Menuju konten utama

Penyelesaian Masalah Bea Cukai Tak Cukup Hanya Sebatas Ratas

Ronny menilai persoalan utama bea cukai ini muncul karena ketidakpercayaan publik kepada instansi tersebut.

Penyelesaian Masalah Bea Cukai Tak Cukup Hanya Sebatas Ratas
Petugas Bea Cukai memberikan pelayanan kepada masyarakat di kantor Bea Cukai Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Jumat (20/5/2022). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/foc.

tirto.id - Persoalan di tubuh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan sudah sampai ke telinga Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tak ingin terus “dirujak” netizen, Kepala Negara itu mengambil langkah inisiatif untuk segera melakukan rapat terbatas (ratas).

“Ya nanti akan kami ratas-kan di rapat internal,” ujar Jokowi saat melakukan kunjungan ke RSUD Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, Selasa (14/5/2024).

Ratas ini dilakukan sebagai upaya mencari solusi dalam mengatasi masalah bergulir di internal Bea Cukai. Jokowi sendiri bahkan sudah memanggil Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, ke Istana Negara, Jakarta Pusat pada Rabu (15/5/2024).

Eks Gubernur DKI Jakarta itu, ingin mendengar secara langsung kejadian-kejadian yang tengah viral dalam beberapa waktu terakhir. Sebab, kejadian tersebut secara tidak langsung menampar muka Jokowi dan institusi yang dipimpin oleh Sri Mulyani.

Dalam pertemuannya dengan Jokowi, Sri Mulyani mengaku menjelaskan bagaimana perkembangan terkini mengenai upaya pembenahan DJBC yang saat ini menjadi sorotan masyarakat. Bendahara Negara itu menyebut, persoalan menimpa direktorat di bawahnya karena sejumlah regulasi impor.

“Saya laporkan bea cukai, dan pembahasan mengenai apa yang terjadi situasi oleh jajaran di lapangan yang viral-viral,” kata Sri Mulyani usai menghadap Jokowi di Istana Negara, Jakarta Pusat.

Sri Mulyani menyampaikan, pihaknya akan melakukan evaluasi secara menyeluruh baik kepada prosedur dan juga anak buahnya yang bekerja di lapangan. Ia juga berjanji akan memperbaiki agar Bea dan Cukai menjadi lebih baik ke depannya.

“Kita akan mengambil langkah-langkah untuk memperbaikinya,” ujar Sri Mulyani.

Sri Mulyani

Menteri Keuangan Sri Mulyani usai menghadap Presiden Joko Widodo di Istana, pada Rabu (15/5/2024). tirto.id/Irfan Amin

Belakangan, direktorat yang dinakhodai oleh Askolani itu, memang tengah mendapatkan atensi tinggi dari masyarakat karena beberapa kejadian viral di media sosial. Baru-baru ini, Bea Cukai sempat dikritik di media sosial X atau Twitter karena cuitan warganet yang menceritakan pengalamannya membayar bea masuk peti jenazah keluarganya hingga 30 persen karena dianggap barang mewah.

Tak hanya itu, keluhan pembelian sepatu olahraga impor yang dilakukan Radhika Aktaf sebelumnya juga viral. Awalnya, ia membeli sepatu seharga Rp10,3 juta melalui perusahaan jasa titipan (PJT), DHL dengan biaya pengiriman Rp1,2 juta. Tetapi, ia justru harus membayar bea masuk sebesar Rp31,8 juta.

Persoalan lainnya mengenai alat pembelajaran siswa tunanetra untuk SLB-A Pembina Tingkat Nasional Jakarta yang ditagih Bea Cukai hingga ratusan juta. Bea Cukai awalnya meminta sejumlah data untuk memenuhi persyaratan pembebasan bea masuk dan pajak.

Dalam hal ini, pihak sekolah terkait diminta melengkapi sejumlah dokumen, termasuk ditagih ratusan juta untuk barang tersebut. Penagihan bea masuk tersebut dilakukan sebelum diketahui bahwa status barang tersebut adalah barang hibah.

Tak Cukup dengan Ratas

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita, menilai penyelesaian masalah di tubuh Bea Cukai tidak cukup hanya dengan melakukan ratas. Menurut dia, perlu ada langkah konkret mesti dilakukan oleh Kemenkeu sendiri.

“Tidak mempan dengan ratas-ratas,” ujar Ronny kepada Tirto, Kamis (16/5/2024).

Ronny melihat, persoalan utama Bea Cukai ini sebenarnya muncul karena ketidakpercayaan publik kepada instansi tersebut. Tentu saja, ini menjadi pekerjaan yang berat sekali dan butuh komitmen mendalam tidak sebatas upaya ratas.

Bagi pemerintah, terutama Kemenkeu, kata Ronny, munculnya keluhan-keluhan terhadap masyarakat harus dijadikan momen pembenahan baik secara internal maupun secara pelayanan. Sebab, pelayanan yang kurang baik adalah gambaran dari kondisi internal yang juga kurang baik.

“Jadi pembenahan tata kelola atau governance dari bea cukai adalah kunci utama sebelum melakukan perbaikan pelayanan,” ujar dia.

Ronny meminta, Kemenkeu mendalami sebab-sebab terjadinya kelalaian semacam itu. Harus diidentifikasi akar persoalan kesalahan dalam menginput nilai pengenaan bea cukai yang kurang tepat atau terlalu berlebihan, apakah karena human error, kesengajaan, atau karena memang aparat bea cukai yang kerja secara asal-asalan.

Bahkan, bila perlu, Kemenkeu harus mengganti pucuk pimpinan di Bea Cukai. Sri Mulyani, dalam hal ini harus mendudukkan sosok yang lebih mampu melakukan reformasi birokrasi di tubuh institusi DJBC.

“Karena bagaimanapun, bea cukai adalah salah satu ujung tombak Indonesia dalam hal perdagangan dan pergerakan barang lintas batas. Ketidakberesan pelayanan bea cukai bisa berimbas kepada ekonomi dari sisi perdagangan,” jelas dia.

Atas dasar itu, momen kali ini harus menjadi pembenahan secara serius oleh Kemenkeu. Ini sekaligus juga menjadi salah satu ajang bagi Sri Mulyani untuk meninggalkan legasi reformasi birokrasi di DJBC.

Selain itu, pengawasan kinerja juga harus diperbaiki, standar etika kinerja harus ditingkatkan, dan partisipasi publik dalam mengawasi kinerja bea cukai harus dipermudah. Dengan begitu, bea cukai tidak perlu menunggu viral di media sosial terlebih dahulu untuk mendapatkan feed back.

Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah, mengamini bahwa pelaksanaan ratas tidak cukup membenahi persoalan terjadi di Bea Cukai. Namun, ratas itu, dinilai bisa menjadi awal upaya pemerintah mengambil kebijakan untuk mengembalikan trust masyarakat.

“Setidaknya pemerintah sudah menunjukkan respons positif menempatkan isu ini sebagai isu yang strategis,” kata dia kepada Tirto, Kamis (16/5/2024).

Tentu saja, lanjut Piter, harapannya apa yang kemudian diputuskan dalam ratas tidak menjadi antiklimaks yang justru semakin membuat masyarakat tidak percaya. Maka, ratas harus mengambil keputusan yang sesuai dengan harapan masyarakat.

“Misalnya pemerintah menindaklanjuti kecurigaan masyarakat terhadap oknum-oknum tertentu di Bea Cukai, menyampaikan secara transparan hasil investigasi terhadap mereka, saya kira masyarakat akan kembali percaya,” pungkas dia.

Persoalan Bea Cukai Harus Dilihat Secara Objektif

Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, mengatakan dalam kasus persoalan Bea Cukai harus dilihat dari tiga sudut pandang objektif. Pertama, adalah regulasi.

Para petugas Bea Cukai, kata Ajib, melakukan kegiatan pemungutan atas pajak/cukai terutang, karena perintah undang-undang dan peraturan dibawahnya. Kalau masyarakat melihat bahwa peraturannya yang harus diganti, maka secara objektif, harus ada kajian akademik dan komprehensif untuk mengganti peraturan.

“Misal, PMK Nomor 203 tahun 2017 batasan pembebasan bea masuk adalah untuk barang senilai 500 dolar AS. Kalau angka ini dianggap tidak relevan, kewenangan ada di menteri keuangan untuk mengubah,” ujar dia kepada Tirto, Kamis (16/5/2024).

Kedua, tentang standard operating procedure (SOP). Edukasi SOP ini harus diberikan secara utuh kepada seluruh masyarakat, agar ada transparansi dalam proses. Kemudian ketiga, adalah tentang sikap petugas atau government officer dalam melakukan pelayanan dan pengawasan.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menambahkan, masalah utama dari Bea Cukai utamanya terjadi pada tiga hal. Pertama, sering terjadinya selisih harga barang impor yang dilaporkan penjual/pembeli dengan koreksi bea cukai.

“Maka diperlukan koordinasi dengan pihak logistik maupun bea cukai di negara asal. HS code-nya kan ada, tinggal di samakan harga nya saja. Jadi tidak perlu banyak koreksi atau ketakutan berlebihan bea cukai soal underinvoicing,” ujar Bhima kepada Tirto, Kamis (16/5/2024).

Kedua, tindakan disiplin kepada petugas bea cukai dinilai lambat. Misalnya, kasus Rp349 triliun di internal Kemenkeu yang sempat heboh belum seluruhnya ditindaklanjuti. Begitu ada petugas menerima suap sekecil apa pun, semestinya langsung diperiksa dan dipecat.

Ketiga, whistle blower internal tidak berjalan efektif. Petugas bea cukai, kata Bhima, tidak semuanya buruk dan yang masih lurus harus diberikan kesempatan melapor rekan sejawat atau atasan yang menyimpang.

“Kalau tiga masalah itu tidak selesai, mau Bea Cukai dilepas dari Kemenkeu berdiri jadi lembaga sendiri ya masalah juga tidak selesai,” pungkas dia.

Baca juga artikel terkait BEA CUKAI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra & Andrian Pratama Taher
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz