tirto.id - Maskapai penerbangan nasional Garuda Indonesia dipercayai kembali oleh pemerintah sebagai operasional penerbangan haji pada musim haji 1445 Hijriah/2024. Ini merupakan tahun ke-69 sejak perusahaan berlogo burung Garuda itu, mengoperasikan penerbangan haji untuk pertama kalinya pada 1955.
Pada musim haji tahun ini, Garuda Indonesia akan mengangkut 109.072 calon jemaah yang akan terbagi ke dalam 292 kelompok terbang (kloter) dan diberangkatkan dari 9 (sembilan) embarkasi, yaitu Banda Aceh, Medan, Padang, Jakarta-Pondok Gede, Solo, Banjarmasin, Balikpapan, Makassar, dan Lombok.
Para calon jemaah haji ini, diberangkatkan secara bertahap ke Tanah Suci sejak 12 Mei hingga 10 Juni 2024, dengan keberangkatan menuju Madinah pada 12 – 23 Mei 2024 dan keberangkatan menuju Jeddah pada 24 Mei – 10 Juni 2024. Selanjutnya, fase pemulangan jemaah akan dimulai pada 22 Juni sampai dengan 21 Juli 2024.
Namun dalam pelaksanaannya tahun ini, jauh dari harapan pemerintah. Hasil evaluasi setelah satu pekan penerbangan jemaah Haji Indonesia 2024 ke Tanah Suci, terdapat angka keterlambatan penerbangan yang cukup tinggi pada pekan pertama oleh Garuda Indonesia.
“Satu pekan pertama, persentase keterlambatan keberangkatan pesawat Garuda Indonesia sangat tinggi, mencapai 47,5 persen,” kata Juru Bicara Kementerian Agama, Anna Hasbie, dalam keterangannya di Jakarta, dikutip Selasa (21/5/2024).
Dari 80 penerbangan di seluruh embarkasi, terdapat 38 di antaranya mengalami keterlambatan. Adapun, keterlambatan tercatat sampai 3 jam 50 menit. Kementerian Agama dalam hal ini memberi teguran tertulis ke pihak maskapai.
“Kalau ditotal, keterlambatan itu mencapai 32 jam 24 menit. Ini tentu sangat disayangkan. Kita sudah memberikan teguran tertulis agar ke depan harus diperbaiki,” tutur dia.
Indonesia pada 2024 mendapat kuota 241.000 jemaah, terdiri atas 213.320 jemaah haji reguler dan 27.680 jemaah haji khusus. Jemaah haji reguler diterbangkan dengan dua maskapai, Garuda Indonesia dan Saudia Airlines.
Maskapai pertama akan memberangkatkan 109.072 jemaah yang tergabung dalam 294 kloter. Sisanya, 260 kloter diterbangkan dengan Saudia Airlines.
“Untuk Saudia Airlines, dalam sepekan ini mengalami keterlambatan pemberangkatan hingga 18,06 persen dari total 72 penerbangan. Total keterlambatan mencapai empat jam tujuh menit. Saya harap peristiwa keterlambatan bisa terus ditekan,” sebut Anna.
Direktur Layanan Haji dalam Negeri, Saiful Mujab, menjelaskan keterlambatan paling lama Garuda Indonesia sampai 3 jam 50 menit. Kondisi ini belum termasuk sejumlah penerbangan yang dimintakan perubahan jadwal oleh pihak Garuda Indonesia.
“Dalam sepekan ini ada beberapa perubahan jadwal, antara lain kloter pertama Embarkasi Solo atau SOC-01 dan kloter enam Embarkasi Makassar atau UPG-06 yang terdampak kerusakan mesin pesawat Garuda Indonesia yang akan memberangkatkan UPG-05,” jelas Saiful.
"Untuk Saudia Airlines, keterlambatan terlama adalah 47 menit,” tambah dia.
Saiful berharap Garuda Indonesia mematuhi komitmen dan kontrak kerja untuk memberangkatkan jemaah Haji Indonesia sesuai dengan jadwal yang telah disepakati dan ditetapkan.
Sangat disayangkan memang, keterlambatan ini membuat perusahaan BUMN di sektor penerbangan itu harus sedikit ternodai. Padahal, menurut laporan Official Airline Guide (OAG), Garuda Indonesia adalah maskapai paling tepat waktu di dunia pada 2023.
OAG menilai tingkat ketepatan waktu atau on-time performance (OTP) maskapai berdasarkan penerbangan yang tiba dalam kurun waktu 15 menit dari jadwalnya. Semakin tinggi persentasenya, semakin baik pula skor OTP-nya.
Garuda Indonesia tercatat memiliki ketepatan waktu sebesar 95,28 persen dari total 49.918 penerbangan yang dilayaninya sepanjang tahun lalu. Di urutan kedua ada Oman Air dengan persentase ketepatan waktu 93,56 persen dari 44,687 penerbangan, diikuti Safair, maskapai penerbangan asal Afrika Selatan yang meraih ketepatan waktu 92,07 persen dari 52.882 penerbangan.
Perlu Dicari Faktor Penyebab Keterlambatan
Pengamat penerbangan, Gerry Soejatman, mengatakan jika keterlambatan 32 jam dari 80 penerbangan, artinya sama dengan sekitar 24 menit per penerbangan delaynya. Maka yang perlu dilihat juga adalah apakah tiba di Jeddah atau Madinah on time kedatangannya, atau seperti apa.
"Kalau kasus yang hingga ada keterlambatan hingga lebih dari 3 jam, itu harus dilihat kenapa?" ujar Gerry mempertanyakan.
Karena perlu diingat, kata Gerry, pesawat Boeing 747-400 yang disewa oleh Garuda Indonesia sempat mengalami kebakaran mesin. Jika karena dampak akibat kejadian tersebut, maka bisa dibilang masih masuk akal dengan rata-rata 24 menit delay per penerbangan masih cukup acceptable.
"Butuh dipahami juga bahwa pengoperasian penerbangan haji itu masuk ke kategori kegiatan penerbangan intensif, dimana di Jeddah dan Madinah, resiko congestion sangat tinggi pada musim haji, dan seringkali berada diluar kendali maskapai," ujar Gerry.
Alangkah baiknya, kata dia, jika setiap kasus delay tersebut ditelusuri penyebabnya, dan dinilai mana yang dianggap wajar dan tidak. Karena jika cuman sekedar melihat angka total persentasi penerbangan haji yang delay, itu hanya sekedar angka yang membutuhkan adanya peningkatan upaya.
"Tetapi kalau untuk mengutarakan kekecewaan, butuh ditelusuri dulu lebih lanjut," imbuh dia.
Harus diingat juga, lanjut Gerry, penerbangan haji tahun ini dan beberapa tahun ke depan akan mengalami kendala ketersediaan pesawat dari maskapai-maskapai yang merupakan langganan penyedia penerbangan haji. Ini karena akhir musim haji masih akan masuk ke summer peak season di Eropa di mana maskapai-maskapai tersebut memprioritaskan kegiatan mereka sendiri.
"Selama ini mereka hanya menyediakan sisa kapasitas mereka. Sehingga tahun ini dan beberapa tahun ke depan, Garuda akan terkendala dalam mencari maskapai penyedia kapasitas penerbangan haji yang handal," ujar dia.
Analis Independen Bisnis Penerbangan Nasional, Gatot Rahardjo, menambahkan, memang harus dilihat lebih dahulu alasan keterlambatannya apa saja. Karena di penerbangan itu, setidaknya ada tiga alasan keterlambatan yaitu teknis, operasional dan lainnya.
"Misalnya karena cuaca, bencana alam dan lain-lain, Jadi bukan karena maskapai saja, tapi ada juga terkait bandara, slot, penanganan penumpang dan lain-lain," ujar Gatot kepada Tirto, Selasa.
