Menuju konten utama

Nurul Ghufron dan Robohnya Muruah Pimpinan Lembaga Antirasuah

Dari Firli Bahuri, Lili Pintauli, Alexander Marwata, Johanis Tanak, hingga Nurul Ghufron, semuanya pernah melanggar etik. KPK busuk dari kepala.

Nurul Ghufron dan Robohnya Muruah Pimpinan Lembaga Antirasuah
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nurul Ghufron (tengah) menjawab pertanyaan wartawan usai diperiksa Dewan Pengawas (Dewas) KPK di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK (ACLC), Jakarta, Jumat (27/10/2023). ANTARA FOTO/Reno Esnir/foc.

tirto.id - Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) akan membacakan putusan etik terhadap dugaan pelanggaran etik berupa penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron.

Menurut Anggota Dewas KPK, Syamsuddin Haris, mereka belum menentukan waktu pembacaan putusan etik tersebut. Padahal pemeriksaan etik Ghufron sudah berjalan dan tinggal menunggu keterangan dari yang bersangkutan.

"Sudah selesai, jadi nanti siang jam 2 itu Pak Ghufron menyampaikan pembelaan. Mudah-mudahan minggu depan bisa diputus," ucap Syamsudin, Jumat (17/5/2024).

Akan tetapi, Ghufron lagi-lagi tidak hadir dalam sidang etik Dewas KPK. Ia mengaku tidak hadir karena masih menyiapkan pembelaan.

"Alasannya Pak NG minta waktu untuk menyiapkan pembelaan," ucap Syamsuddin.

Menurut Syamsuddin, Dewas KPK akan menggelar persidangan yang sempat ditunda itu pada Senin (20/5/2024).

“Senin jam 09.00,” ucapnya.

Pelanggaran etik yang dilakukan Nurul Ghufron menambah deretan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan pimpinan KPK periode 2019-2024.

Sejauh ini, tiga dari empat pimpinan KPK yang tersisa pernah tersandung kasus etik, yakni Alexander Marwata, Johanis Tanak, dan Nurul Ghufron. Sementara dua pimpinan sebelumnya pada era yang sama, yakni Firli Bahuri dan Lili Pintauli juga tersandung kasus etik.

Alexander Marwata menjadi terlapor dalam kasus penyalahgunaan wewenang mutasi ASN di Kementerian Pertanian.

Ia juga tersandung dugaan pelanggaran etik dalam dugaan kasus korupsi pengadaan barang dan jasa di Basarnas yang melibatkan Kepala Basarnas, Marsdya TNI Henri Alfiandi. Alex diduga melanggar hukum karena mengumumkan status tersangka Hendri tanpa surat perintah penyidikan.

Pemeriksaan Firli Bahuri di Bareskrim

Ketua KPK nonaktif Firli Bahuri berjalan keluar gedung Bareskrim usai pemeriksaan di Bareskrim Polri, Jakarta, Rabu (27/12/2023). F. ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/Spt.

Sementara Johanis Tanak tersandung kasus korupsi karena berkomunikasi dengan Plh Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Idris Froyoto Sihite.

Johanis diduga melanggar etik karena menghapus isi pesan antara dirinya dengan Idris. Dalam percakapan tersebut, muncul kalimat “bisalah kita cari duit” yang dinilai mengarah pada kejadian tertentu padahal KPK tengah melakukan penyelidikan dugaan korupsi di Kementerian ESDM.

Akan tetapi, Dewas KPK menyatakan Johanis Tanak tidak terbukti melanggar etik sebagaimana pasal 4 ayat 1 huruf j atau pasal 4 ayat 2 huruf a dan b Peraturan Dewas KPK tentang penegakan kode etik dan perilaku.

Dua pimpinan lain yang sudah mundur, yakni Lili Pintauli dan Firli Bahuri juga pernah tersandung kasus etik.

Lili tersandung kasus etik terkait dugaan gratifikasi tiket MotoGP. Saat putusan hendak dibacakan, mantan anggota LPSK itu mundur dari kursi pimpinan.

Sebelumnya, Lili sempat tersandung kasus etik karena berkomunikasi dengan Wali Kota Tanjung Balai, M. Syahrial, dalam kasus dugaan korupsi Tanjung Balai. Dalam putusan Dewas KPK, Lili dikenakan sanksi peotongan gaji pokok sebagai pimpinan sebesar 40 persen selama 12 bulan karena terbukti bersalah.

Firli Bahuri jauh lebih parah. Ia tersandung kasus etik karena bertemu dengan eks Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL). Keduanya bertemu di daerah Jakarta Barat pada Maret 2022 lalu.

Padahal, KPK tengah mendalami dugaan penyelidikan di lingkungan Kementerian Pertanian. Firli lantas dinyatakan bersalah karena melanggar etik dan diminta mengundurkan diri dari jabatannya.

Sebelumnya, Firli sudah tersandung kasus etik karena tidak jujur dalam melaporkan harta kekayaannya di LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara).

Firli juga tersandung karena dianggap hidup mewah dengan meminjam helikopter saat menjadi pimpinan KPK. Dewas KPK saat itu menjatuhkan sanksi teguran tertulis II kepadanya. Kini, Firli sudah mundur dari pimpinan KPK akibat tersandung kasus dugaan pemerasan SYL.

PELANTIKAN PIMPINAN DAN DEWAN PENGAWAS KPK

Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar mengikuti upacara pelantikan Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/wsj.

Pimpinan KPK Jilid V Jauh dari Integritas

Peneliti dari ICW, Diky Anandya, mengatakan putusan terhadap Nurul Ghufron menambah deretan kontroversi pimpinan lembaga antirasuah sejak mereka dilantik pada Desember 2019.

"Kontroversi yang dihasilkan, alih-alih prestasi, pada akhirnya membuat kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi merosot, dan puncaknya semakin menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga antirasuah ini," kata Dicky, Jumat (17/5/2024).

Dalam kasus Nurul Ghufron, Dicky mendorong agar disanksi berat. Ia beralasan, dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukannya tergolong sebagai pelanggaran yang sangat serius.

Jika terbukti bersalah, Dewas sepatutnya menjatuhkan sanksi berat dengan jenis hukuman “diminta untuk mengajukan pengunduran diri sebagai pimpinan”. Hal itu diatur dalam Pasal 10 Ayat (3) Perdewas No. 3 Tahun 2021.

"Maka dari itu, menurut ICW, Ghufron sebaiknya mengubur harapannya untuk kembali mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK. Karena syarat paling penting menjadi pimpinan KPK yaitu berintegritas dan beretika, tidak dapat dipenuhinya selama menjabat sebagai Wakil Ketua KPK lima tahun terakhir,” ungkapnya.

Diky menilai, putusan etik juga menjadi pembuktian Dewas KPK kepada publik. Ia mengakui, kinerja Dewas mulai membaik dan layak mendapat apresiasi. Menuutnya, putusan terhadap Nurul Ghufron menjadi pertaruhan citra Dewas KPK.

"Dalam konteks penegakan etik, kinerja Dewas belakangan patut mendapat apresiasi. Sehingga kami melihat bahwa pembacaan sidang putusan etik Nurul Ghufron menjadi pertaruhan dan pembuktian atas konsistensi kinerja Dewas," kata Diky.

Menurut Diky, rangkaian pelanggaran etik periode kepemimpinan KPK jilid V adalah bukti konkret proses pemilihan pimpinan pada tahun 2019 lalu tidak dilalui dengan proses yang benar oleh panitia seleksi. Maka itu, ICW mendorong agar Presiden Jokowi membentuk pansel yang berintegritas dan memastikan proses pemilihan berjalan benar.

"Harusnya presiden melakukan evaluasi dan membentuk panitia seleksi serta menjamin proses seleksi calon pimpinan KPK 2024-2029 berjalan secara transparan, akuntabel, dan partispatif, sehingga dapat menghasilkan KPK yang berintegritas dan bertika, KPK kembali menjadi role model dalam pemberantasan korupsi," kata Diky.

Senada dengan Diky, peneliti PUKAT UGM, Yuris Rezha mengatakan kasus Nurul Ghufron menambah daftar polemik di internal KPK, terutama pimpinan KPK. Menurutnya, pimpinan KPK kali ini adalah yang paling bermasalah sejak lembaga itu berdiri.

Menurutnya, Dewas KPK saat ini masih belum maksimal dan perlu bekerja lebih baik lagi. Ia mengingatkan putusan KPK sebelumnya masih ada yang berkesan tidak tegas. Oleh karena itu, ia berharap Dewas KPK bisa semakin berani.

"Mestinya, jika ada komitmen untuk mengembalikan muruah KPK, Dewas harus lebih berani mengambil sikap terhadap pimpinan yang bermasalah," kata Yuris.

Ia menilai, permasalahan yang terjadi di kepemimpinan KPK selama ini harus menjadi sarana evaluasi bagi pimpinan KPK. Oleh karena itu, polemik pimpinan KPK, termasuk soal Nurul Ghufron, perlu menjadi catatan bagi pansel agar memilih pimpinan KPK yang lebih berintegritas di masa depan.

"Kondisi hari ini menunjukkan bahwa 2019 lalu, pemerintah melalui pansel dan DPR jelas tidak serius komitmennya untuk menempatkan orang yang berintegritas sebagai pimpinan KPK, dan ini sudah diingatkan oleh masyarakat sipil sejak saat itu," kata Yuris.

Baca juga artikel terkait PIMPINAN KPK atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Irfan Teguh Pribadi