tirto.id - Nama-nama kandidat di bursa menteri keuangan yang akan menggantikan Sri Mulyani Indrawati di pemerintahan Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka pada Oktober 2024 mendatang mulai bermunculan. Sederet nama dari kalangan profesional pun ikut meramaikan posisi Bendahara Negara tersebut.
Mereka adalah Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar; Dirut PT BNI, Royke Tumilaar; Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, dan Wakil Menteri BUMN, Kartika Wirjoatmodjo, sebagaimana dikutip dari Bloomberg.
Pada awal Maret 2024, Prabowo memang sempat memberikan sinyal kepada Kartika Wirjoatmodjo atau akrab disapa Tiko, bakal menjabat menteri keuangan dalam periode kepemimpinannya ke depan. Usai memberi pidato di acara Mandiri Investment Forum, Prabowo terlihat kedapatan menyalami Tiko dan melontarkan kalimat diduga kuat sebagai sinyal menjadi bendahara negara.
“Jaga uang republik,” ujar Prabowo sambil tersenyum.
Dalam acara tersebut, Ketua Umum Gerindra itu memang menyampaikan arahannya untuk ekonomi Indonesia ke depan. Dia juga membeberkan saat ini kinerja ekonomi Indonesia, salah satu yang terbaik di dunia. Hal ini dibuktikan di tengah krisis di berbagai dunia dan ketidakpastian global, Indonesia masih mampu mengatasinya.
Kendati sudah memberikan sinyal, tetapi dari nama-nama dtersebut semuanya masih abu-abu. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, bahkan mengaku tidak mengetahui nama-nama akan berpeluang menjadi menteri keuangan di pemerintahan Prabowo.
“Kurang tahu, hanya Pak Prabowo yang tahu,” ujar Saras saat dikonfirmasi Tirto, Rabu (8/5/2024).
Saras berdalih, meski posisinya sebagai keponakan Prabowo pembahasan mengenai nama-nama bursa menteri tidak dibahas dalam tingkat internal Partai Gerindra. Termasuk nama-nama yang muncul di publik.
“Pembicaraan itu hanya di tingkat pimpinan,” ujar dia menjelaskan.
Siapa Kriteria Menkeu yang Pas?
Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, menilai salah satu kriteria yang pas mengisi kursi menteri keuangan, pertama, sosoknya memang harus dari kalangan profesional.
Dalam urusan pemerintahan di bidang keuangan dan kekayaan negara, menteri keuangan, menurutnya, jangan sampai diisi dari kalangan parpol dan pebisnis.
Kedua, kriteria menteri keuangan yang dibutuhkan Prabowo-Subianto wajib punya network atau jaringan internasional cukup bagus. Sebab, bendahara negara tidak hanya melulu mengurusi masalah domestik, melainkan juga menangani jaringan luar dalam hal urusan utang luar negeri RI.
“Bagaimana dia [menteri keuangan] bisa nego. Misalnya kalau ada restrukturisasi utang itu, dia harus bagaimana? Karena kondisi ekonomi sekarang lagi sulit,” imbuh dia kepada Tirto, Rabu (8/5/2024).
Selanjutnya, kata Esther, menteri keuangan dalam hal ini harus bisa mengatur bujet secara hati-hati dan harus sesuai dengan peruntukan dan prioritasnya. Sebab, umumnya ia akan bertugas dalam perencanaan pendapatan negara dan belanja negara setiap tahunnya.
APBN disusun sebagai pedoman dalam melakukan kegiatan yang berkaitan dengan keuangan selama tahun anggaran yang bersangkutan. Jadi setiap kali pemerintah akan melakukan transaksi keuangan yang menyangkut keuangan negara, maka harus memperhatikan anggaran pendapatan dan belanja negara yang telah disusun sebelumnya.
“Jangan sampai orang yang disenangi kemudian jadi prioritas anggaran. Karena dia kan penjaga gawang dari keuangan. Kalau itu terjadi bisa bobol semua dong uang negara,” kata Esther.
Terakhir, tidak kalah penting sosok menteri keuangan di pemerintahan Prabowo Subianto harus bisa mengantisipasi ketika kondisi sulit terjadi.
Calon menkeu juga harus siap memikul tugas besar melawan berbagai risiko geopolitik, khususnya gangguan rantai pasok global imbas persaingan AS-Cina serta apabila perang terjadi di Timur Tengah. Selain itu, pertimbangan lain, Prabowo juga butuh sosok yang siap mengamankan pendanaan janji politiknya, tapi dengan tetap menjunjung tinggi kehati-hatian fiskal.
Oleh karena itu, menteri keuangan selanjutnya, kata Esther, punya pekerjaan rumah besar harus bisa memberikan alternatif penerimaan negara yang tidak hanya mengandalkan dari pajak. Namun, juga mencari pendanaan di luar dari pajak.
“Karena ini suku bunga naik, kalau pajak naik jadi pengetatan tidak hanya pada kebijakan moneter, tapi juga kepada kebijakan fiskal. Kalau kedua barengan diketatkan sektor riil akan lesu,” ujar dia.
Sementara saat disinggung siapa yang lebih cocok dari kriteria disampaikan di atas, pilihan Esther lebih condong ke Mahendra Siregar. Mahendra sempat menjabat Wakil Menteri Luar Negeri sejak 25 Oktober 2019 sampai 19 Juli 2022.
Sebelumnya, dia menjabat sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Amerika Serikat (2019), Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (2013-2014), Wakil Menteri Keuangan (2011-2013), dan Wakil Menteri Perdagangan (2009-2011).
Selain mengemban tugas pada institusi pemerintah, Mahendra juga pernah memegang berbagai jabatan komisaris di korporasi dan organisasi internasional.
Mahendra memperoleh gelar Master of Economics dari Monash University, Melbourne pada 1991 dan Sarjana Ekonomi dari Universitas Indonesia pada 1986.
“Kalau saya kenal Mahendra Siregar. Sosoknya baik. Kalau dilihat dari rekam jejaknya juga pas,” ujar dia saat dihubungi Tirto, Rabu (8/5/2024).
Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah, melihat dari empat nama yang muncul tersebut semuanya rasanya pas menjadi menteri keuangan di pemerintahan Prabowo-Gibran. Terlebih, masing-masing juga punya latar belakang yang cukup untuk menjabat sebagai menteri keuangan. Kendati begitu, Piter meningkatkan, menteri keuangan memang sebaiknya adalah kalangan profesional, bukan dari parpol.
“Usulan bisa saja dari parpol, tetapi ketika menjadi menteri harus bisa profesional lepas dari kepentingan partai politik,” ujar Piter kepada Tirto, Rabu (8/5/2024).
Sementara itu, Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono, menilai dari nama-nama yang muncul tersebut justru belum ada yang benar-benar ideal. Sebab, sejatinya sosok menteri keuangan selama ini yakni Sri Mulyani Indrawati, terkenal sebagai figur dengan integritas dan kredibilitas yang baik sehingga mendapatkan kepercayaan tinggi dari pelaku pasar dan juga komunitas internasional.
Maka, sosok bendahara negara yang non partisan dan lebih banyak dituntun oleh pertimbangan profesional dan argumentasi rasional dalam pembuatan kebijakan, tetap menjadi kunci dari kepercayaan banyak pihak terhadap menteri keuangan. Faktor ini kemudian tetap akan menjadi syarat utama bagi menteri berikutnya.
“Namun terlepas dari apresiasi banyak pihak atas kepemimpinannya di Kemenkeu selama ini, menurut saya Sri Mulyani memiliki sejumlah kelemahan mendasar, yang karenanya menjadi catatan penting bagi figur menkeu berikutnya,” ujar dia kepada Tirto, Rabu (8/5/2024).
PR Besar Menkeu Selanjutnya
Yusuf mengatakan, kegagalan menteri keuangan sekarang adalah meningkatkan penerimaan perpajakan. Terlepas dari berbagai kebijakan reformasi perpajakan yang dikeluarkan selama era pemerintahan Presiden Jokowi, termasuk pengampunan pajak atau tax amnesty dan UU HPP, serta terkini pengembangan core tax system, kinerja penerimaan perpajakan kita tidak banyak berubah.
Tax ratio terkini pada 2023 hanya sebesar 10,23 persen dari PDB, yang bahkan masih lebih rendah dari tax ratio di awal Presiden Jokowi pada 2015 yang 10,76 persen dari PDB. Kinerja penerimaan perpajakan RI bahkan stagnan dalam 1 dekade terakhir, jika tidak bisa dikatakan menurun.
Kedua adalah kegagalan menahan beban utang pemerintah yang semakin membebani APBN secara signifikan, sehingga menurunkan kemampuan APBN dalam memberi stimulus perekonomian dan melindungi rakyat miskin. Beban bunga utang terus meningkat dalam 1 dekade terakhir, terutama pasca pandemi yang melejit sangat tinggi.
Bila pada 2015 beban bunga utang “baru” di kisaran Rp150 triliun, maka kini telah mendekati Rp500 triliun pada APBN 2024. Beban bunga utang melonjak dari 17,9 persen dari penerimaan perpajakan pada 2019 menjadi 24,4 persen dari penerimaan pajak pada 2020.
Pada 2023 diperkirakan rasio bunga utang terhadap penerimaan pajak masih akan berada di kisaran 20,6 persen dan pada 2024 diproyeksikan di kisaran 21,5 persen. Posisi ini tentu saja jauh di atas batas aman di kisaran 7 – 10 persen.
“Maka syarat sosok menkeu berikutnya yang terpenting menurut saya adalah memiliki program dan kapasitas untuk meningkatkan kinerja penerimaan perpajakan dan sekaligus menurunkan beban utang pemerintah,” ujar dia.
Menteri keuangan berikutnya, lanjut Yusuf, tidak boleh lagi melanggar disiplin makroekonomi atas nama apapun. Sebab, di masa pandemi, untuk pertama kalinya pasca krisis 1997, pemerintah melanggar dua disiplin makroekonomi terpenting, yaitu melanggar disiplin fiskal berupa batas maksimum defisit anggaran 3 persen dari PDB dan bank sentral melakukan monetisasi utang pemerintah dimana BI membeli SBN di pasar primer.
“Menkeu berikutnya harus mampu menurunkan ketergantungan APBN yang sangat akut pada pembuatan utang baru, terutama melalui penerbitan SBN,” ujar dia.
Dia mencontohkan, di era Presiden SBY, penerbitan SBN dari hanya Rp32,3 triliun pada 2004 melonjak hingga mencapai Rp439 triliun pada 2014. Di era Presiden Jokowi, penerbitan SBN melambung tinggi, dari Rp522 triliun pada 2015 menjadi Rp922 triliun pada 2019.
Di masa pandemi, penerbitan SBN juga melonjak tinggi menembus Rp1.541 triliun pada 2020 dan Rp1.353 triliun pada 2021. Pasca pandemi, penerbitan SBN mulai menurun meski masih sangat tinggi, tercatat Rp1.097 triliun pada 2022.
Pada 2015, jumlah SBN yang jatuh tempo dan beban bunga SBN “baru” di kisaran Rp300 triliun. Kemudian pada 2019, angka ini melonjak menembus Rp700 triliun dan pasca pandemi, pada 2021, menembus Rp800 triliun.
Pada 2022, jumlah SBN jatuh tempo dan beban bunga SBN diperkirakan turun menjadi Rp500 triliun. Namun pada 2023 diproyeksikan melonjak mendekati Rp1.000 triliun dan pada 2024 di kisaran Rp1.100 triliun.
“Bila di era Presiden SBY, beban bunga utang dan cicilan pokok utang yang jatuh tempo rata-rata di kisaran 32,9 persen dari penerimaan perpajakan pada 2005-2014, maka pada 2015-2022, di era Presiden Jokowi, angka ini melonjak menjadi 47,4 persen,” pungkas dia.
Maka, tidak mudah bukan dalam memilih menteri keuangan? Prabowo dalam hal ini harus mempertimbangkan berbagai hal dan menempatkan orang pas untuk menjadi bendahara negara.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Maya Saputri