tirto.id - Hayo, siapa di antara kamu yang merasa terhanyut dalam hustle culture?
Sekian waktu belakangan, fenomena ini menjadi tren yang diadaptasi di berbagai belahan dunia, terutama oleh angkatan muda seperti Milenial atau Gen Z.
Sesuai namanya, budaya ini lahir untuk mengimbangi perkembangan dunia yang serba cepat—mengutamakan kerja keras di atas segalanya.
Betul, hustle culture memosisikan pekerjaan sebagai pusat kehidupan. Kamu yang memiliki jam kerja panjang—from nine to five—dan lanjut lembur atau punya beberapa pekerjaan sampingan, biasanya bakal dipuji orang-orang di sekitarmu, bukan?
Sementara itu, waktu beristirahat dipandang sebagai kemalasan. Memilih untuk tidak bekerja atau mengurangi pekerjaan dianggap tidak realistis. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang tidak dapat mengikuti ritme cepat? Ya, mereka otomatis dianggap gagal.
Di kalangan perempuan, ukuran sukses dalam kerja keras biasanya ditunjukkan apabila kamu berhasil memiliki semuanya. Perempuan yang berhasil mencapai taraf itu bahkan punya sebutan tersendiri: girl boss.
Memang, di satu sisi, hustle culture dapat mendorongmu agar lebih produktif dan mencapai tujuan sesuai target. Ada juga orang yang meraih kesuksesan dalam wujud jabatan lebih tinggi atau kestabilan finansial.
Meski begitu, ibarat dua sisi koin, budaya hiruk pikuk juga punya sisi kelam yang harus dibayar dengan harga mahal.
Tak bisa dimungkiri, hustle culture hampir selalu bikin capek karena tekanan terus-menerus untuk bekerja keras dan mencapai banyak hal—yang tentu tidak akan ada habisnya jika dikejar semua.
Dampaknya? Apalagi jika bukan risiko pada kesehatan mental dan fisikmu. Misalnya, kamu jadi abai terhadap diri sendiri dan relasi personal demi pekerjaan. Bukan tidak mungkin juga kamu sampai mengalami gangguan kecemasan dan stres karena berbagai tekanan.
Salah satu buktinya, survei Deloitte terhadap 1.000 perusahaan yang mempekerjakan pegawai penuh waktu di Amerika Serikat menyebut 77 persen orang mengalami kelelahan saat bekerja.
Perlahan, makin banyak yang sadar dan menolak terjebak dampak buruk itu.
Keengganan terjebak dalam pengejaran tanpa henti ini kemudian bahkan melahirkan sebuah tren baru di kalangan generasi muda: soft life.
Tren tersebut semakin populer ketika media sosial seperti TikTok ikut menyebarkannya lewat tagar #softlife atau #softlifeera.
Kebalikan dengan hustle culture, soft life alias hidup lebih lembut adalah soal bagaimana kamu bisa menjauhi stres dan menjalani kehidupan yang lebih mudah, termasuk merayakan hal-hal dalam hidup yang mendatangkan kegembiraan.
Beberapa unggahan di TikTok mendeskripsikan soft life sebagai aktivitas menikmati tempo hidup pelanalias tidak terburu-buru.
Contohnya mungkin terdengar sepele, seperti aktivitas menyiapkan sarapan yang cenderung sering terlewatkan apabila jadwalmu sibuk, mencoba hobi-hobi baru, atau menikmati sore di tepi pantai bersama teman.
Di balik itu semua, kehidupan soft life bukan hanya seperti yang digambarkan warganet. Sesungguhnya, realitas soft life jauh lebih dalam dari gambaran tersebut.
“Soft life adalah menjalani hidup sesuai keinginanmu. Termasuk menciptakan karier atau bisnis yang kamu inginkan, merawat diri secara holistik, yang semuanya dimulai dengan adanya mindset soal itu dan mengetahui bahwa kamu layak menjalani kehidupan yang lebih lembut," terang Chlöe Pierre, pendiri platform thy.self dan penulis buku Take Care: The Black Women’s Guide To Wellness (2023)sebagaimana dikutip dari The Independent.
