Menuju konten utama

Menyoal Kewenangan Polisi di Dunia Siber dalam Revisi UU Polri

Wahyudi mengingatkan UU Polri semestinya mengatur masalah kelembagaan, bukan penindakan.

Menyoal Kewenangan Polisi di Dunia Siber dalam Revisi UU Polri
Ilustrasi ancaman siber. (FOTO/iStockphoto)

tirto.id - Perbincangan soal revisi UU Polri terus bergulir dan menjadi sorotan publik. Di antara beragam penambahan wewenang kepada Polri, salah satu yang ikut ditambah adalah ruang kerja di dunia siber.

Dalam draf terakhir revisi UU Polri yang diterima Tirto, setidaknya ada 3 pasal yang memuat soal wewenang Polri di dunia siber, yakni definisi ruang siber sebagaimana diatur pada Pasal 1 ayat 18 RUU Polri, serta Pasal 6 ayat 1 RUU Polri yang menyatakan ruang siber menjadi ruang kerja kepolisian.

Namun, poin penting RUU Polri dalam dunia siber ada pada Pasal 16 huruf q yang menyatakan Polri bisa mengajukan pelambatan, pemutusan hak akses hingga pemblokiran dalam proses pidana.

“Melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi,” demikian bunyi Pasal 16 huruf q RUU Polri tersebut.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, mengkritik isi revisi UU Polri tersebut. Ia menilai, draf RUU Polri yang baru tidak memiliki pengaturan pengamanan secara spesifik.

“Ada kewenangan baru bukan fungsi kriminal di RUU tersebut, yaitu fungsi keamanan negara. Nah, kemananan negara itu tidak dijelaskan detailnya seperti apa dan ke mana bisa menguji keputusan pada alasan pengamanan,” kata Erasmus dalam keterangan, Kamis (30/5/2024).

Erasmus juga menyoalkan logika aparat yang menjadikan ruang siber sebagai wilayah yuridiksi Polri. Ia mengingatkan bahwa ruang siber bersifat borderless sehingga tidak bisa dinyatakan sebagai wilayah yuridiksi. Ia menyoroti pemberian wewenang blokir hingga akses pada polisi dalam penanganan hukum.

“Kewenangan blokir, putus akses itu upaya paksa, konteksnya adalah pembatasan hak, maka harus berdasarkan hukum dan diputuskan oleh pengadilan dan bisa di-challange oleh pengadilan. Ini semua enggak diatur batasannya dengan kewenangan ranah baru ‘keamanan’,” kata Erasmus.

Oleh karena itu, Erasmus khawatir pemberian wewenang tersebut akan berimbas pada potensi penyalahgunaan wewenang karena tidak ada pengaturan dasar pemutusan serta tidak ada pengaturan pengujiannya. Ia lebih mendorong agar masalah siber diatur di UU Siber daripada UU Polri karena tidak sesuai ketentuan.

“Kami concern seperti yang sudah-sudah nanti membuka ruang polisi atur dengan aturan internal padahal pembatasan hak harus diatur di undang-undang dan materi ini soal ruang siber, maka diatur oleh materi undang-undang Siber, bukan UU Polri,” kata Erasmus.

Direktur Eksekutif Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, juga menyoroti sejumlah hal dari pengelolaan siber yang dilakukan kepolisian. Pertama, Fahmi menyoalkan batas ruang lingkup di ruang siber. Ia mengingatkan ruang siber sangat luas, stateless, dan penuh dengan peluang anonimitas.

“Lantas sudahkah diidentifikasi siapa dan apa saja subjek dan objek terkait fungsi dan peran kepolisian di ruang siber ini? Ini penting mengingat kewenangan negara dalam pengendalian pemanfaatan ruang siber secara normatif sudah dimandatkan kepada Kemenkominfo dan BSSN,” kata Fahmi.

Kedua, kata Fahmi, Pasal 16 sudah mengamanatkan bahwa kewenangan pidana dalam Pasal 16 ayat 1 sudah diatur di Pasal 13 dan 14 RUU Polri. Ia menilai kewenangan berlebih malah memicu tumpang tindih.

Fahmi mengakui bahwa memang ada kebutuhan pengaturan kewenangan dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang siber, termasuk dalam penegakan hukum dan keamanan nasional. Akan tetapi, hal itu bukan wewenang kepolisian saja. Ia mencontohkan BSSN dan Kominfo sudah punya mandat dalam pengelolaan siber.

Karena itu, kata Fahmi, prioritas yang penting dalam hal pemberian kewenangan ini adalah memastikan tidak ada potensi konflik kepentingan dan tumpang tindih kewenangan yang akan berdampak pada hak-hak masyarakat dan hubungan antarlembaga.

“Hal itu yang tidak tampak dalam pengaturan kewenangan yang dimasukkan dalam perubahan UU Kepolisian,” kata Fahmi.

