tirto.id - Arogansi aparat keamanan terhadap warga sipil layaknya penyakit akut yang sukar disembuhkan. Sebab, aksi tak terpuji tersebut terus berulang. Teranyar, Kapolsek Komodo, Labuan Bajo, Manggarai Barat, AKP Ivans Djarat memukul seorang sekuriti BRI Unit Nggorang bernama Guido Andre alias Sandi.
Insiden pemukulan yang dilakukan Kapolsek Komodo terhadap korban terjadi di Labuan Bajo pada Rabu pagi (13/9/2023). Insiden bermula ketika satpam menegur pelaku yang masih mengenakan helm saat menggunakan mesin ATM. AKP Ivans lantas merespons dengan menganiaya satpam itu di lokasi dan kantor Polsek Labuan Bajo.
AKP Ivans beralasan teguran satpam itu membuatnya tidak konsentrasi saat memasukkan sandi ATM. Terbaru, kasus itu diselesaikan dengan mekanisme adat setempat untuk berdamai. Mekanisme adat itu dilakukan pada Rabu malam, 13 September 2023. AKP Ivans Drajat bersama beberapa rekannya membawa uang Rp10 juta dan seekor babi.
Menurut penuturan kerabat korban, semula mereka tak ingin kasus itu ditempuh lewat jalur damai. Namun, Kapolsek itu kerap membujuk korban untuk diselesaikan melalui mediasi.
“Sejak kasusnya dilaporkan ke Polres Manggarai Barat, selalu ada upaya dari beberapa polisi dan juga dari Kapolsek sendiri untuk menempuh jalur damai,” kata kerabat korban dikutip dari Floresa.co.
Saat penyerahan denda adat itu, AKP Ivans menyatakan tidak akan mengulangi lagi tindakannya. Pernyataan pelaku tertuang dalam surat pernyataan dan dibacakan di depan keluarga korban. Adapun salah satu syarat perdamaian itu adalah korban mencabut laporannya di Polres Manggarai Barat.
Saat dikonfirmasi reporter Tirto pada Jumat (15/9/2023), Kapolsek Komodo, AKP Ivans mengatakan dirinya nekat memukul sekuriti itu karena gara-gara pin saat berada di mesin ATM. Ivans mengaku sedang banyak pikiran. Sebab, sang ayah dalam keadaan sakit.
“Gara-gara tiga kali salah pin. Namanya juga orang tua lagi kritis di Jawa. Enam bulan koma, udah mendingan, kami enggak mampu bayar rumah sakit,” kata Ivans.
Ivans juga mengaku telah menjalani pemeriksaan di Mapolres Mabar pada Jumat (15/9/2023). Pemeriksaan itu terkait kasus dugaan pemukulan yang dilakukan oleh dirinya.
“Lumayan lama diperiksa. Banyak juga enggak hitung berapa pastinya (jumlah pertanyaan)," ucap Ivans.
Ivans mengaku dirinya dengan korban telah damai. "Sudah mediasi, damai. alhamdulillah," tutup Ivans.
Kapolres Manggarai Barat AKBP Ari Satmoko mengatakan, aksi pemukulan yang dilakukan anak buahnya itu diduga karena adannya kesalahpahaman.
“Yang bersangkutan melakukan pemukulan, mungkin ada kesalahpahaman, ya. Dia, kan, masuk ATM (diminta) untuk buka helm, mungkin karena lagi kalut beliau, (sampai) salah pin, ya dia terpancing emosinya," kata Ari saat dihubungi dari Jakarta.
Perwira menengah Polri itu mengatakan, pihaknya juga telah menerima laporan korban. Namun, kedua belah pihak telah menyelesaikan kasus secara mediasi pada Rabu malam.
“Sudah mediasi. Melalui mekanisme adat sudah disepakati mereka berdamai,” tutur Ari.
Ari berjanji tetap akan memproses hukum atas perbuatan pelaku meskipun kedua belah pihak telah sepakat damai.
“Tinggal proses internal, ya pasti kami tindak, tidak mungkin tidak kami tindak. Sekarang sudah berjalan, korban sudah dimintai keterangan, yang bersangkutan (korban) juga sudah dimintai keterangan," kata Ari.
Sejatinya, kasus penganiayaan Kapolsek Komodo hanya secuil kasus yang dilakukan oleh aparat. Masih di wilayah Timur Indonesia, dua orang warga, TNP (25) dan MR (23) menjadi korban dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh anggota Brimob Batalyon B Pelopor Maumere berinisial M dan T. Kedua korban pun sudah melaporkan kejadian itu Mapolres Sikka.
Dugaan penganiayaan itu terjadi di Jalan nasional Maumere-Larantuka, Desa Namangkewa, Kecamatan Kewapante, Minggu (10/9/2023) malam. Insiden bermula ketika dua terduga pelaku hendak ke Mako Brimob untuk mengikuti apel malam.
Dua hari kemudian, kedua pelaku justru melapor balik kedua korban ke Mapolres Sikka atas dugaan penganiayaan. M dan T melaporkan dugaan penganiayaan yang dialami keduanya saat melerai keributan yang terjadi di jalan nasional Maumere-Larantuka, Desa Namangkewa, Kecamatan Kewapante, Minggu (10/9/2023) malam. Kasus itu kini masih dalam penyelidikan polisi.
Kompolnas Minta Korban Lapor Propam
Komisioner Kompolnas, Poengky Indrati menyarankan, korban atau keluarganya melaporkan ke Propam dan Reskrim untuk dapat ditindaklanjuti dengan pemeriksaan. Menurut Poengky, jika benar korban menjadi sasaran kekerasan berlebihan serta arogansi Kapolsek Komodo Labuan Bajo, maka tindakan tersebut tidak bisa dibiarkan dan harus diusut tuntas sebagai bentuk persamaan di depan hukum atau equality before the law.
