Menuju konten utama

Aroma Bagi-Bagi Kekuasaan dalam Wacana Penambahan Kursi Menteri

Penambahan jumlah kursi menteri dinilai lebih bermuatan politik dibandingkan kebutuhan pemerintahan.

Aroma Bagi-Bagi Kekuasaan dalam Wacana Penambahan Kursi Menteri
Calon Presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto (tengah) didampingi sejumlah Ketua Umum Partai Koalisi Indonesia Maju yaitu Agus Harimurti Yudhoyono (kiri), Airlangga Hartarto (kedua kiri), Zulkifli Hasan (kedua kanan) dan Yusril Ihza Mahendra (kanan) menyampaikan pidato politik usai penetapan hasil Pemilu 2024 di Jalan Kertanegara, Jakarta, Rabu (20/3/2024) ANTARA FOTO/Galih Pradipta/rwa.

tirto.id - Wacana penambahan kursi menteri pada pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka ramai diperbincangkan publik. Hal itu terungkap setelah beredar isu bila Prabowo akan meningkatkan jumlahnya dari 34 kementerian menjadi 40 kementerian/lembaga.

Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Habiburokhman, tidak memungkiri rencana keinginan menambah kementerian di kabinet Prabowo. Ia tidak membahas soal gemuk atau pemerintahan sehat, tapi ia menilai gagasan tersebut baik dan wajar.

“Buat saya bagus, negara kita, kan, negara besar, tantangan kita besar, target-target kita besar, wajar kalau kita perlu mengumpulkan banyak orang, berkumpul dalam pemerintahan sehingga jadi besar,” kata Habiburokhman, Senin (6/5/2024).

Habiburokhman menerima kritik ketika ada persepsi soal bagi-bagi kursi. Namun, kata dia, semua masalah kabinet, baik besar atau kecil, bertambah atau berkurang, adalah wewenang Prabowo.

Ia mencontohkan beberapa hal seperti Kemenkumham yang terbagi atas administrasi umum berbeda dengan pemasyarakatan. Di isu lingkungan juga ada perbedaan antara Kementerian Lingkungan Hidup dengan [Kementerian] Kehutanan yang kini masih dalam satu wadah.

“Kan, kita bernegara ini berdialektika. Mungkin praktik-praktik yang kemarin perlu disempurnakan, kita akan sempurnakan lagi. Konsekuensinya ya itu, dia bisa ada pengembangan jumlah kementerian dan lembaga,” kata Habiburokhman.

Presiden Joko Widodo pun menanggapi soal wacana penambahan kursi menteri pada pemerintahan Prabowo-Gibran tersebut. “Kabinet yang akan datang ditanyakan dong kepada presiden terpilih. Tanyakan kepada presiden terpilih,” kata Jokowi, Selasa (7/5/2024).

Meski demikian, Jokowi menegaskan tidak ada masukan darinya dalam isu tersebut. “Enggak ada,” kata Jokowi menambahkan.

Di sisi lain, pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, menilai nomenklatur kementerian di kabinet Jokowi-Ma'ruf saat ini adalah 34. Rinciannya, 4 menteri koordinator alias menko dan 30 menteri bidang. Jika ingin ada penambahan, maka harus ada revisi Undang-Undang Kementerian Negara.

“Dapat saja (nomenklatur kementerian) ditambah, tetapi dengan amandemen UU Kementerian Negara,” kata Yusril dalam keterangan tertulis, Rabu (8/5/2024).

Aturan mengenai nomenklatur kementerian ini tertera dalam UU Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Yusril yang juga ketum DPP PBB –salah satu anggota koalisi Prabowo-Gibran—mengatakan, jika tidak melalui revisi UU Kementerian Negara, presiden bisa menerbitkan Perppu.

“Bisa dilakukan oleh Presiden Jokowi dan DPR sekarang. Bisa juga setelah Prabowo dilantik dengan menerbitkan Perppu,” kata Yusril.

Yusril menyebut, setelah Prabowo dilantik jadi presiden oleh MPR pada 20 Oktober mendatang, ia bisa langsung mengeluarkan Perppu terkait penambahan nomenklatur. “Bisa, enggak masalah,” tutur dia.

Lebih jauh, Yusril mendukung jika akan ada penambahan nomenklatur kementerian. Sebagai contoh, ia menyoroti Kemendikbudristek yang menurutnya terlalu gemuk.

“Bisa saja. Kemendiknas (Kemendikbudristek) sekarang bagusnya dikembalikan seperti semula. Terlalu gemuk dan rumit," ucap Yusril.

Prabowo-Girban menghadiri penetapan KPU

Pasangan Prabowo-Girban duduk berdampingan saat menghadiri penetapan KPU sebagai presiden dan wakil presiden terpilih periode 2024-2029, Rabu (24/4/2034). Foto: tangkapan layar YouTube akun resmi KPU RI

Hal senada diungkapkan ahli hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah. Ia memastikan bahwa penambahan kementerian harus diikuti dengan revisi undang-undang. Sebab, kata dia, UU Kementerian Negara mengamanatkan maksimal 34 kementerian.

“Ya pasti melanggar UU Kementerian Negara. Kan, di UU a quo diatur maksimal 34 menteri. Kalau mau nambah, ubah dulu UU-nya," kata pria yang karib disapa Castro itu, Rabu (8/5/2024).

Namun demikian, Castro mengatakan, dirinya lebih melihat ada unsur politis dalam penambahan kementerian. Hal ini tidak lepas dari upaya pemerintahan masa depan yang berupaya merangkul sejumlah parpol di luar koalisi.

“Saya menduga rencana menambah jumlah kementerian ini akan dilakukan melalui perubahan undang-undang, makanya aksi rangkul kelompok oposisi kencang dilakukan biar aman prosesnya. Selain mengubah undang-undang, bisa juga melalui MK. Apalagi cara buruk ini sudah sering dilakukan,” kata Castro.

Castro tidak punya data jumlah kementerian di negara lain. Namun, ia mengatakan, Indonesia punya pengalaman di era Sukarno. “Ada ratusan menteri. Itu juga background-nya politik, terutama konflik '65. Bukan analisis berdasarkan kebutuhan,” kata Castro.

Ia menilai, penambahan kursi menteri akan memicu pemborosan. Menurut dia, akan banyak tangan yang menangani dan akan berakhir jadi bagi-bagi kue.

“Pasti boros dan tidak efektif. Yang harusnya dikerjakan cukup satu kementerian, malah dikerjakan ramai-ramai, dipimpin orang-orang partai yang tidak kompeten di bidangnya pula karena pemilihannya berdasarkan bagi-bagi jatah kue,” kata Castro.

Prabowo dan Gibran hadiri buka puasa bersama Partai Golkar

Capres terpilih Prabowo Subianto (kiri) dan Cawapres terpilih Gibran Rakabuming Raka (kanan) saat menghadiri acara Peringatan Nuzulul Qur'an dan Buka Bersama Partai Golkar di Jakarta, Jumat (29/3/2024). ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso/tom.

Sementara itu, analis politik dari Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah, mengatakan, upaya penambahan kementerian justru akan merugikan secara pemerintahan. Ia menilai, gerak pemerintah akan semakin lambat. Sebaiknya, pemerintah justru mengurangi kementerian daripada bertambah.

“Komposisi hingga ada 40 pos yang disusun oleh presiden terlalu berlebihan, akan membuat gerak pemerintah makin lambat mengingat alur birokrasi kian panjang, komposisi semacam ini cenderung mengakomodasi kepentingan politik dibanding soal laju pembangunan. Akan jauh lebih baik dan diperlukan jika pemerintah lakukan restrukturisasi kementerian di tingkat daerah, saat ini tidak semua kementerian miliki garis struktur yang lengkap hingga ke daerah,” kata Dedi, Rabu (8/5/2024).

Karena itu, Dedi menilai, penambahan kementerian justru lebih bermuatan politis. Ia menilai tudingan ini semakin masuk akal ketika posisi Prabowo saat ini yang memiliki banyak partai pendukung dan berupaya mengakomodasi lawan politiknya.

“Banyaknya pos yang dibentuk presiden akan menjadi ajang pembagian kekuasaan tim sukses di pilpres dan juga partai pengusung, selain menghabiskan banyak anggaran, juga akan terancam minim kerja,” kata Dedi.

Dedi juga menilai, Prabowo seharusnya menghapus banyak pos kementerian dan badan yang tidak diperlukan. Ia mencontohkan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, termasuk menghapus Menko PMK. Selain itu, Prabowo bisa menghapus badan semisal Badan Siber, serta Ristek dilepas dari Kemendikbud dan melebur ke BRIN.

“Dalam situasi saat ini, Menteri Desa dan Transmigrasi pun sudah layak dihapus, kegiatan transmigrasi dan kesejahteraan desa menjadi tanggung jawab banyak kementerian, semisal Kemendagri dan Kemensos. Begitu halnya dengan Kementerian Lingkungan Hidup dapat dilebur menjadi satu dengan Kementerian Pertanian,” kata Dedi.

Dedi menekankan, menteri hanya bertugas lakukan koordinasi, bukan event organizer, sehingga tidak terbatas wilayah jangkauannya, karena hanya fokus pada tata kelola administratif. Meskipun saat ini UU hanya mengamanatkan 34 kementerian, tapi UU mudah diubah.

Baca juga artikel terkait KABINET PRABOWO-GIBRAN atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz