tirto.id - Peringatan: isi dari artikel ini mungkin dapat memicu trauma, khususnya bagi penyintas kekerasan. Masyarakat dapat melaporkan jika mengalami atau menyaksikan kasus dugaan kekerasan melalui call center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 dan WhatsApp 08111 129 129.
Kasus pembunuhan terhadap perempuan dengan cara keji dan sadis terus terjadi sebulan terakhir. Terduga pelaku yang diringkus aparat penegak hukum, merupakan laki-laki yang kenal atau bahkan memiliki relasi intim dengan korban. Kasus-kasus tersebut menjadi alarm yang seharusnya ditangkap pemerintah agar lebih getol dan serius menciptakan ruang hidup aman dan setara bagi perempuan dan kelompok rentan.
Baru-baru ini, perempuan yang dibunuh dan jenazahnya disembunyikan ke dalam koper bahkan terjadi dua kali. Pekan lalu, Jumat (3/5/2024), seorang perempuan asal Bogor, Jawa Barat, berinisial RA (23) dibunuh rekan kencan laki-lakinya di kawasan Kuta, Kabupaten Badung. Pelaku AARP (21), mengaku menghabisi korban lantaran emosi diminta membayar lebih dalam layanan kencan secara komersial.
Jenazah korban dimasukkan ke koper dan dibuang ke kawasan Jimbaran, Kuta Selatan. Pihak polisi menyatakan AARP membunuh korban dengan pisau yang ada di kamar kosnya. Polisi berhasil mengungkap kasus ini berkat laporan penghuni kos lain yang curiga melihat AARP membawa koper besar. AARP menyerahkan diri ke polisi ditemani kakaknya.
Pembunuhan terhadap perempuan disertai membuang jenazah korban dengan koper juga sempat membuat heboh warga akhir April 2024. Jenazah korban, RM (50), ditemukan di Jalan Inspeksi Kalimalang Sukadanau, Kecamatan Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (25/4/2024). Ketika ditemukan, terdapat sejumlah luka dan cedera di kepala serta memar di bibir.
Belakangan terungkap pelaku tindakan tersebut adalah Ahmad Arif Ridwan Nuwloh (29) yang juga mengenal korban secara intim. Ahmad membunuh RM di sebuah kamar hotel di Bandung, Jawa Barat, Rabu (24/4/2024). Pelaku membunuh korban lantaran emosi ketika cekcok soal ajakan pernikahan. Tak hanya membunuh RM, Ahmad sempat membawa kabur uang perusahaan yang saat itu sedang dibawa korban.
Pembunuhan terhadap perempuan secara sadis juga terjadi baru-baru ini di Ciamis, Jawa Barat. Korban adalah Y (42), yang dibunuh dan dimutilasi oleh suaminya sendiri, Tarsum (51). Dalam video viral kejadian ini, pelaku bukan cuma menghabisi nyawa korban, namun juga menawarkan potongan tubuh korban kepada para tetangganya. Saat ini, kepolisian sudah mencokok pelaku dan dalam proses memeriksa kejiwaan Tarsum.
Kasus-kasus tersebut menjadi alarm untuk para perempuan. Jika dibuat daftar lain, tentu masih banyak kasus pembunuhan terhadap perempuan yang rata-rata dilakukan oleh orang dekat korban, baik suami, anggota keluarga, atau rekan asmara.
Peristiwa-peristiwa memilukan ini jangan sampai membuat pemerintah tutup mata dan sekadar melempar komentar duka formalitas, tanpa disertai pembenahan serius.
Kriminolog dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Mamik Sri Supatmi, memandang pembunuhan sadis terhadap perempuan yang terjadi akhir-akhir ini termasuk dalam kategori femisida (femicide). Femisida berbeda dengan pembunuhan biasa (homicide) sebab terdapat relasi gender yang timpang di dalamnya.
Komnas Perempuan mendefinisikan femisida sebagai pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara sengaja karena jenis kelamin atau jendernya. Pembunuhan tersebut bisa didorong oleh rasa cemburu, memiliki, superioritas, dominasi, dan kepuasan sadistik terhadap perempuan. Komnas Perempuan juga mengkategorikan femisida sebagai sadisme.
“Korban adalah perempuan yang jelas sangat terang benderang, baik yang terjadi pada relasi intim pada perkawinan atau di luar perkawinan, dengan pelaku teman kencan atau suami. Kekerasan ini terjadi karena adanya relasi kuasa yang sangat timpang antara laki-laki dan perempuan,” kata Mamik saat berbincang dengan Tirto, Senin (6/5/2024).
Mamik menilai, femisida di Indonesia sebetulnya sudah berulang terjadi dalam waktu yang lama. Baru-baru ini menjadi ramai di media massa karena ekspos media sosial membantu kasus-kasus pembunuhan terhadap perempuan diketahui banyak orang. Padahal, kasus pembunuhan terhadap perempuan terus terjadi, baik di kota, pelosok, baik terekspos atau senyap. Terungkap atau belum terusut.
Dia menilai kondisi kekerasan terhadap perempuan dan kelompok rentan seperti anak-anak, sudah sangat mengkhawatirkan dan menyedihkan. Pemerintah diminta lebih serius menjalankan komitmennya untuk memberikan ruang hidup aman bagi perempuan dan kelompok rentan.
“Identifikasi persoalan yang bukan hanya terlihat mata atau lebih dari permukaan saja. Harus bisa ditemukan dan dikenali oleh pemerintah kemudian sungguh-sungguh diatasi,” jelas Mamik.
Mamik menjelaskan femisida bukan persoalan sederhana karena sistemik dan kompleks. Penegakan hukum hanya salah satu faktor yang perlu dilakukan untuk mencegah kekerasan dan kejahatan terhadap perempuan. Lebih dari itu, butuh peran pemerintah yang serius untuk mempromosikan dan mendorong masyarakat untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan dan kelompok rentan.
Di sisi lain, kondisi kesejahteraan masyarakat yang rendah juga turut memantik relasi buruk antara perempuan dan laki-laki, apalagi dalam masyarakat yang masih patriarki. Maka, kata Mamik, negara bisa menggunakan tangan-tangan mereka yang bisa menjangkau banyak aspek ini untuk terus mendorong penghormatan, kesetaraan, dan keadilan bagi perempuan dan semua kelompok rentan.
“Dalam konteks HAM negara atau pemerintah ada dalam posisi memiliki kewajiban. Masyarakat juga turut mendorong ruang hidup aman bagi perempuan dan kelompok rentan lain. Kekerasan kepada perempuan seperti femisida harusnya menguatkan kepedulian sekitar,” ucap Mamik.
Kesadaran Masyarakat
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati, menilai untuk memasukKan suatu kasus pembunuhan perempuan dalam kategori femisida memang perlu dilihat beberapa unsur kejahatan di dalamnya. Apalagi, aparat penegak hukum di Indonesia sendiri belum memiliki perspektif hukum dalam penanganan kasus femisida.
“Unsur-unsur yang betul-betul menitikberatkan bahwa motif pembunuhan atau motif penganiayaan atau pidana terhadap perempuan ini dikarenakan oleh unsur-unsur keperempuanannya. Ini diakibatkan misalnya perempuan yang dianggap tidak memuaskan, tidak bisa tunduk atau yang dianggap mengancam,” kata Mike kepada Tirto, Senin lalu.
Menurutnya, femisida juga erat kaitannya dengan bagaimana pola-pola kekerasan terhadap perempuan didukung oleh unsur-unsur kekerasan seksual. Motif yang terbangun di benak pelaku berpikir bahwa perempuan wajar mengalami dominasi, perempuan tidak boleh berani, perempuan tidak boleh bersuara, dan perempuan harus menurut.
“Sehingga seorang korban itu dianggap menjadi layak untuk mengalami penyiksaan atau penganiayaan bahkan pembunuhan,” ujar Mike.
Di sisi lain, Mike melihat wacana femisida dan kekerasan berbasis gender mulai diterima oleh banyak kalangan masyarakat. Misalnya di pemberitaan, kasus kekerasan berbasis gender tadinya hanya muncul dalam rubrik atau media-media marginal. Namun, saat ini, Mike melihat mulai banyak didorong sebagai tajuk utama pemberitaan.
Dia mendorong pemerintah membuat studi komprehensif pada kasus-kasus femisida. Hal ini untuk membuktikan dan menentukan kegawatan femisida yang ada di Indonesia. Studi tersebut harus direspons pemerintah dengan melakukan pembenahan misalnya di sektor penegakan hukum agar lebih berperspektif korban kekerasan berbasis gender.
“Tentunya hukumannya kepada pelaku harus lebih berat apalagi sudah ada UU TPKS. Tapi masalahnya, apakah penegak hukum mau menggunakannya pada kasus-kasus semacam ini,” ungkap Mike.
Femisida sendiri di sejumlah negara dikategorikan terpisah dari pembunuhan biasa dalam lingkup penegakan hukum. Misalnya Meksiko, memiliki tim investigasi khusus penanganan kasus-kasus dugaan femisida yang dibentuk pada 2020. Seperti dilansir kantor berita ABC, tim ini tidak hanya menguak kasus-kasus baru, namun turut membuka kembali perkara lama yang diduga merupakan bentuk femisida.
Ketiadaan Data Nasional
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, memandang kasus pembunuhan di Cikarang dan Ciamis masuk sebagai kategori femisida. Kejadian tersebut termasuk femisida intim, yakni pembunuhan yang dilakukan oleh suami, pacar, mantan suami atau mantan pacar. Komnas Perempuan sendiri menilai kasus femisida tertinggi terjadi dalam relasi intim.
Dia mengakui, Indonesia belum memiliki data nasional resmi yang merekam kasus-kasus femisida. Siti menjelaskan pihaknya sudah mulai melakukan pendataan sejak 2017 tetapi masih sangat terbatas.
“Fenomena femisida dari dulu itu ada, tapi kita tidak menamainya sebagai femisida. Bagi Komnas Perempuan, satu nyawa perempuan sangat berharga, karenanya harus kita cegah agar tidak muncul dan menjadi korban femisida,” kata dia kepada Tirto.
Dia mengungkap, pada 2023 femisida intim menempati pemberitaan tertinggi yang terbagi dalam jenis Kekerasan terhadap Istri (KTI) sebanyak 64 kasus, Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) sebanyak 33 kasus, Kekerasan Mantan Pacar (KMP) sebanyak 11 kasus, Kekerasan Mantan Suami (KMS) sebanyak 1 kasus.
Lebih lanjut, tindakan kekerasan tersebut juga tidak berakhir dengan kematian korban. Kondisi ini menunjukkan, kata dia, relasi perkawinan dan relasi pacaran menjadi salah satu relasi yang tidak aman bagi perempuan. Salah satu karakteristik femisida adalah sadistis dan perlakuan terhadap jenazah korban.
Pada 2023, Komnas Perempuan mencatat ada 10 kasus perlakuan terhadap jasad yang merendahkan tubuh dan martabat korban perempuan. Seperti diperkosa, dilucuti pakaiannya, mutilasi, tubuh dan alat kelamin dirusak, dikemas dalam karung/box/alat lainnya dan dibuang ke tempat di luar TKP.
“Yang bisa dilakukan negara, sesuai rekomendasi PBB adalah membentuk ‘femicide watch’ dan menyampaikan upaya-upaya yang telah dilakukan untuk pencegahan dan penanganannya,” seru Siti Aminah.
Pemerintah juga harus terus mendorong kesetaraan dan keadilan gender. Untuk konteks KDRT, pemerintah didesak membuat panduan penilaian tingkat bahaya yang dapat digunakan oleh setiap orang, khususnya perempuan. Termasuk, agar lembaga layanan korban serta petugas kesehatan dan kepolisian dapat menilai apakah kasus KDRT yang dilaporkan korban atau dialami korban, semakin memburuk dan dapat berakhir dengan kematian.
“Fenomena ini tidak terjadi tiba-tiba. Karena kita [sejak] dulu memperlakukan pembunuhan terhadap perempuan [femisida] sama dengan pembunuhan biasa,” ujar Siti Aminah.
Respons Pemerintah
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA, Ratna Susianawati, menyampaikan bahwa kasus pembunuhan terhadap perempuan yang belakangan marak terjadi sudah menjadi perhatian serius pihaknya. Terhadap kasus femisida, dia menyebutnya sebagai gejala sosial yang sudah sangat mengkhawatirkan.
“Harus ditekankan untuk pendekatan-pendekatan misalnya keagamaan. Mulai dikenalkan kepada masyarakat bahwa ada fenomena ini. Dan penegakan hukum menjadi penting karena kemudian masyarakat akan ada prosesnya direspons cepat APH,” kata Ratna kepada Tirto, Senin lalu.
Penegakan hukum yang adil dan pantas bagi pelaku dinilai Ratna akan menekan kasus dan mencegah kasus berulang. KemenPPPA, kata dia, terus mengawal kasus-kasus dan laporan kekerasan berbasis gender pada kelompok rentan. Hingga saat ini, Ratna menyatakan KemenPPPA aktif meliterasi isu-isu femisida kepada masyarakat.
“Termasuk berdiskusi dengan K/L menyelesaikan isu ini. Ini harus dibingkai dikurung dikawal dari berbagai aspek. Keluarga korban juga kita bantu dipulihkan, kami koordinasikan terus dengan APH. Kami melakukan rujukan akhir mendampingi perempuan dan anak,” jelas Ratna.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Intan Umbari Prihatin