Menuju konten utama

Polemik Revisi UU TNI yang Tidak Menjawab Kebutuhan Objektif

Revisi UU TNI mestinya juga mengagendakan pembahasan sejumlah hal krusial selain menyangkut dua pasal tersebut.

Polemik Revisi UU TNI yang Tidak Menjawab Kebutuhan Objektif
Prajurit TNI naik kendaraan tempur saat parade alutsista TNI memperingati HUT Ke-78 TNI di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Kamis (5/10/2023). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/tom.

tirto.id - Sidang paripurna DPR RI pada Selasa (28/5/2024) memutuskan revisi UU TNI menjadi inisiatif dewan. Wacana revisi ini menjadi ramai karena dokumen draf RUU TNI yang baru sempat beredar di kalangan wartawan. Apalagi tahun lalu rencana revisi ini sempat diprotes karena dianggap melegalkan “dwifungsi” yang telah dihapus usai Reformasi 1998.

Dalam dokumen sebanyak 10 halaman yang beredar di kalangan media, setidaknya memuat perubahan 2 pasal. Pertama terkait Pasal 47. Dalam Pasal 47 ayat 2, draf tersebut memberikan ruang bagi TNI untuk masuk ke bidang penanganan narkoba dan bisa masuk kementerian atau lembaga sesuai persetujuan presiden.

“Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung, serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden,” demikian bunyi Pasal 47 ayat 2 draf tersebut.

Draf tersebut juga mengatur soal momen karier di kementerian lembaga. Peraturan tersebut juga mengatur penambahan masa dinas prajurit perwira menjadi 60 tahun dan bintara maupun tamtama di angka 58 tahun dalam Pasal 53. Dengan kata lain, masa dinas prajurit bertambah sebanyak dua tahun.

Akan tetapi, hal yang menarik adalah pemberian tambahan masa jabatan bagi prajurit hingga 65 tahun. Sementara itu, perwira tinggi bintang 4 dapat diperpanjang masa dinas keprajuritan paling lama dua tahun dan dapat ditetapkan lewat keputusan presiden. Perpanjangan pun dapat dilakukan sebanyak dua kali.

Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDIP, TB Hasanuddin, mengaku, belum menerima draf resmi revisi UU TNI. Ia juga mengatakan belum bisa menjawab soal kebenaran draf yang beredar tersebut.

“Saya belum dapat secara resmi drafnya,” kata Hasanuddin saat dihubungi, Senin (27/5/2024).

Ketua Komisi I DPR RI cum politikus Partai Golkar, Meutya Hafidz, juga menjawab singkat saat dikonfirmasi soal rencana revisi UU TNI. “Di Komisi I tidak ada pembahasan revisi UU TNI,” tegas Meutya.

Sementara itu, Wakil Ketua Baleg DPR RI, Achmad Baidowi, tidak merespons saat dikonfirmasi soal keberadaan draf tersebut. Namun, pada Selasa (28/5/2024) ternyata sidang paripurna DPR RI justru mengesahkan RUU TNI menjadi inisiatif DPR.

Dinilai Mempermudah TNI Masuk ke Jabatan Sipil

Sontak, draf RUU TNI terbaru tersebut menuai kritik, salah satunya dari anggota Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Sektor Keamanan, M. Isnur. Ia menyoroti soal alasan pembolehan anggota TNI masuk ke jabatan sipil. Menurut dia, ada upaya pemudahan TNI untuk masuk jabatan sipil dan tidak tepat bagi profesionalisme TNI.

“Jadi kami memandang ini sebenarnya rencana pemosisikan tentara di berbagai jabatan-jabatan sipil dan ini bertentangan dengan semangat profesionalisme TNI. Jadi ini kami melihat bagaimana perluasan peran-peran TNI dalam peran-peran sosial politik di berbagai kementerian, ini sama saja dengan agenda kembalinya dwifungsi TNI-Polri gitu,” kata Isnur kepada reporter Tirto.

Isnur khawatir upaya mudah perpindahan TNI ke jabatan sipil bisa disalahgunakan oleh presiden. Ia takut ada upaya penunjukan tentara secara like-dislike pada prajurit TNI. Ia mencontohkan penunjukan Doni Monardo oleh Jokowi sebagai Kepala BNPB berbasis Keppres dan Perpres.

Kedua adalah masalah usia. Isnur mengaku bingung dengan logika yang muncul dalam proses revisi yang hanya berbasis masa jabatan pejabat daripada TNI secara seluruhnya. Ia khawatir revisi tersebut hanya untuk kepentingan tertentu tanpa berbasis kajian spesifik.

Ia khawatir revisi ini muncul secara siluman seperti kejadian revisi UU KPK maupun revisi UU Cipta Kerja yang mendapat kritik publik. Ia cemas revisi ini berujung pada kepentingan tertentu yang justru akan menghilangkan supremasi sipil.

“Tentu ini juga merusak merit sistem atau birokrasi yang terjadi di ASN. ASN sudah belajar banyak-banyak kemudian tiba-tiba diduduki jabatannya oleh pejabat dari luar,” kata Isnur.

Sementara itu, analis militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, mengakui bahwa revisi UU TNI penting, apalagi untuk mengakomodasi masalah lingkungan strategis, tantangan geopolitik, hingga bentuk ancaman masa depan, kondisi sosial-politik, maupun upaya menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan TNI. Ia mengakui dua dekade sejak UU TNI terbit perlu ada kajian ulang relevansi tugas bagi TNI hingga penyelarasan maupun penguatan regulasi untuk memperkuat peran dan fungsi TNI.

