tirto.id - Sebelas entitas di bawah naungan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyepakati bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang paling tersebar luas di penjuru dunia. Mereka menyebut satu dari tiga perempuan pernah mengalami kekerasan berbasis gender; kemudian hanya kurang dari 40 persen korban pernah berusaha mencari pertolongan.
Pernyataan di atas disampaikan menjelang Hari Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Internasional 25 November lalu, sekaligus momen yang membuka Kampanye 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKtP). Gerakan yang diinisiasi oleh Sekretaris Jenderal PBB dan UN Women ini berakhir 10 Desember nanti, bertepatan dengan Hari HAM Internasional atau peringatan diadopsinya Deklarasi Universal HAM oleh Majelis PBB.
Peringatan ini dimulai sejak 2008 lalu. Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran semua pihak, dari mulai pemerintah, masyarakat, lembaga, sampai media tentang kekerasan pada perempuan dan ajakan untuk mengatasi serta membasminya.
Di Indonesia, momentum ini dimanfaatkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) untuk menyorot wujud paling ekstrem dari kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan: femisida. Femisida dapat didefinisikan secara sederhana sebagai pembunuhan terhadap perempuan karena mereka perempuan. Dalam pengertian paling sempit, femisida cenderung dilakukan oleh pihak dari lingkaran terdekat korban, yaitu pasangan intim atau keluarga.
Komnas Perempuan berusaha mengembangkan pengetahuan tentang femisida selama dua tahun terakhir. Temuan terbaru mereka, laporan bertajuk Lenyap dalam Senyap: Korban Femisida & Keluarganya Berhak atas Keadilan(2022), dirilis bertepatan dengan Kampanye 16 Hari. Isinya mengupas seluk-beluk femisida, termasuk studi literatur tentang hukum di berbagai negara dan rekomendasi kebijakannya untuk Indonesia. Juga ada pembahasan tentang pemulihan keluarga korban dan pendataan kasusnya di Indonesia.
Ada hal-hal spesifik yang melatarbelakangi tindakan pelaku femisida. Sebagaimana dijelaskan dalam dokumen Komnas Perempuan, femisida didorong oleh superioritas (perasaan lebih unggul), dominasi, hegemoni, agresi, misogini (anggapan bahwa perempuan pantas ditindas), rasa memiliki atau posesif, ketimpangan relasi kuasa, sampai kepuasan sadistik.
Latar belakang tersebut pada dasarnya adalah tentang langgengnya dominasi patriarki. Itulah yang membuat femisida berbeda dari pembunuhan biasa.
Karena kekhasan itu pula muncul desakan agar ada kebijakan khusus untuk pencegahan dan penanganannya. Dengan kata lain, diberikan perlakuan khusus yang tidak sekadar mendompleng pada gerakan yang sudah ada selama ini, misalnya upaya penegakan kesetaraan gender dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Sampai saat ini undang-undang di Indonesia juga belum mengenal tindak pidana femisida. Artinya, femisida masih masuk dalam keranjang pembunuhan pada umumnya. Sejauh ini, menurut pengamatan Komnas Perempuan, produk hukum yang dipakai pada kasus-kasus femisida adalah UU PKDRT (Undang Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga) dan KUHP Pasal 338 atau Pasal 340 tentang pembunuhan disengaja atau pembunuhan berencana. Tak satu pun produk hukum tersebut menyinggung istilah femisida.
Femisida di Indonesia
Femisida memang bukan istilah yang familier di telinga kebanyakan masyarakat Indonesia. Kendati demikian, dalam beberapa tahun belakangan, persisnya semenjak berita semakin mudah diakses secara daring, nyaris setiap bulan kita rutin disuguhkan dengan kabar mencengangkan tentang pembunuhan perempuan oleh suami, kekasih, atau bahkan sebatas “teman tapi mesra”.
Di balik kasusnya yang tragis, motif femisida oleh pasangan acapkali terdengar absurd—jika bukan konyol—yang mustahil dipisahkan dari ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan. Mari kita ambil beberapa contoh kasus yang terjadi beberapa tahun terakhir.
Pada Oktober, di Boyolali, Jawa Tengah, seorang suami menganiaya istrinya sampai meninggal dunia semata karena tidak diberikan uang. Dua bulan lalu, terbakar sakit hati dan cemburu, suami membunuh istri yang dicurigai berselingkuh. Di Pemalang, Jawa Tengah, seorang laki-laki menusuk istrinya hingga meninggal gara-gara istri suka bermain media sosial.
Daftar kasus masih panjang. Awal tahun ini, di Semarang, seorang laki-laki membunuh istri karena kesal kerap disuruh bekerja. Tahun 2020, seorang istri tewas di tangan suami karena tidak segera bangun saat disuruh memasak untuk sahur. Pada 2019, laki-laki di Kebon Jeruk, Jakarta, membunuh istri yang kedapatan memasang status “janda” di akun Facebook. Tiga tahun sebelumnya, 2016, seorang tukang ojek membunuh istrinya karena selalu cerewet dalam perkara ekonomi.
Tak jarang pula femisida dialami perempuan yang sedang mengandung. Sebulan yang lalu, seorang laki-laki mendorong teman perempuannya yang sedang hamil besar ke tebing Pantai Ngrawe, Gunungkidul, Yogyakarta setelah permintaannya menggugurkan kandungan ditolak.
Pada Maret silam, remaja perempuan di Tegal dibunuh oleh pacarnya yang keberatan dimintai pertanggungjawaban untuk menikah setelah menghamili. Kasus dengan alasan serupa terjadi Sampang, Madura, tahun lalu. Masih pada tahun lalu, seorang remaja laki-laki di Semarang membunuh kekasihnya yang sedang hamil besar karena kesal suka dimintai tolong untuk mengambilkan barang-barang saat sedang asyik bermain gim di gawai.
Kategori femisida sebenarnya cukup luas meski banyak berita mewartakan yang terkait dengan pasangan intim. Menurut Komnas Perempuan, setidaknya terdapat sembilan latar belakang atau konteks femisida. Ada pula kategori seperti femisida dalam konteks budaya (pembunuhan perempuan atas nama kehormatan keluarga, terkait mahar atau mas kawin), konteks industri seks komersial (misalnya perempuan pekerja seks yang dibunuh oleh klien karena perselisihan biaya), sampai femisida oleh aktor negara maupun aktor non-negara terhadap perempuan pembela HAM.
Femisida yang dilakukan oleh pasangan intim cenderung mendapat perhatian khusus karena dipandang paling berpotensi terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam laporan Lenyap dalam Senyap, Komnas Perempuan mendapati antara 2016 sampai 2020, terdapat 421 kasus pembunuhan terhadap perempuan. Sebanyak 42,3 persen dilakukan oleh suami, sementara 19,2 persen oleh pacar.
Data yang diolah pada 2021 di atas baru berdasarkan pemantauan media daring. Artinya, mungkin jumlah sebenarnya lebih besar.
Komnas Perempuan kembali melakukan pemantauan media daring selama setahun belakangan. Hasilnya, sejak Juni 2021 sampai Juni 2022, terdapat 307 kasus pembunuhan perempuan. Sekitar 27 persen atau 84 kasus dilakukan oleh suami atau mantan pasangan. Dari total femisida di tangan pasangan intim tersebut, sebanyak 73 kasus atau nyaris 87 persen terjadi di ruang privat atau tempat tinggal korban, termasuk rumah.
Motif pembunuhan kebanyakan berkaitan dengan kecemburuan (yang biasanya dilandasi oleh rasa posesif), ketersinggungan maskulinitas, keinginan korban untuk berpisah, dan kekesalan pelaku terhadap korban.
Gambaran Femisida di Dunia
Femisida oleh pasangan intim juga menjadi perhatian UN Office on Drugs and Crime (UNODC) dan UN Women. Masih dalam rangka menyambut Kampanye 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, akhir November kemarin mereka merilis laporan berisi statistik terbaru tentang femisida.
Laporan tersebut menyebutkan bahwa sepanjang 2021 diperkirakan sampai 81.100 perempuan meninggal dunia karena dibunuh. Lebih dari separuhnya, sekitar 56 persen atau 45 ribu perempuan, dibunuh oleh pasangan intim (meliputi suami, partner, termasuk mantan) atau anggota keluarga lain.
Artinya, setiap satu jam terdapat lebih dari lima perempuan yang menjadi korban femisida oleh seseorang dari lingkaran keluarga atau di ranah privat.
Meski gawat, sayangnya usaha-usaha intervensi atau pencegahan tindakan kekerasan dan perlindungan perempuan selama ini belum maksimal. Terbukti dengan angka kematian perempuan di tangan pasangan atau keluarganya tidak terlalu banyak berubah dari tahun ke tahun, menurut PBB.
Memang mayoritas korban kejahatan pembunuhan di dunia, sebanyak 81 persen, berjenis kelamin laki-laki. Akan tetapi sangat tidak berimbang jika disandingkan dengan korban femisida di ranah privat. Hanya 11 persen korban laki-laki yang dibunuh oleh pasangan intim atau orang-orang terdekat di lingkup keluarganya. Singkat kata, kaum perempuan jauh lebih berisiko kehilangan nyawa di dalam rumah atau di lingkungan yang justru familier dan dianggap aman.
Jumlah perempuan yang dibunuh pasangan intim atau keluarga paling banyak ditemui di kawasan Asia (17.800 perempuan), diikuti Afrika (17.200), Amerika (7.500), Eropa (2.500) dan Oceania (300). Sementara tingkat kematian per populasi tertinggi terdapat di Afrika (2,5 korban jiwa per 100 ribu perempuan), jauh di atas kawasan Amerika (1,4) dan Asia (0,8).
Data kasus femisida yang tampak tinggi di atas belum tentu menggambarkan kenyataan. Sebabnya, tidak semua negara anggota PBB memiliki data pembunuhan yang dilengkapi dengan informasi tentang relasi korban dan pelaku, atau data kontekstual lain untuk mempermudah pengelompokan.
Sebanyak 50 persen data korban pembunuhan tahun lalu, baik laki-laki dan perempuan, tidak dilengkapi dengan informasi kontekstual. Empat dari sepuluh kasus pembunuhan yang korbannya perempuan bahkan tidak bisa diidentifikasi termasuk femisida atau bukan.
Dalam rangka mengatasi hambatan tersebut, beberapa bulan silam UNODC dan UN Women mengeluarkan dokumen tentang kerangka kerja statistik. Isinya di antaranya identifikasi tipologi (pengelompokan) ragam kasus pembunuhan perempuan termasuk variabel-variabel untuk menentukannya.
Seiring itu, dalam Kampanye 16 Hari kali ini, Sekjen PBB Antonio Guterres juga menyerukan agar dalam empat tahun ke depan pemerintah di berbagai belahan dunia meningkatkan anggaran 50 persen lebih banyak untuk lembaga perempuan dan berbagai gerakan advokat hak-hak perempuan. Dua kelompok ini kerap menjadi garda terdepan dalam mencegah aksi kekerasan terhadap perempuan dan mendampingi para penyintas menjalani pemulihan.
Editor: Rio Apinino