tirto.id - Setelah DPR RI mengesahkan revisi UU TNI, terbukalah peluang untuk membahas revisi UU Polri yang pembahasannya sempat tertunda. Revisi UU Polri mulai dibahas tahun lalu pada penghujung masa jabatan Presiden Joko Widodo.
Pada 29 Mei 2024, revisi UU Polri disetujui menjadi inisiatif DPR RI periode 2019-2024. Jokowi lantas melayangkan surat presiden (surpres) perihal penunjukan wakil pemerintah untuk membahas revisi UU Polri pada 8 Juli 2024.
Namun, hingga Jokowi lengser, pembahasan revisi UU Polri belum beres dan akan dilanjutkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Belakangan, beredar tangkapan gambar surpres penunjukan wakil pemerintah untuk membahas revisi UU Polri yang dibubuhi tanda tangan Prabowo. Dalam salinan gambar yang diperoleh Tirto, terlihat surpres tersebut ditandatangani Prabowo pada 13 Februari 2025.
Ada tiga menteri Kabinet Merah Putih yang ditugaskan menjadi perwakilan pemerintah, yakni Menteri Hukum, Menteri Keuangan, dan Menteri Sekretaris Negara.
Namun, pimpinan DPR kompak menepis kabar bahwa mereka sudah menerima surpres untuk membahas revisi UU Polri. Kamis (20/3/2025) pekan lalu, di Kompleks DPR RI, Senayan, Jakarta, Ketua DPR RI, Puan Maharani, mengaku belum menerima surpres yang berkaitan dengan pembahasan revisi UU Polri.
“Belum ada surpres, kami [akan] lihat lagi,” kata Puan kepada awak media.
Senada dengan Puan, Wakil Ketua DPR RI, Adies Kadir, pun menyebut pimpinan DPR RI memang belum menerima surpres berkaitan dengan revisi UU Polri. Adies juga menyatakan belum ada rencana pembahasan RUU Polri dalam waktu dekat.
“Belum ada [surpres],” kata Adies singkat saat dikonfirmasi.
Namun, lewat keterangan pers tertulis, Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) Partai Nasdem Komisi III DPR, Rudianto Lallo, menyatakan siap membahas revisi UU Polri jika dianggap mendesak. Dia menyampaikan bahwa Komisi III saat ini masih memprioritaskan pembahasan revisi UU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) agar bisa rampung pada Oktober 2025.
Bukan hanya revisi UU Polri, Komisi III pun mengaku siap membahas revisi UU Kejaksaan. Rudianto menegaskan bahwa Komisi III akan mendorong penguatan kelembagaan hingga kewenangan tugas anggota kepolisian dalam pembahasan RUU Polri. Meski begitu, kata dia, panitia kerja (panja) pembahasan revisi UU Polri belum dibentuk.
“Kami siap saja di Komisi III untuk membahas itu,” ujar Rudianto dalam keterangannya yang diterima Tirto, Senin (24/3/2025).
Di tengah gelombang besar penolakan revisi UU TNI yang terus terjadi hingga hari ini, peluang bergulirnya pembahasan revisi UU Polri ibarat menabur garam di atas luka.
Betapa tidak, kekhawatiran publik akan kembalinya dwifungsi TNI tentu belum surut. Kekhawatiran itu pun menemukan buktinya ketika aksi unjuk rasa yang dilakukan elemen masyarakat sipil di berbagai daerah dihadapi dengan cara-cara represif oleh aparat.
Dugaan penggunaan kekerasan dalam penanganan demonstrasi yang dilakukan oleh aparat gabungan TNI-Polri dalam merespons gelombang penolakan UU TNI versi baru pun banyak tersebar di media sosial.
Teranyar, Minggu (23/3/2025), unjuk rasa di Malang dibubarkan aparat dengan aksi penangkapan dan penggunaan kekuatan berlebih. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Malang pada Minggu malam mencatat bahwa sekitar 8-10 orang peserta aksi dilaporkan hilang kontak berdasarkan pengakuan massa aksi lain.
Selain itu, ada sekitar 6-7 peserta aksi yang dilarikan ke rumah sakit karena terluka yang diduga diserang aparat. LBH menduga polisi tak hanya menyerang peserta aksi, tapi juga menyerang relawan medis hingga pers.
Rawan Mempersempit Ruang Demokrasi
Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, memandang bahwa agenda DPR dan pemerintah merevisi UU TNI dan UU Polri memang mengancam HAM dan demokrasi di Indonesia. Revisi UU TNI, kata Ardi, merusak tata kelola pemerintah yang baik dan berlandaskan pada supremasi sipil dan prinsip demokrasi.
Sementara itu, revisi UU Polri yang berpotensi membuat polisi menjadi lembaga superbody, mengancam hak dan kebebasan berekspresi dari masyarakat.
“Sebaiknya pemerintah dan DPR mengevaluasi diri terlebih dahulu. UU TNI yang baru saja disahkan begitu mendapat penolakan keras dari masyarakat, apalagi nanti RUU Polri yang pengaturannya banyak terkait dengan kebebasan masyarakat itu sendiri,” kata Ardi kepada wartawan Tirto, Senin (24/3/2025).
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian yang terdiri dari Imparsial, YLBHI, dan banyak organisasi nonpemerintah lain mencatat bahwa naskah revisi UU Polri memuat sejumlah pasal bermasalah dengan substansi perluasan kewenangan kepolisian.
Revisi UU Polri pun gagal menyoroti masalah fundamental yang terjadi di institusi kepolisian selama ini. Salah satunya, gagal menyoroti kelemahan mekanisme pengawasan dan kontrol publik terhadap kewenangan kepolisian yang begitu besar (oversight mechanism) dalam ikhwal penegakan hukum, keamanan negara, maupun pelayanan masyarakat.
Serupa revisi UU TNI, revisi UU Polri lebih seperti gerbang agar kepolisian dapat memperluas kewenangannya dalam berbagai bidang.
Misalnya, Pasal 16 Ayat 1 Huruf q dalam draf revisi UU Polri yang memperkenankan Polri melakukan pengamanan, pembinaan, dan pengawasan ruang siber. Kewenangan ruang siber ini dapat disertai penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan memperlambat akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri.
Dalam sejarahnya, tindakan memperlambat dan memutus akses internet itu lazim digunakan dalam meredam protes dan aksi masyarakat sipil. Hal itu misalnya pernah dilakukan oleh pemerintah pada 2019 di Papua dan Papua Barat. Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta bahkan menyatakan tindakan itu sebagai perbuatan melawan hukum.
Berkaca dari riwayat itu, campur tangan Polri dalam tindakan membatasi ruang siber ini akan semakin mengecilkan ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi, khususnya di isu-isu krusial yang berkaitan dengan pemerintah.
Selain itu, pengawasan eksesif pada ruang siber juga berpotensi melanggar hak privasi warga negara serta hak memperoleh informasi. Kewenangan itu berpotensi menyebabkan tumpang tindih dengan lembaga negara lain, seperti Kementerian Komunikasi dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
“Perluasan kewenangan Polri di ruang siber tidak proporsional dan berpotensi abusive atau terjadi kesewenang-wenangan. Kepolisian ingin mengambil alih secara penuh kewenangan penanganan kejahatan siber tanpa mengindahkan prinsip due process of law,” ungkap Ardi.
Benahi Masalah, Bukan Perluas Wewenang
Selain kewenangan besar dalam ruang siber, revisi UU Polri juga bisa memperluas kewenangan intelkam yang dimiliki oleh Polri sampai melebihi lembaga-lembaga lain yang mengurus soal intelijen.
Sisipan dalam Pasal 16A draf revisi UU Polri menjelaskan bahwa Polri berwenang untuk melakukan penggalangan intelijen. Penggalangan intelijen merupakan tindakan untuk mempengaruhi sasaran dengan tujuan mengubah perilaku atau tindakan sesuai dengan keinginan dari pihak yang melakukan penggalangan.
Artinya, Polri juga memiliki kewenangan untuk menagih data intelijen dari lembaga-lembaga lain yang menjalankan fungsi intelijen, seperti Badan Intelijen Nasional (BIN), BSSN, hingga Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS).
Lebih lanjut, Pasal 16B mengatur perluasan terhadap kewenangan intelkam dengan memperbolehkan Intelkam Polri melakukan penangkalan dan pencegahan terhadap kegiatan tertentu guna mengamankan kepentingan nasional.
