Menuju konten utama
Wapres daripada Soeharto

Sultan HB IX: Wapres yang Pernah Jadi Sultannya Soeharto

Sri Sultan Hamengkubuwono IX berpengalaman dalam pemerintahan, tapi tak diberi peran penting selama jadi wapres Soeharto.

Sultan HB IX: Wapres yang Pernah Jadi Sultannya Soeharto
Hamengkubuwana IX, wakil presiden pertama daripada Soeharto. tirto.id/Lugas

tirto.id - Dorodjatun lebih tua delapan tahun dari Soeharto. Soal sekolah, keduanya ibarat langit dan bumi. Dorodjatun pernah kuliah di Belanda, sementara Soeharto hanya lulusan SD. Meski tak punya keahlian selain berperang, Soeharto bisa jadi jenderal dan presiden berkat kecerdikannya. Sementara Dorodjatun punya pengalaman di bidang pemerintahan.

Waktu Dorodjatun baru jadi raja di Kesultanan Yogyakarta, Soeharto hanyalah salah satu dari ribuan kawula. Pada hari pelantikan Sri Sultan, Soeharto baru akan mendaftar sebagai anggota tentara kerajaan Hindia Belanda. Ketika Soeharto menjadi salah satu Letnan Kolonel Republik di sekitar Yogyakarta, Dorodjatun sudah duduk di singgasana Keraton Yogyakarta dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwana IX.

Hamengkubuwana IX menjadi orang penting dalam pemerintahan Republik sejak revolusi. Menjabat posisi menteri pun adalah hal biasa baginya, seperti halnya Soeharto jadi panglima. Pada 1960-an, Soeharto yang dulunya hanya kawula itu sudah meraih posisi penting di Angkatan Darat. Setelah pamor Presiden Sukarno meredup, Soeharto, Adam Malik, dan Sri Sultan Hamengkubuwana IX menjadi tritunggal penting selama periode awal rezim yang kelak dinamai Orde Baru.

Pada masa ekonomi sulit di awal pemerintahan Orde Baru, seperti ditulis Sutrisno Kuntoyo dalam Sri Sultan Hamengkubuwono IX: Riwayat dan Perjuangan (1996: 231), Sri Sultan sering datang ke Departemen Perkebunan—yang dipimpin oleh Frans Seda—di Jalan Imam Bonjol. Kala itu, Sultan menjabat posisi Menteri Koordinator Ekonomi Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) dalam kabinet Ampera. Pada 1967, Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) disahkan. Sesuai namanya, UU itu memang didesain untuk mengundang investor dari luar negeri ke Indonesia.

Sebagai bagian dari Tritunggal Orde Baru, bukan hal aneh jika Sultan Jogja menjadi wakil presiden daripada Soeharto pada 1973. Sudah tentu karena diangkat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Selama 1973 hingga 1978, foto sang raja Jawa terpampang di tiap kantor dan sekolah seluruh Indonesia.

Sri Sultan dilantik pada 23 Maret 1973. Saat itu, perekonomian Indonesia masih merangkak. Dalam Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya (1988: 276), Soeharto mengatakan, “Kabinet Pembangunan I itu, kita mengalami kerumitan mengenai keuangan kita sehingga devaluasi yang pertama di orde baru saya terapkan, yakni 10 persen.” Waktu itu nilai satu dolar masih sekitar Rp 420.

Selain bergulat dengan perbaikan ekonomi, Indonesia di awal 1970-an tengah memperbaiki hubungan dengan beberapa negara Asia seperti Malaysia dan Jepang. Menteri Luar Negeri Indonesia kala itu adalah Adam Malik yang dikenal sukses sebagai salah satu pendiri ASEAN.

“Peranan Sri Sultan antara lain untuk menghilangkan kesan militerisme dalam kepemimpinan orba,” aku Frans Seda, yang belakangan dikenal sebagai salah satu menteri orde baru, seperti yang terangkum dalam kumpulan tulisan untuk Sri Sultan, Tahta Untuk Rakyat (1982: 261).

Menurut Frans, kesan militerisme Soeharto adalah warisan kampanye PKI. Nyatanya, Soeharto memang sangat mengandalkan ABRI dalam banyak hal.

Jabatan wakil presiden yang diberikan kepada Sri Sultan tak menutupi dominasi ABRI dalam kehidupan politik. Jabatan-jabatan non-militer tetap saja diisi tentara. Wapres memang Sri Sultan, tapi kekuasaan tertinggi ada di tangan presiden daripada Soeharto. Sri Sultan pun, meski punya kedudukan raja, tak ingin mendahului tindak-tanduk salah satu rakyat jelatanya yang bernama Soeharto.

“Sebagai Wakil Presiden, dia menerima hanya sedikit tanggung jawab dan tanpa kekuasaan,” tulis John Monfries dalam A Prince of Republic (2016). Ternyata posisi wakil presiden di masa Orde Baru tak sebaik yang dipikirkan Sri Sultan Hamengkubuwana IX. Tidak lebih baik dari era Hatta belasan tahun sebelumnya.

Wakil Presiden RI kedua ini lantas kecewa. Namun sebagai orang Jawa, Sri Sultan tak bisa memperlihatkan kekecewaannya kepada Soeharto. Raja Jawa ini tak mau bikin mutung kawula yang sedang jadi ratu.

Infografik Seri Wapres Soeharto

Infografik Seri Wapres Soeharto HB IX

Semasa Sri Sultan mendampingi Soeharto, mahasiswa Bandung turun ke jalan. Pada November 1977, mereka mendakwa Soeharto menyeleweng dari UUD ’45 dan Pancasila. Tak hanya itu, muncul kasus korupsi Pertamina yang tidak jelas penyelesaiannya. Sebagai wapres, Sri Sultan tak mampu berbuat banyak semua penyelesaian ada di tangan Pak Harto.

Jelang Pemilu 1977, Sri Sultan Hamengkubuwana IX menolak pinangan Soeharto untuk kembali mendampinginya di periode berikutnya. Menurut Soeharto, Sri Sultan sangat mendadak menyatakan ketidaksediaanya.

“Menurut penilaian beliau [Sri Sultan], lebih baik beliau berada di luar Lembaga Tinggi Negara, untuk turut mempersatukan bangsa, menurut beliau, akan lebih baik, akan lebih flexible,” aku Soeharto dalam autobiografinya (hlm. 332).

Penolakan semacam itu cukup menyakitkan bagi Soeharto sebagai orang Jawa. Tak hanya sekali, tapi berlaki-kali penolakan itu disampaikan. Soeharto, yang masih sangat hormat kepada Sri Sultan selaku sang raja Jawa, hanya bisa nurut.

Seperti yang ditulis John Monfries, hubungan keduanya perlahan membeku pada akhir dekade 1970-an. Soal ini, Ibu Negara Tien Soeharto hanya bisa prihatin. Namun, dalam autobiografinya, Soeharto mengaku hubungannya dengan Sultan Hamengkubuwana IX tidak ada masalah, harmonis dan baik-baik saja (hlm. 330).

==========

Menjelang debat calon wakil presiden pada 17 April 2019, Tirto menayangkan serial tentang para wakil presiden yang pernah mendampingi Soeharto. Serial ini ditayangkan setiap hari dari Senin, 11 Maret hingga Sabtu, 16 Maret 2019. Artikel di atas adalah tulisan pertama.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Windu Jusuf