tirto.id - Pemerintah dan DPR RI terus melaju memproses revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) meski terus mendapat kritik dari masyarakat sipil. Revisi UU Polri berulang kali diingatkan berpotensi membuat Polri menjadi badan super dengan kewenangan gemuk. Masalahnya, belakangan ini kinerja polisi dalam penanganan perkara tengah menjadi sorotan karena abai prosedur aturan yang ada.
Sejumlah kasus yang diduga berkaitan dengan salah prosedur penanganan di internal polisi terkuak baru-baru ini. Misalnya, dalam kasus tewasnya bocah berusia 13 tahun bernama Afif Maulana di bawah jembatan Kuranji, Padang. Meski terus dibantah, polisi diduga menyiksa Afif saat diamankan karena dituding hendak tawuran.
Sejumlah kejanggalan muncul di kasus Afif yang semakin menguatkan kecurigaan keluarga korban terhadap penanganan polisi. Polisi cenderung menutup-nutupi kasus Afif dengan menyatakan bocah itu tewas karena loncat dari jembatan.
Terdapat juga dugaan pengaburan fakta dengan menyembunyikan rekaman CCTV saat peristiwa terjadi serta upaya perusakan TKP di mana jasad Afif ditemukan. Lebih dari itu, polisi akan memburu orang yang telah memviralkan kasus Afif, alih-alih memproses serius dugaan penyiksaan yang dilakukan kepolisian.
Jika benar ada penyiksaan pada Afif, maka polisi telah melanggar banyak aturan: Pasal 28 g Ayat (2) UUD 1945; Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang menjadi UU nomor 12 tahun 2005; Konvensi Anti Penyiksaan (CAT) menjadi UU Nomor 5 Tahun 1998; serta UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Penyiksaan saat penanganan juga melanggar ketentuan internal Polri, yakni Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kasus lainnya pada akhir Mei lalu, ada 10 anggota Polres Klungkung melakukan penyiksaan terhadap warga asal Bali, IWS (47). Korban mengalami cacat gendang telinga sebelah kiri akibat penyiksaan yang dilakukan oleh aparat. Kasus ini bertambah miris karena IWS terbukti sebagai korban salah tangkap.
Dalam proses interogasi, IWS mendapat penyiksaan menggunakan tangan kosong, botol air mineral berukuran 1 liter yang berisi air, dan botol bir. Pukulan tersebut dilakukan secara berulang ke wajah, bagian kepala, dan kedua telinga korban.
Selama proses penyiksaan, tangan korban diborgol, pakaiannya dilucuti, dan mata korban ditutup dengan plester putih berlapis-lapis hingga tidak bisa melihat. Korban juga sempat diancam akan ditembak anggota polisi.
Teranyar, dikabulkannya praperadilan Pegi Setiawan dalam kasus pembunuhan Vina-Eky di Cirebon mengungkap tabir bahwa penyidik polisi sudah melanggar prosedur. Hakim Tunggal PN Bandung, Eman Sulaeman, memutus bahwa penetapan tersangka terhadap Pegi tidak sah dan batal demi hukum.
Hakim melihat penetapan tersangka Pegi Setiawan cacat prosedur. Dia masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) tanpa diawali surat pemanggilan. Lebih lanjut, Pegi jadi tersangka hanya bermodalkan dua alat bukti tanpa diperiksa lebih dulu.
Karut-marutnya penanganan perkara oleh polisi jadi ironi kontras, bila disandingkan dengan kewenangan besar yang bakal diemban Korps Bhayangkara dalam revisi UU Polri. Polisi masih melanggar prosedural – bahkan regulasi internal mereka – seperti melakukan penyiksaan, ekses, dan abai ketentuan administrasi KUHAP dalam penanganan perkara.
Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, memandang lajunya proses revisi UU Polri begitu kontras dengan banyaknya masalah penanganan perkara yang dilakukan polisi. Alih-alih membatasi kewenangan di tubuh Polri, agenda revisi yang bergulir justru membuat kewenangan polisi membengkak.
“Secara fungsi harusnya kebutuhan akan polisi adalah mekanisme pengawasan yang kuat. Seharusnya justru pembatasan kewenangan dan desentralisasi kewenangan,” kata Isnur kepada reporter Tirto, Jumat (12/7/2024).