Bagi Dr Evelyn Okpanachi, penulis The Emotionally Empowered Woman (2023), masuk akal jika sekarang semakin banyak orang yang condong ke arah tren ini.
“Secara kolektif, kita masih lelah. Kita pernah mengalami era Covid, dengan berbagai masa penghematan dan masih banyak lagi. Kita hanya ingin hidup lega. Inilah sebabnya kita lebih condong ke arah itu [soft life] saat ini. Secara kolektif, kita jadi bisa bernapas lega,” kata Okpanachi.
Sayangnya, ada kekhawatiran tersendiri ketika generasi muda, khususnya perempuan, mengadopsi tren soft life.
Vanessa Scaringi, PhD, psikolog berlisensi di Austin, Texas yang fokus pada isu-isu perempuan, dalam tulisannya di Timemenyampaikan, praktik soft life malah dapat membatasi peran perempuan.
Scaringi khawatir, keinginan untuk hidup minim stres ini membuat semakin banyak perempuan yang akhirnya cukup puas tinggal di rumah dan membatasi perannya di ranah tradisional seperti mengurus rumah, pasangan, dan keluarga.
Bukan maksud Scaringi untuk menghakimi benar salahnya pilihan perempuan untuk berkiprah di rumah tangga, namun ia khawatir bahwa pada satu titik perempuan jadi semakin tergantung pada pasangannya yang bekerja.
Selain itu, Scaringi menyoroti bagaimana tren soft life dapat berdampak pada kesehatan mental perempuan.
"Hal ini terkait dengan fantasi gender yang dijual dari gaya hidup soft life—bahwa hidup harus cantik, mudah, dan hidup akan terasa lebih baik apabila kita dapat fokus pada apa yang bikin bahagia," tulis Scaringi.
Di satu sisi, kenyataan hidup tentu tak semudah itu. Kesan kemudahan yang dicitrakan dalam slow life justru berpotensi membuat perempuan muda kesulitan menoleransi pengalaman sulit dalam hidup.
Bukan tidak mungkin, mereka jadi sering kali menolak kehidupan yang didefinisikan sebagai kerja yang keras.
Terlepas dari itu semua, dalam konteks profesional, menjalani kehidupan yang lembut bukan berarti tidak memiliki pekerjaan, melainkan menempatkan pekerjaan bukan sebagai pusat kehidupanmu.
Soft life juga bukan gerakan anti-pekerjaan, melainkan gaya hidup yang bertujuan untuk menetapkan batasan yang kamu perlukan sehingga kamu dapat menikmati lebih banyak kegembiraan dalam hidup.
"Pada dasarnya soft life tentang menciptakan gaya hidup dengan stres minimal dan menetapkan batasan, itu adalah kuncinya. Menerima hal-hal yang bermanfaat bagimu dan melepaskan atau menghilangkan hal-hal yang tidak bermanfaat," kata Okpanachi.
Apabila dikaitkan dengan pekerjaan, menjalani soft life bisa diartikan sebagai keputusan untuk berhenti dari pekerjaan yang toxic atau memilih pekerjaan yang benar-benar kamu sukai.
Tren ini pada akhirnya juga berpengaruh pada bagaimana cara generasi muda bekerja: memilih pekerjaan yang tidak menimbulkan stres, jarak jauh, gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok, dan tentunya memprioritaskan kesehatan.
Pilihan untuk menjalani gaya hidup tertentu tentunya kembali pada keputusanmu sendiri.
Yang perlu diingat, memberikan prioritas untuk merawat diri sendiri adalah suatu keharusan—bukan hal yang egois. Itu adalah fondasi kesehatan dan kesejahteraanmu.
Pandangan dari Donna Noble, guru yoga dan penulis buku Teaching Body Positive Yoga: A Guide To Inclusiveivity, Language And Props (2022), mungkin dapat menginspirasi.
Noble bilang begini, "Aku percaya, istirahat dan melakukan perawatan diri adalah bagian dari hak asasi kita. Singkirkan rasa bersalah akan itu. Biasakan mengambil jeda karena itu bisa menjadi hal paling ampuh yang kita lakukan di zaman seperti sekarang ini."
Kamu setuju?