“Sayangnya, kalau melihat rancangan yang beredar, agenda perubahan itu masih jauh dari harapan. Dari sekian banyak urgensi, tampaknya hanya dua hal yang menjadi prioritas untuk diubah: soal penempatan prajurit di luar formasi TNI dan soal masa dinas,” kata Fahmi kepada reporter Tirto.

Fahmi memahami bahwa peran TNI dalam urusan sipil tidak bisa dihilangkan sepenuhnya. Ia menilai, beberapa kementerian/lembaga masih dibolehkan untuk diisi prajurit aktif. Hal itu tidak lepas dari potensi urusan yang berkaitan, beririsan atau butuh tenga TNI.

Selain itu, kata Fahmi, kebutuhan dan amanat undang-undang membuat kemunculan lembaga baru, perubahan nomenklatur hingga penambahan unit kerja lembaga berurusan beririsan dengan TNI.

Fahmi juga melihat kekuatan TNI sebagai komponen utama wajib bersiap dalam menjaga kekuatan pertahanan dari beragam ancaman, mulai dari ancaman perang bersifat asimetris maupun hibrida. Ia mengingatkan, perang saat ini mulai mengaburkan antara status perang dan politik, kombatan, dan sipil. Perang sudah tidak lagi bersifat langsung, melainkan lewat pendekatan dinamis dan lewat pendekatan multi-platform.

Fahmi menambahkan, perkembangan lingkungan strategis, tantangan geopolitik dan bentuk ancaman mengharuskan TNI untuk beradaptasi dan dinamis. Ia mengingatkan, upaya penegakan kedaulatan, menjaga keutuhan negara, melindungi keselamatan bangsa hingga melindungi keselamatan bangsa memicu kehadiran pengelolaan sumber daya yang lebih besar maupun pengembangan kapasitas organisasi.

Oleh karena itu, kata Fahmi, wajar jika TNI bisa ditempatkan di luar formasi TNI dalam rangka memitigasi ancaman masa depan dan solusi untuk pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia yang semakin besar.

“Masalahnya, selain menjadi solusi dan menjawab kebutuhan di atas, penempatan prajurit di luar formasi TNI dan penambahan masa dinas itu juga memiliki kekurangan dan bisa berdampak negatif jika ketentuan terkait hal itu sifatnya terlalu lentur, tidak tegas, tidak dibatasi dan pada akhirnya hanya bertumpu pada apa yang disebut sebagai kebijakan presiden,” kata Fahmi.

Fahmi mencontohkan kasus penempatan prajurit di luar TNI. Dalam kacamata Fahmi, perlu ada pembatasan ruang lingkupnya hanya pada kementerian/lembaga yang memiliki urusan dan kewenangan yang beririsan dan berkaitan dengan tugas dan fungsi TNI. Jika hal ini tidak dibatasi serta diatur secara tegas dan jelas, maka ia khawatir penempatan prajurit di luar kementerian/lembaga dapat menghadirkan persepsi kegagalan sipil dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan.

Demikian pula soal penambahan masa dinas, ini harus dipertimbangkan betul kebutuhan dan problematikanya di tiap-tiap matra karena dasar pemikirannya adalah mengoptimalisasi SDM kompeten, berpengalaman, dan teruji kecakapannya. Maka, kata Fahmi, harus ada penegasan soal sistem merit sebagai acuan.

“Penambahan masa dinas itu juga jangan sampai justru mempersulit dan mengurangi produktivitas organisasi, menghadirkan inefisiensi atau bahkan membuka peluang politisasi berlebihan serta praktik buruk dan transaksional dalam pembinaan karier prajurit,” kata Fahmi.

Selain itu, Fahmi juga tidak melihat urgensi pada ketentuan yang mengatur soal peluang perpanjangan masa dinas hingga dua kali untuk penyandang jabatan dengan pangkat jenderal bintang empat (seperti Panglima TNI serta kepala staf angkatan).

Ia justru melihat opsi perpanjangan itu justru seolah-olah menunjukkan keraguan terhadap kapasitas dan kompetensi generasi yang lebih muda untuk mengambilalih kepemimpinan TNI, keraguan soal kemampuan TNI sendiri dalam mencetak sumber daya unggul serta lebih menonjolkan muatan politis dalam pengaturan jabatan bintang empat.

Oleh karena itu, kata Fahmi, jika melihat revisi UU TNI yang ada tidak mencerminkan kepentingan publik. Ia justru melihat revisinya tidak terbatas pada masalah umur dan jabatan.

“Revisi yang substansinya hanya terkait dengan dua pasal tersebut justru menunjukkan bahwa ada hal-hal yang lebih atau setara urgensinya, telah dikesampingkan dari pembahasan. Revisi UU TNI mestinya juga mengagendakan pembahasan sejumlah hal penting dan krusial selain menyangkut dua pasal tadi,” kata Fahmi.

Fahmi lantas membandingkan dengan naskah saran masukan TNI atas rencana perubahan UU 34/2004 yang sempat beredar tahun lalu. Ia menilai, rancangan saat ini daripada rancangan masa lalu, tampaknya sama sekali tidak mengakomodasi hal-hal yang dipaparkan dalam naskah. Fahmi sudah mengingatkan bahwa saran masukan itu sebagai “high call” TNI terkait problematika organisasi dan masalah laten yang dihadapi.

“Meskipun tidak keseluruhan, mestinya ada sejumlah hal yang layak dan penting untuk dimasukkan dalam pembahasan dan inventarisasi masalah selain dua hal tadi. Misalnya, soal kedudukan dan hubungan kelembagaan, soal bentuk dan prosedur OMSP maupun soal peradilan militer,” kata Fahmi.

Baca juga artikel terkait REVISI UU TNI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz