tirto.id - Peringatan sebelum membaca: Terdapat deskripsi kasus kejahatan seksual oleh laki-laki terhadap perempuan.
Femisida bukan kasus pembunuhan biasa.
Menurut definisi Komnas Perempuan, femisida adalah aksi pembunuhan terhadap perempuan yang melibatkan ketidaksetaraan gender, ketimpangan relasi kuasa, superioritas, dominasi, hegemosi, agresi, maupun misogini.
“Femisida menjadi bentuk kekerasan gender yang paling ekstrem yang belum dikenali dengan baik dan masih minim didokumentasikan dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan.”
Demikian dijelaskan oleh Olivia Chadidjah Salampessy, Wakil Ketua Komnas Perempuan dalam temu media bertajuk “Femisida di Indonesia bukan Pembunuhan Biasa” pada Selasa (3/12/2024).
Dalam diskusi yang digelar dalam rangka 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16HAKTP), Komnas Perempuan menyoroti bagaimana istilah femisida masih belum lazim digunakan untuk mendeskripsikan kasus pembunuhan terhadap perempuan.
Acap kali, kejahatan berbasis gender yang berakhir pada hilangnya nyawa perempuan ini hanya diidentifikasi sebagai kasus pembunuhan biasa.
“Dimensi kekerasan berbasis gender tidak digali secara mendalam sehingga motif 'karena ia perempuan', pola kasus, potensi femisida akibat eskalasi, dan terus berulangnya kekerasan, serta dampaknya pada keluarga korban luput dan terabaikan,” ujar Olivia.
Padahal, angka perempuan yang dibunuh oleh pasangannya atau femisida intim kian memprihatinkan.
Sepanjang tahun 2023, Komunitas Jakarta Feminist menemukan sebanyak 180 kasus femisida di 38 provinsi di Indonesia, dengan total korban 187 orang dan 197 pelaku.
Temuan ini didapat melalui penelusuran media daring dengan menggunakan kata kunci “pembunuhan perempuan/ wanita / transpuan/ waria”, “perempuan/ wanita/ transpuan/ waria dibunuh”, dan “perempuan/ wanita/ transpuan/ waria tewas”.
Dari jumlah tersebut, 145 kasus femisida terjadi pada korban cis-puan (gender perempuan yang berjenis kelamin perempuan), 6 kasus dari korban transpuan, 12 kasus pembunuhan anak perempuan, dan 17 korban perempuan yang belum teridentifikasi sebagai femisida karena minimnya informasi dalam pemberitaan.
Pelaku femisida itu sendiri dilaporkan 94 persennya berjenis kelamin laki-laki.
Nur Khofifah selaku Project Officer dari Jakarta Feminist menjelaskan bahwa perbedaan antara femisida dan pembunuhan biasa dapat terlihat pada pola dominasi dan relasi kuasa dalam laporan kasus pembunuhan perempuan yang dibahas secara mendalam di berbagai media.
“49 persen [peristiwa femisida] terjadi di dalam rumah korban. Perempuan, transpuan, anak memiliki kerentanan yang cukup tinggi,” ujarnya.
Sebagian besar korban memiliki hubungan dekat dengan pelaku. Sebanyak 37 persen di antaranya adalah istri, pacar, pasangan selingkuh, kekasih gelap, mantan pacar, atau teman kencan.
Sebesar 13 persen korban memiliki hubungan keluarga dengan pelaku, sedangkan 25 persen lainnya termasuk teman, tetangga, pekerja seks, rekan kerja, pelajar, dan sebagainya.
"Dua puluh enam persen motif pembunuhan dari kasus pembunuhan ini terjadi karena masalah komunikasi,” kata dia.
Temuan Jakarta Feminist sejalan dengan data kasus femisida yang dicatat oleh Komnas Perempuan.
“Pantauan tiap tahun menempatkan femisida intim sebagai jenis femisida yang tertinggi,” kata Olivia.
Berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan, terdapat 95 kasus femisida pada 2020, 237 kasus pada 2021, 307 kasus pada 2022, dan tahun lalu ditemukan 159 kasus femisida intim yang dilakukan oleh suami, mantan suami, pacar, dan atau mantan pacar.
Pemberitaan Media Masih Belum Sensitif terhadap Kasus Femisida
Kendati demikian, publik masih juga belum familier dengan istilah femisida.
Sebagian media juga cenderung enggan menggali dimensi pemberitaan kasus pembunuhan perempuan secara mendalam untuk menemukan pola kriminalitas, mencegah potensi kekerasan berulang, dan mengadvokasi keadilan bagi korban femisida dan keluarganya.
“Media-media online belum [banyak] menggunakan term femisida sehingga kami cukup kesulitan menghimpun data-data dari media online,” jelas Nur Khofifah.
Hasil temuan Jakarta Feminist menyebutkan bahwa terdapat tiga provinsi yang luput dari temuan data femisida yang diwartakan media pada tahun 2023, yaitu pada Provinsi Gorontalo, Papua Selatan, dan Sulawesi Tenggara.
Menurut Khofifah, kekurangan data ini menjadi catatan bagi media yang masih belum terang-terangan dalam memberitakan kasus pembunuhan perempuan—yang seharusnya termasuk ke dalam kasus femisida—dan hanya mengelompokkannya sebagai peristiwa pembunuhan biasa.
Selain itu, Nur Jannah dari Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) menyebut bahwa media cenderung memberitakan kasus-kasus femisida dengan mengutamakan kepentingan media, seperti menggunakan clickbait alih-alih fokus pada perspektif korban dalam pemberitaannya.
Hal tersebut dibuktikan oleh hasil monitoring oleh Jakarta Feminist.
Temuan mereka mengungkapkan, hanya 13 persen media arus utama yang cukup baik dalam mendokumentasikan kasus femisida setahun belakangan.
Dari temuan yang sama, terungkap sebanyak 39 persen berita tidak melindungi privasi korban, 19 persennya menggunakan bahasa yang hiperbolis, dan 4 persen lainnya menggunakan framing atau kerangka pemberitaan yang cenderung memojokkan korban femisida.
“Kebanyakan media tidak melindungi privasi korban, memberikan framing berita yang memojokkan korban, dan membawa bahasa-bahasa hiperbolis,” ujar Khofifah.
Rara Ayu selaku Direktur dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK yang mendampingi sejumlah kasus kekerasan berbasis gender juga menyoroti kurangnya sensitivitas media dalam melindungi identitas korban.
“Berita sering kali menyebutkan identitas korban seperti nama dan alamat tinggalnya secara jelas sehingga beresiko dengan keamanan dari keluarga korban,” kata Ayu.
Tak hanya itu, media juga sering menggunakan aspek-aspek pada diri korban yang tidak relevan dan mengobjektifikasi perempuan, seperti menyematkan kata cantik, seksi, bohay, dan sebagainya
Pelaku Belum Mendapatkan Hukuman Setimpal
Di sisi lain, kebijakan dan sistem penegakan hukum di Indonesia juga belum meregulasi femisida sebagai kejahatan luar biasa.
"Pendataan terpilah pembunuhan berbasis gender di Mahkamah Agung, Bareskrim, dan BPS belum tersedia. Data pembunuhan laki-laki dan perempuan masih tercampur dan dikenali sebagai kasus pembunuhan pada umumnya,” jelas Rainy Hutabarat, Komisioner Komnas Perempuan.
Kondisi ini mengakibitkan proses penegakkan hukum terhadap pelaku femisida jadi terhambat.
Menurut data temuan Jakarta Feminist, hanya 38 persen pelaku femisida yang mendapat jeratan hukum berdasarkan penelusuran pemberitaan media daring, sedangkan 61 persen pemberitaan tidak menyebutkan ancaman dan putusan hukum yang diterima pelaku.
“Di tahun 2023, kami menemukan satu kasus dimana pelaku divonis bebas oleh pengadilan,” jelas Khofifah.
Selain itu, Jakarta Feminist juga menyoroti lemahnya implementasi Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual pada proses pengadilan kasus femisida.
“Kami tidak menemukan undang-undang TPKS digunakan dalam menjerat pelaku, ini sangat disayangkan,” lanjut Khofifah.
Seperti yang terjadi pada kasus AA, seorang anak berusia 13 tahun yang diperkosa berkelompok (gang rape) oleh 3 orang pelaku.
AA kemudian dibunuh dan jenazahnya dibuang ke TPU Palembang dengan keadaan tanpa busana.
Setelah tertangkap, pelaku hanya dijerat dengan pasal perlindungan anak, yakni pasal 76 C dan 80 ayat (3) UU No.35 tahun 2014.
Sementara itu, tindak pemerkosaan yang mereka lakukan tidak diproses secara hukum.
“Ini menandakan bahwa negara tidak melindungi hak-hak korban dengan tidak menganggap pemerkosaan itu pernah terjadi padanya," ujar Rara Ayu.
Oleh karena itu, Komnas Perempuan mengajak media untuk berperan aktif dalam mengadvokasi kasus-kasus femisida, sehingga keadilan bagi para korban dan keluarganya dapat terwujud.
Selain itu, media diharapkan turut membantu meningkatkan pemahaman yang lebih luas mengenai isu femisida di Indonesia, terutama dari sudut pandang perempuan dan Hak Asasi Manusia.
“Dengan upaya kolektif dan sinergi antara masyarakat sipil, pemerintah, dan media, kita dapat menciptakan perubahan nyata untuk masa depan yang lebih aman dan adil bagi perempuan di Indonesia,” pungkas Olivia.
Penulis: Yolanda Florencia Herawati
Editor: Sekar Kinasih