Seharusnya, kata Isnur, kerja serta kewenangan polisi ada dalam pengawasan beberapa kementerian/lembaga agar hadir mekanisme kontrol. Misalnya fungsi reskrim yang lebih baik diawasi kejaksaan, kamtibmas diawasi Kemendagri, hingga baintelkam yang mesti sinergis dengan kerja Kominfo dan BSSN.
Dilalah, yang terjadi justru sebaliknya jika revisi UU Polri saat ini buru-buru disahkan. Isnur curiga ngebutnya proses revisi UU Polri diduga merupakan agenda tukar guling setelah berhasil menyukseskan agenda elite dalam pemilu.
“Kita mencurigai dalam konteks pemilu ada dugaan politik aparat. Kenapa ini begitu lancar kemungkinan karena dapat momen politiknya,” ujar Isnur.
Buktinya begitu kentara, tambah Isnur. Pasalnya agenda revisi UU Polri beriringan dengan rencana yang sama pada UU TNI. Pada kontestasi Pilpres 2024, TNI-Polri disebut-sebut diarahkan membantu pemenangan paslon yang didukung penguasa.
“Makannya ini selalu beriringan dengan RUU TNI. Jadi seolah ini adalah paket atau bundling yang bersamaan sebagai tukar guling pada pemilu,” sebut dia.
Sejumlah pasal dalam draf revisi UU Polri berpotensi silang sengkarut kewenangan dengan kementerian/lembaga lain. Misalnya perluasan kewenangan Polri di ruang siber, dengan adanya usul kewenangan penyadapan hingga pemblokiran jaringan internet.
“Bisa juga sadap kementerian/lembaga pemerintahan, intelkam ingin melebih BIN dan BAIS bahkan bisa melakukan penyelidikan dan pengamanan. Itu operasi berbahaya sekali jika digunakan untuk menghilangkan nyawa,” terang Isnur.
Polisi berpotensi jadi lembaga super body karena ingin memayungi wewenang penyidikan di seluruh kementerian/lembaga di bawah Polri. Maka lembaga-lembaga seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan serta lembaga lain seperti Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan ada di bawah koordinasi Polri.
“Polisi menjadi super body seolah ingin jadi majelis syura para penyidik. Semua penyidik di lembaga dan kementerian pengin ada di bawah dia [Polri] semua,” kata Isnur.
Jangan Tergesa-gesa
Direktur Eksekutif ISESS, Khairul Fahmi, menyatakan substansi revisi UU Polri sangat perlu ditinjau kembali. Menurut dia, UU Nomor .2 Tahun 2002 tentang Polri memang perlu diubah sebab ada beragam dinamika selama dua dekade ini. Namun, bukan berarti proses itu harus kejar tayang dilakukan.
“Agenda perubahan ini tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa. Dari naskah perubahan terlihat ada banyak masalah, dari naskah akademik juga demikian,” ujar Fahmi kepada reporter Tirto, Jumat.
Substansi revisi UU Polri yang perlu ditinjau kembali semisal perluasan kewenangan dalam ruang lingkup sub-sistem penyidikan. Selain itu, substansi kewenangan peradilan pidana, tata kelola siber, intelijen, penyadapan bahkan terkait restorative justice.
Fahmi turut menyoroti ramainya polisi melanggar prosedur penanganan perkara akhir-akhir ini. Persoalan itu menurut dia muncul sebagai dampak masalah struktural terkait hal-hal substantif maupun kultural di kepolisian.
Maka dari itu, Fahmi menilai agenda revisi UU Polri justru seharusnya digunakan untuk membenahi masalah tersebut. Terutama melakukan pembatasan kewenangan polisi serta membenahi keselarasan dengan undang-undang terkait, baik ranah sektoral atau peradilan pidana.
“Diperlukan pembentukan regulasi lebih tegas mengatur soal fungsi, kewenangan, prosedur, koordinasi, kompetensi dan pengawasan yang efektif,” ucap Fahmi.
Menurut Fahmi, penting memasukkan pengawasan dan batasan ruang lingkup kewenangan yang jelas dan tegas dalam revisi UU Polri. Anehnya, substansi soal pengawasan efektif justru tidak masuk pada naskah draf revisi.
Perubahan UU Polri secara substansi seharusnya mengarah pada upaya memperkuat profesionalisme dan integritas kelembagaan dan personel Polri. Di antaranya memperkuat pengawasan internal dan eksternal Polri. Sekaligus mengukuhkan landasan etik terhadap setiap penyelenggaraan fungsi dan layanan kepolisian.
“DPR sebagai pengusul perubahan UU ini harus diingatkan untuk bijak dan peka. Agenda perubahan UU Polri akan berdampak sangat buruk bagi kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan negara, jika dipaksakan untuk dibahas secara kejar tayang,” tegas Fahmi.
Wakil Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, memandang perubahan terhadap UU Polri memang seharusnya dilakukan, namun mesti lewat evaluasi penegakan hukum polisi saat ini. Misalnya banyak terjadi praktik penyiksaan, kekerasan, rendahnya pemenuhan hak-hak tersangka dan rendahnya akuntabilitas.
“Tidak bisa dengan tiba-tiba DPR mengajukan usul revisi UU Polri ini. Ini sebenarnya juga aneh, usulan revisi terhadap sebuah UU seharusnya datang dari implementator dari UU tersebut, dalam hal ini pemerintah cq kepolisian,” kata Ardi, sapaan akrabnya, kepada reporter Tirto, Jumat.
Awal pekan ini, surat presiden (surpres) terhadap RUU Polri, RUU TNI, RUU Kementerian Negara, dan RUU Keimigrasian sudah diterima DPR. Namun, surpres dari pemerintah belum diiringi daftar inventarisasi masalah (DIM).
“Saya justru curiga dengan Presiden Jokowi yang mengebut atau setidaknya merestui pembahasan revisi UU Polri ini [terus melaju]. Termasuk juga revisi UU TNI ya, karena ini seolah terlihat seperti balas budi terhadap kinerja kepolisian dan TNI dalam mengamankan kekuasaan,” ujar Ardi.
Ardi memandang memang masih ada persoalan terkait prosedur penanganan oleh polisi. Namun akar masalah ini, kata dia, justru efek dari aturan hukum acara pidana saat ini yang memberikan ruang tafsir luas bagi kepolisian menentukan bagaimana cara mereka bertindak atau melakukan tindakan hukum.
“Sebaiknya DPR terlebih dulu melakukan revisi UU KUHAP, agar berbagai persoalan yang terkait dengan kepolisian dalam penegakan hukum selama ini dapat dicegah atau diatasi,” pandang Ardi.
Respons Pemerintah
Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono, memastikan pemerintah akan mendengar aspirasi publik terhadap agenda revisi empat beleid yang sedang diproses, termasuk revisi UU Polri. Dia menyatakan DIM untuk perubahan UU Polri masih dibahas di Kemenkopolhukam.
“Pemerintah selalu terbuka untuk menerima masukan dari masyarakat, guna memastikan partisipasi yang bermakna [meaningful participation] dalam penyusunan legislasi,” kata Dini dalam keterangannya kepada wartawan, Rabu (10/7/2024).
Di sisi lain, Menkopolhukam Hadi Tjahjanto, menyampaikan bahwa pihaknya membutuhkan saran dan kritik masyarakat sipil. Dia sendiri menyadari banyaknya pihak yang mengkritik kedua RUU tersebut.
“Pemerintah tidak hanya sekadar melakukan pemenuhan terhadap persyaratan formil pembentukan UU saja. Namun juga yang paling penting adalah mendorong dan memastikan substansi materi muatan RUU TNI dan RUU Polri mampu menjawab kebutuhan masyarakat,” kata Hadi di acara Dengar Pendapat Publik RUU Perubahan UU Kepolisian Republik Indonesia pada Kamis, 11 Juli 2024, di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat.
Terakhir, Kadiv Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho, mengatakan revisi UU Polri menjadi motivasi bagi lembaganya untuk bekerja lebih baik lagi. Terkait materi revisi seperti pajak, siber dan kedaulatan, belum dibahas secara menyeluruh.
"Saat ini yang dibahas paling utama itu adalah kaitannya dengan pensiun yang bertambah. Kemudian, hal-hal yang lainnya tidak dibahas secara menyeluruh karena di undang-undang kepolisian sudah lengkap," pungkas Sandi, 30 Mei 2024 lalu.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fahreza Rizky