Menuju konten utama

Femisida dalam Kasus Anak Anggota DPR yang Menganiaya Kekasihnya

Kasus pembunuhan yang dilakukan Ronald Tannur terhadap Dini Sera Afrianti dinilai masuk dalam kategori femisida.

Femisida dalam Kasus Anak Anggota DPR yang Menganiaya Kekasihnya
Polisi menghadirkan tersangka R (tengah) yang merupakan putra seorang anggota DPR RI saat rekonstruksi kasus penganiayaan di parkiran bawah tanah Lenmarc Mall, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (10/10/2023). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/Spt.

tirto.id - Gregorius Ronald Tannur (31) dengan keji menganiaya kekasihnya, Dini Sera Afrianti (28), hingga menyebabkan korban kehilangan nyawa. Ronald merupakan anak dari Edward Tannur, salah satu anggota Fraksi PKB di DPR RI dari Dapil Nusa Tenggara Timur (NTT).

Penganiayaan yang dilakukan oleh Ronald terhadap korban terjadi di tempat karaoke Blackhole KTV Surabaya pada Selasa, 4 Oktober 2023 malam. Ronald disebut memukul kepala korban dengan botol dan menyeretnya dengan mobil hingga sempat terlindas.

Ronald lalu memasukkan korban ke bagasi mobil dan hendak menuju apartemen. Ronald kaget mendapati kondisi korban sudah tak bergerak. Ia bergegas melarikan korban ke Rumah Sakit National Hospital.

Korban meninggal dunia pada Rabu (4/10) pukul 02.32 WIB dini hari. Korban dinyatakan meninggal dunia sekira 30 – 45 menit sebelum sampai di rumah sakit.

Kapolrestabes Surabaya, Kombes Pol Pasma Royce menyebutkan, Ronald dijerat dengan pasal berlapis berdasarkan fakta kejadian dan alat bukti. Pasal yang dikenakan terhadap tersangka ialah Pasal 351 ayat 3 dan Pasal 359 KUHP. Ronald terancam hukuman penjara maksimal 12 tahun.

Perilaku keji yang dilakukan Ronald kepada korban disebut sebagai bentuk femisida. Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan, femisida merupakan pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara sengaja karena jenis kelamin atau jendernya.

Pembunuhan tersebut bisa didorong oleh rasa cemburu, memiliki, superioritas, dominasi, dan kepuasan sadistik terhadap perempuan. Komnas Perempuan juga mengkategorikan femisida sebagai sadisme, baik dari motif pembunuhannya, pola-pola pembunuhannya maupun berbagai dampak terhadap keluarga korban.

Menengok ke belakang, kasus pembunuhan dengan korban perempuan beberapa kali menjadi sorotan. Baik karena motifnya, cara membunuhnya yang keji, atau tersebab dilakukan oleh orang-orang terdekat korban.

Seperti pembunuhan keji yang dilakukan Nando (24), suami yang membunuh istrinya, Mega Sriyani Dewi (24) di rumah kontrakan, Desa Sukadanau, Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Kamis (7/9/2023). Nando nekat menghabisi nyawa sang istri karena sakit hati, lantaran korban disebut kerap memaki tersangka karena kebutuhan ekonomi yang kurang baik.

Kepolisian menyatakan korban meninggal karena kekerasan benda tajam pada leher yang memotong batang tenggorok dan pembuluh nadi leher sisi kiri.

Sempat heboh pula aksi keji Riko Arizka (23) yang tega menghabisi nyawa mantan kekasihnya dengan cara dihantam menggunakan kloset. Kejadian ini terjadi di Pandeglang, Banten pada Februari 2023. Riko dikabarkan sempat cekcok dengan korban sebelum melakukan tindakan kejamnya.

Di awal Januari 2023, juga terjadi kasus yang membuat bulu kuduk bergidik dan menyayat hati. MR (43) nekat membakar mantan istrinya, DW (38) dan SB (39), menggunakan bensin. MR membakar DW dan SB yang saat itu tengah duduk di Jembatan Jalan Jelambar Aladin RT 004 RW 006 Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Kejadian ini membuat SB kehilangan nyawa. Hasil otopsi dokter forensik menyatakan, terdapat pasir dan lumpur di dalam tubuh SB yang menceburkan diri ke sungai ketika badannya terbakar. Sementara DW mengalami luka bakar hingga 60 persen.

Rentetan kasus keji yang mengakibatkan nyawa korban perempuan melayang di atas hanya sedikit contoh dari banyaknya kasus yang belum tentu terekspos media. Dari data Komnas Perempuan yang didapat berdasarkan pengumpulan data melalui pantauan media, dalam rentang waktu September 2020 hingga pertengahan Agustus 2021, diperoleh 421 kasus femisida yang terekspos media.

Kasus-kasus yang terjadi di Indonesia ini terjadi dalam rentang 2016 hingga 2020. Komnas Perempuan menemukan, dari 421 data yang telah terkumpul, 25 kasus di antaranya (5,94%) merupakan kasus yang terjadi pada 2016. Sebanyak 34 kasus (8,08%) merupakan kasus yang didokumentasikan terjadi di 2017. Lalu, sebuah kenaikan hampir tiga kali lipat dibanding tahun sebelumnya terjadi pada 2018, sebanyak 100 kasus femisida (23,75%) berhasil didokumentasikan.

Adapun pada 2019, kasus femisida di Indonesia tercatat sebanyak 167 kasus (39,67%). Pada 2020, sebanyak 95 kasus (22,57%) yang berhasil didokumentasikan oleh berbagai media massa daring.

Kasus Dini Merupakan Femisida

Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati menilai, kasus pembunuhan yang dilakukan Ronald Tannur terhadap Dini Sera Afrianti, masuk dalam kategori femisida. Menurut Mike, hal ini dikarenakan penganiayaan dan pembunuhan tersebut dilakukan karena pelaku merasa pantas melakukan ini pada pacarnya, seorang perempuan.

“Femisida itu, kan, apa ya kekerasan atau perlakuan atau jenis kekejaman yang itu terjadi pada perempuan atau anak yang dikarenakan jenis kelaminnya. Terutama karena mereka perempuan gitu ya jadi perempuan itu dianggap kaum yang wajar menerima kekerasan karena dia perempuan,” kata Mike dihubungi reporter Tirto, Selasa (10/9/2023).

Ia menambahkan, femisida bukan hanya terjadi dalam bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) semata. Namun juga bisa muncul dalam bentuk pemerkosaan dalam rezim militerisme atau pembungkaman aktivis perempuan dengan cara dibunuh.

Menurut Mike, penanganan kasus-kasus femisida masih belum efektif di Indonesia. Hukuman atas pembunuhan berbasis gender terhadap perempuan masih dikelompokkan sebagai pembunuhan umum.

Tindak pidana pembunuhan tersebut diatur dalam Pasal 338 sampai dengan Pasal 350 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 458 sampai dengan Pasal 462 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang KUHP dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) apabila kasus femisida terjadi dalam lingkup rumah tangga. Atau dalam kekerasan seksual bisa mengacu pada UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Masalahnya, kata Mike, perspektif penanganan korban masih cenderung menilai negatif sisi keperempuanan (feminisasi) dari korban.

“Karena ini juga berkaitan dengan perspektif atau bagaimana cara pandang penerap hukum atau penegak hukum dalam mengadili atau dalam memproses kasus-kasus femisida ini,” ujar Mike.

Korban perempuan lebih sering disalahkan atau dicap negatif karena sisi keperempuanannya dinilai menjadi penyebab tindakan kekerasan atau bahkan pembunuhan. “Kita masih punya tantangan nih bahwa aparat penegak hukum kita paham enggak posisi-posisi ini? Atau masih bias enggak terhadap korban?” tegas Mike.

Ia berharap ada audit bagi aparat penegak hukum dan pejabat publik yang masih bias gender dan seksis dalam menangani kasus femisida. Kalau perlu, Mike mengusulkan agar yang terbukti melakukan pelanggaran tersebut diberikan pembinaan dan sanksi.

Mike menjelaskan, femisida didorong oleh adanya perasaan superior, dominasi, maupun misogini terhadap perempuan, rasa memiliki perempuan, dan ketimpangan relasi kuasa.

Hal senada diungkapkan psikolog klinis, Veronica Adesla. Ia menyatakan, tindakan kekerasan atau sewenang-wenang dalam kasus Ronald, identik dengan relasi kuasa yang timpang antara pelaku dengan korban.

Vero menilai, perempuan memang paling sering menjadi korban kekerasan atas ketimpangan relasi kuasa ini. Perempuan masih sering dianggap sebagai ‘milik pribadi’ sehingga bebas diperlakukan seenaknya dan menjadikannya sebagai objek kebencian untuk ditindas ataupun untuk dinikmati.

“Hal ini terkait dengan masih kuatnya ketidaksetaraan gender di mana budaya patriarki di keluarga, komunitas, dan masyarakat menempatkan perempuan lebih rendah dari laki-laki,” terang Vero dihubungi reporter Tirto.

Respons Komnas Perempuan

Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad menyatakan, masyarakat dan aparat penegak hukum masih asing dengan istilah femisida. Hal ini yang membuat kasus-kasus femisida ini diperlakukan sebagai kasus pembunuhan biasa.

Menurut Cak Fuad, sapaan akrabnya, akar terjadinya femisida bisa disebabkan bermacam-macam faktor. Di antaranya akibat faktor cemburu, ketersinggungan maskulinitas, korban ingin berpisah, pelaku kesal dengan korban, faktor ekonomi hingga korban yang tidak mau bangun tidur.

“Ada juga karena stres menganggur, KDRT hingga tewas, gangguan jiwa, masalah rumah tangga, melarang bermain dengan anak, stres merawat korban yang sakit, stres terlilit utang,” ujar Cak Fuad dihubungi reporter Tirto.

Ia berpesan agar mendorong tafsir keagamaan yang moderat terkait relasi rumah tangga dan relasi gender yang setara untuk mencegah kasus femisida terjadi. Selain itu dari sisi hukum, Cak Fuad berharap motif kebencian terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya masuk dalam pasal pembunuhan.

“Perlu mengintegrasikan motif femisida sebagai pertimbangan dalam menjatuhkan pemberatan pidana dalam tindak pidana penghilangan nyawa atau tindak pidana lainnya yang menyebabkan kematian. Pemberatan diperlukan mengingat pembunuhan terjadi sebagai bentuk kekerasan berbasis gender yang paling ekstrem dan berlapis,” tegasnya.

Cak Fuad juga mendorong agar Mahkamah Agung (MA) menerbitkan panduan pendokumentasian kasus pembunuhan berdasarkan pilah gender dan memasukkan isu femisida dan diksi femisida dalam putusan pengadilan.

“Di samping itu, perempuan dan kelompok rentan lainnya yang menjadi korban femisida perlu diperhatikan secara khusus,” tukasnya.

Baca juga artikel terkait RONALD TANNUR atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Hukum
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz