tirto.id - Pakar Hukum Pidana dari Universitas Parahyangan, Dr. Niken Savitri menyebutkan bahwa femisida atau pembunuhan terhadap perempuan akibat ketimpangan relasi kuasa, dapat menjadi unsur pemberat perkara pidana pembunuhan terhadap perempuan.
Ada dua jalur yang dapat ditempuh supaya femisida dapat menjadi unsur pemberat bagi pelaku.
"Yang pertama kalau faktor pemberat pidana itu diatur dalam undang-undang. Yang kedua kalau keadaan-keadaan memberatkan yang penilaiannya merupakan kewenangan pengadilan," kata Niken dalam forum peluncuran hasil penelitian terkait femisida, Senin, 28 November 2022.
Dari dua kemungkinan tersebut, Niken mengatakan bahwa pada opsi pertama yaitu memasukkan femisida sebagai pemberat dalam undang-undang akan mengalami kesulitan pembuktian. Pasalnya, ada 2 hal yang harus dibuktikan, bukan saja motifnya adalah kebencian, tapi juga kebencian itu didasarkan pada hal-hal tertentu (dalam hal ini adalah perbedaan gender).
"Yang satu harus menyebabkan yang lain, nah ini bukan hal yang mudah," ujar Niken.
Untuk itu, pertimbangan hakim saat memutus perkara masih menjadi tumpuan harapan untuk memasukkan unsur femisida sebagai pemberat hukuman bagi pelaku.
"Apabila ada satu saja putusan Mahkamah Agung yang menyertakan hal ini sebagai hal yang memberatkan, maka saya sangat optimistis ini akan menjadi sebuah yurisprudensi yang bisa diikut oleh hakim-hakim selanjutnya," kata Niken.
Untuk itu, diperlukan pertimbangan luas hakim dalam memutus perkara termasuk juga melihat perkara dalam perspektif gender.
Diketahui, dalam forum ini, Komnas Perempuan merumuskan definisi femisida sebagai berikut: pembunuhan terhadap perempuan secara langsung ataupun tidak langsung karena jenis kelamin atau gendernya yang didorong oleh superioritas, dominasi, hegemoni, agresi maupun misogini terhadap perempuan serta rasa memiliki perempuan, ketimpangan relasi kuasa dan kepuasan sadistik.
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Maya Saputri