Fahmi mengatakan, sifat ruang siber yang anonimitas, stateless dan anarkis membuat negara sulit ikut campur maupun mengintervensi dunia digital. Ia juga mengakui bahwa ruang siber dioperasikan secara transnasional sehingga sulit dikendalikan. Teknologi dan modus kriminalitas konvensional berkembang lebih pesat daripada teknologi, bahkan kejahatan siber jauh lebih pesat.

Ia mencontohkan petugas patroli siber mungkin menemukan 10 situs judi dan kemudian di-takedown. Keesokan hari bisa ada ribuan situs. Ia pun mengingatkan penutupan akses tidak serta merta membuat domain tidak bisa diakses.

Menurut Fahmi, dunia digital adalah era paling menantang karena potensi ancaman bagi keamanan nasional dan demokrasi tinggi. Aktivitas patroli siber yang berusaha berjaga memang bertujuan menjaga keamanan terkendali, tetapi bisa juga menjadi konsekuensi buruk bagi publik. Ia mencontoh Cina yang membatasi ruang siber publik, tetapi tidak mudah.

Di sisi lain, kata Fahmi, kebebasan berekspresi di negara liberal juga menjadi masalah ketika muncul perdebatan kebebasan dan hak-hak sipil dalam pemanfaatan ruang siber.

“Akibat kebijakan itu masyarakat pasti merasa ruang geraknya terbatas dan karena sifat ruang siber yang stateless, anarkis dan anonim tadi, maka para penggunanya selalu akan mencari cara untuk keluar dari keterbatasan gerak tadi, melalui teknologi juga,” kata Fahmi.

Selama ini, Fahmi mengakui, Polri kerap membantah telah melakukan aktivitas pengawasan ruang siber yang tidak diatur oleh UU. Tapi logikanya, teknologi dan regulasi yang bisa digunakan untuk pengawasan terhadap akses internet terlarang, mestinya mudah juga disalahgunakan untuk mengawasi aktivitas digital warga masyarakat, yang mestinya dihormati dan dilindungi.

Lantas, bagaimana UU dan Polri sendiri bisa menjamin kewenangan itu tidak memiliki potensi untuk disalahgunakan? Fahmi menilai perlu peraturan perundang-undangan yang lebih spesifik mengatur soal distribusi kewenangan di antara kementerian dan lembaga yang memangku kepentingan terkait ruang siber. Baik dalam hal pemanfaatan, pengendalian dan pengawasannya, maupun dalam hal yang berkaitan dengan upaya perlindungan masyarakat,menjaga keamanan nasional maupun kepentingan penegakan hukum.

Sementara itu, Direktur Eksekutif ELSAM, Wahyudi Djafar, juga menilai wajar jika ada penambahan wewenang Polri beraktivitas di ruang siber. Hal ini tidak lepas pengesahan KUHP baru maupun Undang-Undang ITE.

Namun, Wahyudi mengkritik pemberian klausul polisi bisa melakukan pelambatan akses hingga pemutusan akses. Ia paham klausul tersebut bisa dilakukan dalam proses hukum, tetapi upaya tersebut harus dilakukan selayaknya konsep penyitaan. Ia menilai pemutusan maupun pelambatan akses harus diuji lewat mekanisme pengadilan jika ingin dilakukan secara permanen.

“Nah yang jadi soal tadi, kenapa kemudian ditambahkan klausul terkait dengan throttling dan bahkan internet shutdown nya gitu ya, penutupan sebagian dan juga kemudian penutupan total itu yang jadi masalah gitu kan, karena kan itu bukan berkait dengan masalah pidana dan itu bukan wewenangnya kepolisian,” kata Wahyudi kepada reporter Tirto.

Wahyudi lantas menyinggung soal upaya pemutusan akses internet di Papua yang disengketakan di PTUN. Ia mengingatkan putusan pengadilan PTUN kala itu mengamanatkan bahwa pemutusan internet harus dilakukan presiden lewat deklarasi resmi dan hanya bisa dilakukan dalam situasi darurat.

Ia beralasan tindakan pembatasan jaringan adalah tindakan yang mengganggu hak-hak lain, bahkan pelaksanaan harus diuji sedemikian rupa. Ia juga mengingatkan bahwa PBB menilai kegiatan throttling sebagai tindakan tidak proporsional dalam situasi apa pun meskipun menggunakan alasan keamanan nasional.

Oleh karena itu, Wahyudi menilai, pengaturan soal pembatasan internet dan lain-lain tidak seharusnya masuk di RUU Polri. Ia mengingatkan UU Polri mengatur masalah kelembagaan, bukan penindakan. Ia menilai upaya penindakan cukup diberikan kepada undang-undang lain yang lebih spesifik mengatur dan revisi cukup mengatur kewenangan.

“Jadi di undang-undang kepolisian ya cukup mengatur tentang bahwa jurisdiksinya kepolisian itu juga mencakup ruang cyber," kata Wahyudi.

Baca juga artikel terkait REVISI UNDANG-UNDANG atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz