tirto.id - Kabar penambahan jumlah kementerian di era pemerintahan baru Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka semakin santer di permukaan publik. Presiden terpilih yang juga merupakan Ketua Umum Partai Gerindra itu, disebut-sebut bakal mempergemuk kementerian menjadi 40 dari yang saat ini berjumlah 34.
Dengan adanya penambahan ini, otomatis harus merevisi Undang-Undang Kementerian Negara yang didalamnya mengatur jumlah kementerian paling banyak 34. Dengan rincian, empat menteri koordinator dan 30 menteri bidang. Revisi UU Kementerian Negara ini pun sudah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) jangka menengah
Sebagaimana diketahui, koalisi pengusung Prabowo-Gibran sudah besar sedari sananya. Tendensi politik Prabowo yang juga ingin merangkul banyak pihak setelah terpilih, menjadi pertimbangan mengapa Menteri Pertahanan itu merencanakan nomenklatur kabinet yang besar, sampai 40.
Belum lagi, visi misi Prabowo yang sangat ambisius menyentuh berbagai sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, juga menjadi sebab lainya. Maka, pemerintahan Prabowo-Gibran harus menciptakan beberapa pos kementerian baru untuk menangani masalah-masalah baru yang menurut mereka belum efektif tertangani oleh nomenklatur kabinet versi lama.
“Buat saya bagus, negara kita, kan, negara besar, tantangan kita besar, target-target kita besar, wajar kalau kita perlu mengumpulkan banyak orang, berkumpul dalam pemerintahan sehingga jadi besar,” kata Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Habiburokhman, Senin (6/5/2024).
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, sebelumnya mengatakan rencana revisi Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara bukan untuk mengakomodasi penambahan jumlah kementerian. Namun, kata Dasco untuk mengoptimalkan kebutuhan nomenklatur serta optimalisasi kerja kabinet.
"Mungkin untuk mengakomodasi kepentingan kebutuhan nomenklatur dan juga bagaimana mengoptimalkan memaksimalkan kerja-kerja kabinet di masa depan," kata Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Konsekuensi APBN Jadi Boros
Secara teknis, menurut Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita, nomenklatur kabinet memang tidak baku dan tidak ada aturan konstitusional yang menetapkan bahwa jumlah anggota kabinet harus dalam jumlah tertentu.
Maka, nomenklatur kabinet sangat ditentukan oleh dinamika dan besar kecilnya koalisi politik yang mendukung seorang presiden.
“Besaran koalisi terkait dengan bagi-bagi kursi kabinet. Semakin besar koalisi, semakin besar kepentingan politik yang harus diakomodasi di dalam pemerintahan, khususnya di dalam kabinet,” ujar Ronny kepada Tirto, Rabu (15/4/2024).
Namun demikian, tentu rencana tersebut harus disesuaikan dengan kekuatan fiskal yang ada. Karena, kata Ronny, pembesaran komposisi kabinet tidak bisa dilakukan tanpa penambahan anggaran untuk pembiayaan kementerian yang baru. Ini juga menjadi konsekuensi yang harus dibayar oleh pemerintahan baru.
“Jadi pemerintahan Prabowo-Gibran harus juga berhitung secara ekonomi dan fiskal, tidak hanya secara politik dan berdasarkan pada proyeksi masa depan yang ada di dalam dokumen visi misi mereka, tapi juga harus menimbang fakta fiskal yang ada,” jelas dia.
Ronny menuturkan, ruang fiskal yang dimiliki saat ini sudah cukup mepet dengan nomenklatur kabinet yang ada. Karena menurut APBN 2024, belanja pemerintah pusat dialokasikan mencapai Rp2,467 triliun. Anggaran itu terdiri dari belanja Kementerian atau Lembaga Rp1,090 triliun dan belanja non Kementerian atau Lembaga Rp1,376 triliun. Tentu akan semakin tertekan kalau nomenklatur kabinet diperbesar.
“Defisit anggaran berpotensi membesar, utang semakin membesar, dan akibatnya APBN semakin terbebani dengan cicilan dan bunga utang yang juga ikut membesar setiap tahun,” ujar dia.
Pada 2023, kinerja APBN Kita mencatatkan defisit Rp347,6 triliun atau setara 1,65 persen dari produk domestik bruto (PDB). Meskipun defisit, angka tersebut lebih rendah dibandingkan dengan target awal APBN 2,84 persen dari PDB dan target Perpres no 75 tahun 2023 sebesar 2,27 persen dari PDB.
Di sisi lain, total utang pemerintah sampai dengan 31 Maret 2024 menurut dokumen APBN Kita tercatat Rp8.262,10 triliun. Nilai itu turun sekitar Rp57,12 triliun dari posisi pengujung Februari 2024, yakni sebesar Rp8.319,22 triliun.
Meski posisi defisit APBN dan posisi utang pemerintah turun, namun tidak menutup kemungkinan keduanya akan kembali meningkat jika ada penambahan kementerian. Sebab dengan penambahan ini akan buat belanja negara menjadi lebih besar.
“Sisi challenging-nya adalah tentang budgeting. Jangan sampai opsi penambahan kementerian/lembaga ini menambah beban keuangan negara secara signifikan,” ujar Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, kepada Tirto, Rabu (15/5/2025).
Ajib mengingatkan, batasan maksimal defisit anggaran yakni 3 persen terhadap PDB dan rasio utang maksimal 60 persen terhadap PDB.
Meskipun sebelumnya pernah melalui kebijakan extraordinary dalam rangka menanggulangi dampak pandemi COVID-19 pada 2020, pemerintah mengizinkan pelebaran defisit anggaran di atas 3 persen PDB yang diatur dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang dikukuhkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020.
“Karena, dalam kebijakan sekarang pun, defisit fiskal sudah mendekati batas 3 persen dari PDB,” ujar dia.
Kualitas Menteri Juga Harus Ditingkatkan, Bukan Hanya Kuantitasnya
Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah, mengatakan meski rencana itu belum terkonfirmasi, tapi kalau memang ada penambahan kementerian pasti akan ada dampaknya ke APBN. Karena penambahan itu akan diikuti penambahan staf ahli, pejabat eselon I, juga diikuti penambahan program.
“Tapi itu adalah hak prerogatifnya presiden. Presiden pasti sudah mempertimbangkan semuanya baik pro kontra dari semua kebijakan,” ujar Piter kepada Tirto, Rabu (15/5/2024).
Piter melihat bahwa APBN saat ini memang cukup terbatas. Seharusnya, pemerintahan yang baru juga memahaminya dan pasti sudah mengantisipasinya. Termasuk dengan semua janji-janji kampanye pernah disampaikan sebelumnya.
“Semua pasti sudah dipertimbangkan degan bijak. Tim ahli presiden pasti sudah mengkajinya secara cermat,” ujar Piter.
Tidak berhenti pada soal penambahan kementerian, Piter meyakini program makan siang gratis yang digagas Prabowo-Gibran juga sudah diperhitungkan dengan matang anggarannya.
Terlepas dari pro dan kontra terhadap progam tersebut sebelumnya.
“Ada pro kontranya dan pasti sudah dikaji. Memilih Prabowo berarti masyarakat lebih memilih program makan siang gratis,” ujar dia.
Terkait dengan dampak keekonomiannya, kata Piter, akan bergantung kepada bagaimana timnya Prabowo-Gibran mengeksekusi program tersebut. Kalau dieksekusi degan baik, program tersebut akan memunculkan banyak manfaat bagi masyarakat dan perekonomian.
Sementara itu, Rektor Universitas Paramadina sekaligus pendiri INDEF, Didik J Rachbini, mengatakan yang penting saat ini sebenarnya bukan jumlah kementerian. Namun, bagaimana kualitas orang dan kepemimpinan di tingkat menteri. Ditambah dalam meracik ekonomi, khusus menteri pada bidang ekonomi.
Sebab, jumlah dan jenis kementerian sendiri memang merupakan hak presiden. Namun, tetap harus mengacu pada undang-undang.
“Jadi tidak semana-mena diubah, harus ada argumen rasional dan bukan cuma dagang sapi,” ucap Didik kepada Tirto, Rabu (15/5/2024).
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Bayu Septianto