tirto.id - Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM) mendesak Divisi Propam Polri menindak tegas anggota polisi yang diduga melakukan kekerasan terhadap kader IMM saat unjuk rasa menolak revisi Undang-Undang (RUU) TNI di Gedung DPRD Kota Malang, Jawa Timur, Minggu (23/3/2025).
Ketua DPP IMM Bidang Hikmah, Politik, dan Kebijakan Publik, Ari Aprian Harahap, mengecam tindakan represif tersebut dan menegaskan bahwa kebebasan berekspresi harus dilindungi sesuai konstitusi.
"Kami mendesak Kadiv Propam Irjen Pol Abdul Karim untuk menindak tegas anggotanya yang terlibat melakukan kekerasan terhadap kader IMM Kota Malang. Oknum polisi tersebut harus segera diproses secara hukum. Konstitusi kita Pasal 28 UUD 1945 menjamin kebebasan berekspresi," tegasnya dalam keterangan tertulisnya di Jakarta (25/3/2025).
Di samping itu, dalam video yang beredar di media sosial (medsos), terlihat seorang kader IMM yang terluka dibawa ke ambulans dengan tangan terborgol.
Ari pun mempertanyakan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang diterapkan aparat hingga memborgol tangan kader IMM dalam kondisi luka-luka. Padahal, massa aksi hanya menyampaikan aspirasi, bukan melakukan tindakan kriminal.
"Mengapa sampai ada kader IMM yang diborgol? Padahal aksi ini adalah bagian dari hak demokratis warga negara, mereka bukan pelaku kriminal. Apakah itu bagian dari Protap (Prosedur tetap)? Saya rasa itu bukan hanya berlebihan, tapi sudah melanggar HAM,” tegasnya.
Lebih lanjut, Ari juga mengingatkan jika kasus kekerasan tersebut tidak ditindaklanjuti, maka dapat memicu gelombang protes kader IMM di seluruh Indonesia.
Ari pun menegaskan DPP IMM akan terus mengawal kasus ini dan meminta Propam Polri serta pihak terkait untuk bertindak secara profesional dalam menjalankan tugasnya.
DPR RI mengesahkan revisi Undang-Undang TNI dalam rapat paripurna pada Kamis (20/3/2025). Keputusan itu diambil tanpa hambatan, meski gelombang aksi protes terjadi di berbagai kota, seperti Jakarta, Bandung, Jogja, Surabaya, dan Malang.
Massa aksi khawatir revisi ini membuka peluang kembalinya dwifungsi TNI, sementara partisipasi publik dalam proses pembahasannya dinilai hanya bersifat seremonial.
Editor: Andrian Pratama Taher