Selain itu, keterlambatan juga sifatnya berkesinambungan. Misalnya ada keterlambatan di satu bandara, maka akan berdampak di bandara lainnya sampai selesai pesawatnya beroperasi.
"Jadi kalau kemarin pesawat Garuda ada yang rusak dan jadi telat berangkat, itu juga bisa mengakibatkan keterlambatan beruntun," kata dia.
Gatot mengatakan, di penerbangan haji itu biasanya masalahnya ada di pengelolaan slot di bandara-bandara di Arab karena banyaknya penerbangan yang dilayani. Jika ada satu maskapai penerbangan yang bermasalah, akan berdampak pada penerbangan yang lain.
"Dan ini juga bisa berdampak ke penerbangan dari Indonesia karena sifatnya yang bersambungan tadi," ujar dia.
Sementara untuk maskapai Saudia, sebagai maskapai flight carrier Arab Saudi, memang mendapatkan layanan lebih. "Jadi seharusnya mereka tidak telat, kalau telat itu yang harusnya dipertanyakan," kata dia.
Pemerintah Harus Berani Buka Opsi Maskapai Lain
Pengamat penerbangan, Alvin Lie, mengatakan selama ini pemerintah hanya mengajukan dan mempercayai Garuda Indonesia untuk melayani penerbangan haji, sebagai keberpihakan terhadap BUMN. Momentum ini, harusnya menjadi opsi bagi pemerintah untuk membuka opsi maskapai lain melayani penerbangan haji.
"Akan lebih baik jika dibuka Lion Group yang sudah berpengalaman juga. Agar ada persaingan," ujar Alvin Lie kepada Tirto, Selasa.
Selama ini, angkutan haji diangkut Garuda Indonesia dan Saudia Airlines yang notabene merupakan hak tuan rumah (Saudia) dan negara asal jemaah (Indonesia). Baik Garuda maupun Saudia, selain gunakan pesawat sendiri juga gunakan pesawat yang disewa wet lease dari maskapai negara lain khusus untuk angkutan haji.
Padahal, kata Alvin, Lion Group selama ini sudah sering disewa negara lain untuk angkutan haji dengan sistem Wet Lease (pesawat beserta Pilot). Semestinya, jika pemerintah mau bisa saja mempercayakan kepada maskapai tersebut.
Sementara itu, Gatot melihat maskapai dalam negeri sejauh ini masih belum ada yang bisa melayani haji. Beberapa tahun lalu pernah ada rencana untuk memasukkan maskapai lain, tapi tidak berlanjut karena penerbangan haji ini spesial.
Sementara terkait dengan opsi untuk maskapai asing, sebaiknya kata Gatot, jangan dulu. Karena selain ini untuk menambah penghasilan Garuda sebagai maskapai nasional, juga untuk pembuktian bahwa maskapai RI mampu melayani penerbangan haji.
"Karena di tahun-tahun sebelumnya Garuda juga sering mendapatkan penghargaan sebagai maskapai yang paling on-time dalam penerbangan haji dari pemerintah Arab Saudi," ujar dia.
Oleh karena itu, Garuda sendiri juga harus punya komitmen untuk selalu meningkatkan layanannya. Apalagi, kata Gatot, untuk penerbangan haji ini cukup unik. Baik dari sisi waktu, frekuensi penerbangan hingga penumpang yang diangkut.
Atas kejadian ini, Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra, pun memastikan bahwa pihaknya akan memperbaiki pelayanan haji tahun ini dan ke depannya. Termasuk, memperbaiki masalah keterlambatan tiba di Tanah Suci.
"Kami menerima kok statement ini dan berupaya memperbaikinya," kata dia saat dikonfirmasi Tirto, Selasa.
Irfan sendiri mengaku, salah satu faktor keterlambatan karena macam-macam. Salah satunya akibat insiden percikan api di salah satu mesin pesawat. Kondisi tersebut membuat penerbangan GA-1105 rute Makassar – Madinah harus berganti pesawat.
"Akibat percikan api di pesawat kita sehingga perlu ganti pesawat," pungkas Irfan.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang