tirto.id - Salah satu dalih yang dipakai pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) adalah Hak Asasi Manusia (HAM). Para aktivis lantas mengkritiknya. Pemerintah dianggap tidak layak mengatakan itu.
Selasa (17/9/2019), usai DPR mengesahkan revisi UU KPK menjadi undang-undang, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, “pencegahan dan penindakan bisa dilakukan dengan efektif tanpa mengabaikan hak asasi manusia.” Hal serupa diungkapkan Menkopolhukam Wiranto.
Bagi Wiranto, penghormatan terhadap HAM diimplementasikan lewat penyadapan yang harus mengantongi izin dari Dewan Pengawas KPK—badan baru yang diamanatkan dalam Pasal 37E ayat 1 UU KPK hasil revisi.
“Penyadapan membutuhkan izin tertulis dari Dewan Pengawas agar sesuai dengan due process of law dan justru memberikan penghormatan kepada HAM dan menjaga akuntabilitas," ujar Wiranto di Jakarta, Rabu (18/9/2019).
Penyadapan sesungguhnya melanggar HAM, klaim Wiranto. Tapi itu bisa ditolerir dalam rangka penyelidikan dan penyidikan sepanjang sudah dapat izin. Wiranto cemas jika KPK dapat menyadap sesuka mereka.
Tapi peneliti dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum UI (Mappi FHUI) Andreas Marbun tidak sepakat dengan alasan itu. Menurutnya tak ada satu pun komisi anti korupsi di dunia ini yang harus meminta izin ke lembaga sejenis Dewas KPK sebelum menyadap.
“Semua juga kalau izin ya ke pengadilan. Itu kalau mau klaim melindungi HAM,” kata kepada reporter Tirto, Jumat (20/9/2019).
Dalam UU KPK sebelum revisi, penyadapan dapat dilakukan tanpa izin pengadilan. Hak ini sempat dipermasalahkan saat DPR membahas RUU Penyadapan, tahun lalu. Sejak saat itu DPR ingin KPK mengantongi izin dulu dari pengadilan sebelum menyadap.
Saat itu Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan tidak setuju karena akan menurunkan potensi keberhasilan pengusutan kasus.
Penolakan serupa dengan alasan yang sama kembali diutarakan pimpinan KPK ketika usul revisi UU KPK muncul.
Di Gedung KPK, Kamis (19/9/2019), Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan semestinya Dewas KPK “tidak terlibat dalam persetujuan atau memberi izin, tapi mengawasi pekerjaan yang dilakukan oleh KPK.”
Andreas juga mengatakan demikian. Apalagi, katanya, Dewas KPK bisa saja diisi oleh orang-orang yang memang sudah berniat melemahkan KPK.
“Jadi enggak usahlah mempertentangkan dengan isu HAM. Kalau mau, kita bahas secara prinsip dan asas hukum pidana aja,” jelas Andreas.
Kritik serupa disampaikan Rivanlee Anandar, peneliti dari lembaga yang fokus mengadvokasi isu-isu HAM, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Menurutnya, revisi justru membuat pemberantasan korupsi melemah, dan “kalau penegakan hukumnya lemah justru tak sesuai dengan prinsip-prinsip HAM.”
“Tak semestinya mereka bicara pelemahan kerja-kerja KPK dengan dibungkus prinsip-prinsip HAM,” tambahnya.
Menurutnya, baik Yasonna atau Wiranto memandang kasus ini sangat parsial, padahal pekerjaan rumah mereka untuk menuntaskan dan menegakkan HAM saja masih belum rampung.
Beberapa kasus pelanggaran HAM yang belum dituntaskan pemerintah adalah: genosida 1965, penembakan misterius (petrus) tahun 1980an, tragedi 1998 (pembunuhan-perkosaan), hingga pembunuhan aktivis HAM Munir.
Kasus lain yang belum tuntas adalah pelanggaran di Timor Timur. Wiranto bahkan didakwa oleh Serious Crime Unit karena terlibat dalam “pembunuhan, deportasi, dan penyiksaan” di Timor Timur sepanjang 1999. Kasus ini kembali ramai dibicarakan setelah arsip-arsip terkait dideklasifikasi oleh National Secutiry Archive Amerika Serikat pada akhir Agustus lalu.
Wiranto menolak merespons itu. Di kantornya di Jakarta, Jumat 30 Agustus: dia hanya berkomentar: "ya, ya, tidak usah direspons".
“Bicara HAM demi memuluskan revisi UU KPK tapi tidak dalam kasus-kasus lain jelas sangat sepihak,” pungkas Rivanlee.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Rio Apinino