tirto.id - Kasus kekerasan terhadap perempuan masih marak terjadi. Di Jawa Tengah, jumlah kasusnya mengalami peningkatan dibandingkan dengan kasus pada tahun sebelumnya.
Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM)--organisasi yang memperjuangkan hak-hak perempuan--mencatat sepanjang 2024 ada 102 kasus kekerasan perempuan.
"Kami mencatat ada 102 kasus kekerasan dengan 102 perempuan menjadi korban kekerasan," ujar Direktur LRC-KJHAM, Nur Laila Hafidhoh, di Soegijapranata Catholic University (SCU) Semarang, Selasa (10/12/2024).
Padahal, pada 2023, organisasi tersebut hanya mencatat 93 kasus kekerasan perempuan. Menurut Nur Laila yang akrab disapa Yaya, kasus kekerasan wajar mengalami naik-turun.
Yaya melanjutkan, untuk 102 kasus kekerasan pada 2024 tersebar di 24 kabupaten/kota di Jawa Tengah. Kasus terbanyak ditemukan di Kota Semarang, disusul Kabupaten Demak, dan Kota Surakarta.
Di lihat dari jenis kasusnya didominasi kekerasan seksual. "Ada 84 kasus atau 81 persennya adalah kekerasan seksual," imbuhnya.
Yaya merinci, sebanyak 40 kasus merupakan pelecehan seksual, 19 kasus perkosaan, 16 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KdRT), 14 kasus eksploitasi seksual.
Kemudian, 6 kasus kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE), 3 kasus pelecehan seksual non fisik, 2 kasus kekerasan dalam pacaran, 2 kasus pemaksaan aborsi, dan 1 kasus kekerasan berbasis SOGIESC.
Yaya mengaku miris mengetahui fakta pelaku kekerasan ternyata mayoritas merupakan orang-orang yang dekat dan dikenal oleh korban.
Kasus terbanyak adalah relasi pacar dan suami. Ada juga relasi tetangga, rekan kerja, teman, ayah tiri, kenalan, ayah kandung, kakek, paman, kakak tiri, atasan di tempat kerja, saudara ipar, ayah dari teman.
Bahkan, kata Yaya, pelaku kekerasan ada yang merupakan kiai dan dosen.
Prihatin Kasus Femisida
LRC-KJHAM menyoroti adanya kasus femisida atau pembunuhan terhadap perempuan. "Ada 5 kasus femisida yang terjadi di Jawa Tengah pada 2024," papar Yaya.
Dia menjelaskan, ada korban femisida yang dibunuh di indekosnya oleh orang yang tidak diketahui. Lalu korban femisida yang diduga perempuan pekerja seks dibunuh pelanggannya.
Ada juga korban femisida yang dibunuh di indekosnya oleh teman yang dikenal melalui aplikasi kencan; korban femisida dibunuh dan diperkosa oleh teman yang dikenal melalui aplikasi kencan; dan korban femisida yang ditemukan dalam plastik karena dibunuh tiga pelaku.
Dalam forum yang sama, Dekan Fakultas Hukum dan Komunikasi (FHK) Soegijapranata Catholic University, Marcella Elwina Simandjuntak, mengatakan, tidak semua kasus pembunuhan perempuan bisa disebut femisida.
Dia mengatakan, femisida spesifik merujuk pada istilah pembunuhan yang dilandasi kebencian terhadap perempuan. Menurutnya, motif pembunuhan tersebut harus digali sebelum memutuskan menyebut femisida.
"Memang kalau menurut saya, secara hukum harus dibuktikan apakah kebencian itu karena korban perempuan," ujarnya saat mengikuti rangkaian acara Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) yang digelar LRC-KJHAM dan SCU, Selasa (10/12/2024).
Meskipun begitu, Yaya memandang bahwa banyak kasus femisida yang pembuktiannya sulit lantaran korban sudah meninggal. Sehingga, menurutnya, femisida bisa dilihat dari faktor yang melatarbelakangi pembunuhan.
Kata dia, femisida bisa disebabkan karena timpangnya relasi kuasa antara korban dan pelaku. Dalam hal ini, perempuan selaku korban tidak mempunyai daya untuk melawan pelaku.
"Kalau kita melihat konsep kekerasan terhadap perempuan itu, kan, relasi kuasanya timpang. Apalagi misal ditemukan bukti-bukti korban mengalami kekerasan seksual sebelumnya," imbuhnya.
Penggunaan istilah femisida di Indonesia masih terbilang baru. Namun, di kancah global, femisida merupakan istilah lama.
Istilah femisida pertama kali digunakan oleh Diana Russel pada International Tribunal on Crimes Against Women (1976) dan menempatkannya sebagai "pembunuhan misoginis terhadap perempuan oleh laki-laki".
PBB mendefinisikan femisida sebagai pembunuhan terhadap perempuan karena ia perempuan. Sementara bentuknya bermacam-macam.
Komnas Perempuan pada 2020 silam menyebut, femisida merupakan bentuk paling ekstrem dari kekerasan terhadap perempuan serta manifestasi dari diskriminasi terhadap perempuan dan ketidaksetaraan gender.
Penulis: Baihaqi Annizar
Editor: Anggun P Situmorang