Menuju konten utama

Dewas KPK Tak Perlu Ragu Jatuhkan Sanksi Berat ke Nurul Ghufron

Peneliti ICW dan PSHK menilai Dewas KPK tak perlu ragu menjatuhkan sanksi berat pada Nurul Ghufron jika terbukti langgar etik.

Dewas KPK Tak Perlu Ragu Jatuhkan Sanksi Berat ke Nurul Ghufron
Ketua Dewas KPK yang juga Ketua Majelis Sidang Etik Tumpak H Panggabean (kanan) didampingi anggota majelis Syamsuddin Haris (kiri) memimpin sidang etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dengan agenda pembacaan putusan di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Selasa (21/5/2024). Dewan Pengawas (Dewas) KPK menunda pembacaan putusan sidang etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron pada kasus penyalahgunaan wewenang berupa intervensi dalam mutasi ASN Kementerian Pertanian (Kementan) karena berdasarkan putusan sela dari PTUN Jakarta meminta Dewas KPK untuk menunda pemeriksaan etik Nurul Ghufron dan menunggu hasil putusan di PTUN berkekuatan tetap dan mengikat. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/foc.

tirto.id - Perseteruan Dewan Pengawas (Dewas) KPK dengan Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, hingga kini masih terus berlanjut.Perseteruan tersebutbermula saat Dewas KPK menyeret Ghufron ke sidang etik lantaran diduga menyalahgunakan wewenang.

Penyalahgunaan wewenang yang dimaksud terjadi pada Maret 2022. Kala itu, Ghufron mengontak Plt. Inspektorat Kementerian Pertanian (Kementan), Kasdi, terkait masalah proses mutasi ASN bernama Andi Mandasari. Ghufron disebut meminta bantuan terkait proses mutasi tersebut.

Masalah jadi runyam karena sebelum melakukan kontak, Ghufron ternyata berkonsultasi lebih dulu dengan pimpinan KPK lain, yakni Alexander Marwata. Ghufron pun mendapatkan nomor kontak Kasdi dari Alex.

Dalam sidang etik yang digelar pada Senin (20/5/2024), Ghufron akhirnya menyampaikan pembelaan bahwa dia hanya menanyakan alur atau proses mutasi di Kementan kepada Kasdi. Selain itu, Ghufron juga menyampaikan keluhan terkait penolakan permohonan mutasi Andi Mandasari.

"Saya bersumpah, bahwa saya tidak pernah nelpon untuk minta bantuan, tetapi saya nelpon untuk sampaikan keluhan tentang ASN tersebut," jelas Ghufron dalam sidang etik di Gedung Dewas KPK.

Sebelum sidang etik tersebut digelar, Ghufron sebenarnya telah menggugat Dewas KPK ke Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan tersebut dilayangkannya pada 24 April 2024.

Nurul Ghufron laporkan anggota Dewas KPK ke Bareskrim Polri

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron (tengah) memberikan keterangan pers terkait kasus dugaan pelanggaran etik yang menjeratnya di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (20/5/2024). Nurul Ghufron melaporkan anggota Dewas KPK Albertina Ho ke Bareskrim Polri atas dugaan tindak pidana penghinaan dan/atau penyalahgunaan wewenang terkait penyampaian kepada pers tentang pelanggaran etik sudah cukup bukti dan siap disidangkan serta penanganan pemeriksaan pelanggaran kode etik terkait dugaan intervensi mutasi ASN Kementerian Pertanian (Kementan). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/nz

Ghufron menggugat Dewas KPK lantaran tetap melanjutkan proses pemeriksaan etik atas dirinya. Padahal, dia telah meminta pemeriksaan etik tersebut ditunda karena terdapat proses hukum di PTUN Jakarta dan Mahkamah Agung.

Ghufron juga berargumen bahwa kejadian penyalahgunaan wewenang yang disangkakan padanya sudah kedaluwarsa untuk diproses. Pasalnya, kontak ke Kementan itu telah terjadi lebih dari dua tahun lalu, sementara batas waktu kasus yang bisa diproses adalah satu tahun.

Menurutnya, Dewas KPK telah menyalahi aturannya sendiri, yakni Perdewas Nomor 4 Tahun 2021 di Pasal 23. Karena itulah, Ghufron menganggap bahwa kasus etiknya seharusnya tidak berjalan.

Majelis hakim PTUN Jakarta mengabulkan gugatan Ghufron tersebut. Dalam putusan sela, PTUN Jakarta memerintahkan Dewas KPK untuk menunda pembacaan putusan sidang kode etik dan pedoman perilaku Ghufron.

"Memerintahkan tergugat untuk menunda tindakan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran etik atas nama Terlapor Nurul Ghufron sebagaimana Surat Undangan Pemeriksaan Klarifikasi Nomor: R-009/DEWAS/ETIK/SUK/02/2024 tertanggal 21 Februari 2024," ujar hakim PTUN Jakartayang mengadili perkara Ghufron yang bernomor perkara 142/G/TF/2024/PTUN.JKT.

Kini, perseteruan Dewas KPK dan Ghufron malah makin memanas lantaran Ghufron melaporkan lagi beberapa anggota Dewas KPK ke Bareskrim Polri. Saat dikonfirmasi, Ghufron berdalih bahwa dirinya melakukan pembelaan sesuai prosedur hukum.

"Saya akan melakukan pembelaan diri dengan mekanisme hukum yang memungkinkan saya melakukan pembelaan. Saya akan melakukan gugatan itu. Sudah saya laporkan pada tanggal 6 Mei 2024," kata Ghufron kepada wartawan, Senin (20/5/2024).