“Sekaligus sebagai efek jera bagi pelaku dan lainnya untuk tidak lagi menggunakan kekerasan dan arogansi,” kata Poengky saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (15/9/2023).
Poengky mengatakan, pelaku perlu dinonaktifkan terlebih dulu untuk memudahkan pemeriksaan. Ia mengatakan jika tidak terbukti bersalah, maka Kapolsek Komodo itu dapat dikembalikan lagi ke posisi semula.
“Tetapi jika terbukti bersalah, maka harus diproses hukum," ucap Poengky.
Poengky mengatakan, mereka mendengar kabar bahwa kasus ini diselesaikan melalui keadilan restoratif. “Memang kasus pidananya bisa di-restorative justice, tetapi untuk dugaan pelanggaran kode etik tetap harus diproses, agar tidak sewenang-wenang, perlu ada efek jera," tutur Poengky.
Sementara itu, Kepala Divisi Riset dan Dokumentasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rozy Brilian memandang, kasus ini semakin menegaskan kultur kekerasan makin melekat dalam institusi kepolisian. Rozy sebut, kultur kekerasan itu berelasi dengan tindakan arogansi.
“Kami melihat bahwa Polri saat ini sedang krisis keteladanan. Jadi, memang tidak ada satu keteladanan pimpinan yang coba untuk membenahi ini,” kata Rozy saat dihubungi Tirto, Jumat (15/9/2023).
Dalam catatan KontraS pada periode Juli 2022 hingga Juni 2023, ada 622 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota Polri. 622 peristiwa kekerasan tersebut diwarnai dengan 58 peristiwa. Kemudian, penangkapan sewenang-wenang dengan 46 kasus, dan 13 peristiwa penggunaan gas air mata. Beberapa di antaranya menimbulkan korban seperti yang terjadi di Kanjuruhan, Malang pada Oktober 2022.
Selain memotret peristiwa kekerasan secara umum, sepanjang Juli 2022 hingga Juni 2023, KontraS juga mendokumentasikan 29 peristiwa extrajudicial killing yang menewaskan 41 orang. Kasus-kasus extrajudicial killing tersebut mayoritas diakibatkan oleh penembakan.
Sepanjang Juli 2022-Juni 2023 berbagai peristiwa represi terhadap kebebasan sipil pun masih terjadi. Setidaknya 52 kasus kekerasan terhadap aksi demonstrasi oleh kepolisian. 52 kekerasan terhadap massa aksi tersebut menyebabkan 126 orang luka-luka dan 207 orang ditangkap.
Represi terhadap kebebasan sipil juga secara khusus dialami oleh warga yang mempertahankan ruang hidupnya dari eksploitasi dan eksplorasi sumber daya alam oleh korporasi. Alih-alih bertindak untuk menjaga ketertiban dan keamanan warga, anggota Polri justru menjadi alat membungkam warga yang sedang mempertahankan ruang hidupnya.
Pada akhir 2022, publik juga dikejutkan dengan beberapa peristiwa ‘viral’ yang melibatkan anggota Polri. Selain pembunuhan terhadap Brigadir Yosua Hutabarat yang dilakukan oleh Ferdy Sambo dkk, peristiwa Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang, serta keterlibatan perwira Polri dalam pusaran narkotika yang terungkap pasca penetapan tersangka Teddy Minahasa, membuat kepercayaan publik kepada institusi kepolisian menurun.
Kasus pembunuhan Brigadir Yosua memperlihatkan secara gamblang kultur kekerasan dalam tubuh Polri yang bahkan menelan korban dari kalangan Korps Bhayangkara sendiri. Peristiwa Kanjuruhan ‘mempertontonkan’ betapa penggunaan kekuatan dan senjata secara berlebihan berakhir tragis hingga memakan korban jiwa.
Menurut catatan KontraS, [PDF] pada kasus Teddy Minahasa, kewenangan besar yang dimiliki dalam penanganan tindak pidana narkotika nampaknya dengan mudah disalahgunakan demi meraup keuntungan pribadi. Mekanisme pengawasan yang lemah disertai minimnya akuntabilitas turut menjadi faktor penyumbang terjadinya penyelewengan.
Rozy mengakui, mereka memang melihat adanya komitmen yang baik dari Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, tapi jarak terlalu jauh dengan apa yang diharapkan. Menurut dia, ada keteladanan yang tidak sesuai dari level Polri, Polda hingga Polsek.
KontraS juga melihat Polri mengalami satu krisis pengawasan, baik arogansi itu dilakukan oleh atasan yang seharusnya secara kultural bisa mengurusi bawahannya agar tidak melakukan pelanggaran.
Selian itu, KontraS melihat adanya krisis penegakan hukum. Rozy mengatakan, selama bertahun-tahun KontraS mencatat Polri dirundung buruknya law enforcement. Artinya, jelas dia, ketika seseorang atau anggota melakukan kekerasan, pelanggaran itu sering tidak mendapatkan hukuman.
Rozy mengatakan, krisis itu menumbuhkan akar impunitas di tubuh kepolisian. Memang dalam beberapa kasus diselesaikan, kata dia, tetapi KontraS menemukan mayoritas dominan melalui mekanisme etik atau disiplin.
“Jadi, secara internal saja. Tapi tidak secara diseret ke domain publik lewat peradilan pidana. Di situlah kemudian kultur kekerasan terus berulang, mengakar jadi [di]normalisasi, ketika itu jadi hal yang wajar dari pimpinan dan sebagainya,” kata Rozy.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Abdul Aziz