Rancunya definisi dan penjelasan istilah “kepentingan nasional” yang dimaksud dalam draf revisi UU Polri itu berpotensi membuat Polri mampu mengawasi kegiatan warga negara yang mengkritisi pemerintah atau individu yang dinilai perlu diawasi karena alasan “gangguan keamanan.”
Kewenangan gendut Polri akan semakin besar karena dalam revisi UU Polri juga akan membuat kepolisian memiliki kewenangan melakukan pengawasan dan pembinaan teknis kepada penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), penyidik lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
Selain itu, Polri bisa melakukan intervensi pada tahap rekrutmen penyelidik dan penyidik KPK sampai dengan pelaksanaan tugas dari KPK dan PPNS yang tidak dipersyaratkan perlu persetujuan pelimpahan perkara.
Pada tahap rekrutmen, Polri jadi memiliki kewenangan untuk bisa memberikan rekomendasi pengangkatan untuk PPNS dan/atau penyidik lain yang ditetapkan oleh UU sebelum diangkat Menteri Hukum dan HAM. Hal itu termaktub dalam Pasal 16 Ayat 1 huruf n draf revisi UU Polri.
Meskipun deretan kewenangan kepolisian makin gemuk, revisi UU Polri tidak secara tegas mengatur perihal mekanisme pengawasan (oversight mechanism) institusi Polri dan anggotanya. Revisi UU Polri tidak menegaskan posisi dan mekanisme Komisi Kode Etik Kepolisian serta Komisi Kepolisian Nasional sebagai lembaga pengawas yang dapat memberikan sanksi bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran.
Evaluasi selama ini, Kompolnas tidak berperan sebagai lembaga pengawas Polri, melainkan lembaga kuasi eksekutif yang memiliki fungsi terbatas membantu memberikan pertimbangan kepada presiden dalam kebijakan kepolisian.
Pengawas Internal Polri termasuk kode etik justru sering menjadi gerbang impunitas dan diskriminasi penegakan hukum anggota Polri.
Peneliti bidang kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menilai wajar saja bila revisi UU Polri juga akan mendapat gelombang kritik dan penolakan dari masyarakat sipil. Sebab, alih-alih memperbaiki institusi Polri, draf revisi UU Polri yang ada justru berfokus pada perluasan kewenangan Polri.
Menurut Bambang, revisi UU Polri memang sangat penting dilakukan demi menjawab kebutuhan dan dinamika zaman. Peraturan baru memang diperlukan untuk merespons perkembangan masyarakat karena kemajuan teknologi saat ini yang sangat jauh berbeda dengan 23 tahun lalu. Termasuk, memperbaiki kelemahan UU Nomor 2/2002 tentang Polri.
Namun, kata Bambang, draf revisi UU Polri yang baru justru tidak menjawab kebutuhan masyarakat.
“Dalam draf itu lebih banyak menambah kewenangan Polri yang semakin besar berpotensi untuk disalahgunakan, sementara tidak membangun sistem kontrol dan pengawasan yang kuat,” ujar Bambang kepada wartawan Tirto, Senin (24/3/2025).
Bambang menjelaskan bahwa perluasan kewenangan bidang intelkam dan kewenangan siber membuka peluang abuse of power. Pasal itu berpotensi disalahgunakan untuk mensupervisi masyarakat, alih-alih sebagai upaya melindungi dan mengayomi masyarakat.
Bahkan, ia dapat mengancam hak asasi warga terkait rasa aman individu atas nama penegakan hukum.
Bila draf revisi UU Polri saat ini disahkan, Bambang menilai terbuka potensi Indonesia berubah menjadi police state atau negara kepolisian. Status itu bagi Bambang membuat satu negara berubah menjadi negara fasis. Hal itu jelas merupakan langkah mundur bagi prinsip negara hukum dan demokrasi yang dianut Indonesia saat ini.
“Yang harus dilakukan pemerintah dan DPR adalah membuka ruang dialog dan mengubah draf rancangan UU Polri sesuai harapan masyarakat sebelum dibawa ke Rapat Paripurna,” ucap Bambang.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi