang bersifat estetis. Jadi, kemasan promosi budaya, termasuk untuk atraksi prajurit keraton ini, bisa dibuat lebih menarik. Dengan begitu, rasa keingintahuan para generasi muda akan muncul, yang kemudian datang untuk menonton atau bahkan terlibat langsung menjadi prajurit keraton.
Terlepas dari evaluasi yang masih perlu menjadi perhatian, atraksi prajurit Keraton Surakarta ini telah mendapat apresiasi berupa gelar juara pertama di tingkat nasional. Maka itu, pihak keraton berharap atraksi ini dapat berkelanjutan, regenerasinya tak putus di tengah jalan.
"Dari segi antusiasme penonton, atraksi karena ada perubahan [formasi], yang ketiga soal viral. Ada nilai plus dengan keterlibatan prajurit dalam berbagai acara di Solo, seperti hari jadi Kota Solo. Konsistensi pengembangan, pemanfaatan, pelestarian itu memberikan harapan suatu hal yang harus bisa berkelanjutan," ujar Gusti Dipo.
Penulis: Adisti Daniella Maheswari
Editor: Fadli Nasrudin