Dewas KPK Bisa Jatuhkan Sanksi Berat

Indonesia Corruption Watch (ICW)menilai Dewas KPK semestinya jangan kehilangan fokus gara-gara upaya-upaya hukum yang ditempuh Nurul Ghufron tersebut. Menurut ICW, Dewas KPK semestinya tetap membacakan putusan etik tanpa mempertimbangkan putusan sela PTUN.

Menurut peneliti ICW, Diky Anandya, Pasal 67 Ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara memang memberi ruang bagi penggugat untuk mengajukan permohonan agar pelaksanaan Keputusan TUN ditunda selama proses pemeriksaan sengketa TUN. Akan tetapi, dalam Ayat 4 Huruf a, Pasal a quo, penundaan hanya dapat dilakukan dalam keadaan sangat mendesak yang dapat merugikan tergugat.

"Bagi ICW, untuk menilai adanya ‘keadaan yang sangat mendesak’, harus dilihat secara objektif. Ada kepentingan umum dari masyarakat yang turut mendesak pimpinan KPK yang berintegritas dan beretika yang harus dipertimbangkan ketimbang kepentingan personal Nurul Ghufron," kata Diky dalam keterangan, Selasa (21/5/2024).

Diky juga menilai bahwa perintah PTUN untuk menunda proses pemeriksaan etik terhadap Ghufron sudah tidak relevan. Dia beralasan bahwa semua proses pemeriksaan etik terhadap Ghufron sejatinya telah selesai dilakukan oleh Dewas KPK.

Oleh karena itu, putusan sela PTUN harusnya tidak bisa memengaruhi agenda pembacaan putusan sidang etik yang akan dilaksanakan pada hari selasa, 21 Mei 2024.

Diky pun mendesak agar Dewas KPK tidak ragu untuk menjatuhkan sanksi berat kepada Ghufron, termasuk memintanya mengundurkan diri dari kepemimpinan KPK.

"Adapun jenis hukuman berupa, “diminta untuk mengajukan pengunduran diri sebagai pimpinan” sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Ayat (3) Perdewas Nomor 3 Tahun 2021," kata Diky.

Pendapat senada juga dilontarkan peneliti PSHK, M. Nur Ramadhan. Dia menilai bahwa Dewas KPK tidak perlu mengikuti putusan sela PTUN dalam perkara Ghufron. Dia beralasan bahwa putusan sela tersebut cenderung tidak objektif.

Selain itu, putusan sela PTUN tidak relevan karena sudah tidak sesuai dengan posisi perkara etik Ghufron saat ini. Perkara etik Ghufron sudah memasuki tahap putusan sehingga putusan tersebut telah kehilangan objek. Ramadhan pun menegaskan bahwa Dewas KPK tidak menabrak hukum apapun.

"Ini satu adalah putusan ini tidak bisa dilaksanakan. Jadi, Dewas tetap bisa menyampaikan atau mengumumkan atau membacakan putusan terkait dengan pemeriksaan," kata Ramadhan.

Ramadhan pun menambahkan bahwa putusan sela bukan putusan final. Putusan sela adalah putusan yang ada di proses sebuah perkara. Pada akhirnya, hakim akan membacakan putusan final. Dia justru melihat putusan etik bisa saja masuk dalam putusan final hakim di PTUN.

Sidang putusan etik Nurul Ghufron ditunda

Ketua Dewas KPK yang juga Ketua Majelis Sidang Etik Tumpak H Panggabean (kedua kiri) didampingi anggota majelis Harjono (kanan) dan Syamsuddin Haris (kiri) memimpin sidang etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dengan agenda pembacaan putusan di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Selasa (21/5/2024). Dewan Pengawas (Dewas) KPK menunda pembacaan putusan sidang etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron pada kasus penyalahgunaan wewenang berupa intervensi dalam mutasi ASN Kementerian Pertanian (Kementan) karena berdasarkan putusan sela dari PTUN Jakarta meminta Dewas KPK untuk menunda pemeriksaan etik Nurul Ghufron dan menunggu hasil putusan di PTUN berkekuatan tetap dan mengikat. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/foc.

"Dewas masih bisa tetap membacakan putusannya. Nanti bisa jadi putusan dari Dewas menjadi fakta baru dalam perkara yang disampaikan atau diajukan Nurul Ghufron ke PTUN," kata Ramadhan.

Sementara itu, terkait langkah-langkah hukum yang dilakukan Ghufron, Ramadhan menilainya sebagai sesuatu yang memang diperbolehkan secara hukum. Namun, Ghufron dengan begitu malah terkesan tidak memiliki itikad baik dalam penyelesaian dugaan pelanggaran etik yang menjeratnya.

Menurut Ramadhan, upaya-upaya Ghufron tersebutjustru bisa menjadi pertimbangan untuk menetapkan hukuman berat padanya.

Ramadhan pun sepakat dengan Diky bahwa Ghufron sebaiknya dihukum berat. Dia beralasan bahwa KPK memiliki banyak batasan dan tindakan Ghufron melanggar aturan. Dia menilai aksi Ghufron bisa dikategorikan sebagai pelanggaran etik berat karena berkomunikasi dengan pihak-pihak yang terduga bermasalah dan berkaitan dengan perkara.

Di sisi lain, Ramadhan menilai Ghufron sebaiknya tidak maju lagi menjadi pimpinan KPK periode selanjutnya jika dinyatakan bersalah dalam sidang etik. Dia mengingatkan bahwa pimpinan KPK harus bersih dan Ghufron tidak layak maju lagi karena kasus etiknya.

"Jadi, memang ini menjadi jalan yang sangat berat bagi yang bersangkutan kalau memang divonis bersalah secara etik dan kemudian dia ingin maju lagi sebagai pimpinan KPK," kata Ramadhan.

Baca juga artikel terkait KPK atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Fadrik Aziz Firdausi