Menuju konten utama
Jaringan Narkoba Internasional

Mengungkap Modus Jaringan Narkoba Fredy Pratama & Potensi TPPU

PPATK sebut upaya Bareskrim Polri menggunakan pasal TPPU kepada jaringan narkoba seperti Fredy Pratama sudah tepat.

Mengungkap Modus Jaringan Narkoba Fredy Pratama & Potensi TPPU
Kapolresta Pontianak Kombes Pol Adhe Hariadi memperlihatkan barang bukti sabu saat rilis kasus di Pontianak, Kalimantan Barat, Senin (31/7/2023). ANTARA FOTO/Jessica Wuysang/rwa.

tirto.id - Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri berhasil mengungkap jaringan narkoba yang melibatkan nama Fredy Pratama. Fredy Pratama alias Miming adalah seorang gembong narkoba jaringan internasional asal Kalimantan yang menjadi incaran kepolisian sejak 2014.

Kabareskrim Polri, Komjen Pol Wahyu Widada menyampaikan, pengungkapan ini berawal dari adanya kesamaan modus operandi yang digunakan sindikat pada penangkapan sebelumnya yang dilakukan oleh Mabes Polri dan beberapa Polda kewilayahan. Seluruh tersangka menggunakan aplikasi blackberry messenger enterprise, threema dan wire saat berkomunikasi dalam jaringannya.

“Setelah ditelusuri, diketahui bahwa sindikat narkoba ini bermuara kepada seorang bandar besar narkoba atas nama Fredy Pratama alias Miming,” kata Wahyu dalam rilis pengungkapan jaringan narkoba, di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (13/9/2023).

Pengungkapan jaringan narkoba internasional yang melibatkan Fredy ini dilakukan atas kerja sama antara Polri dengan beberapa kepolisian negara tetangga. Di antaranya Thailand, Malaysia, serta dukungan dari Drug Enforcement Administration (DEA) atau Badan Antinarkotika Amerika Serikat.

"Yang bersangkutan ini mengendalikan peredaran narkoba di Indonesia dari Thailand, dan daerah operasinya termasuk di Indonesia dan daerah Malaysia Timur," katanya.

Dalam menjalankan bisnis narkobanya, jaringan ini diatur dan dikendalikan dengan sangat rapi, terstruktur dan dengan mudah berevolusi. Otaknya tak lain adalah Fredy.

“Ini diatur sedemikian rupa oleh Fredy Pratama. Siapa, berbuat apa. Ada yang bagian operasional, kemudian keuangan, pembuatan dokumen, pengumpul uang dan lain sebagainya," tuturnya.

Dalam melakukan transaksi keuangan, jaringan Fredy menggunakan ratusan rekening yang dikendalikan oleh orang kepercayaannya dengan membuat KTP palsu dan rekening palsu. Dari hasil Analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) teridentifikasi rekening yang digunakan sebanyak 406 rekening dan telah dilakukan pemblokiran dengan saldo Rp28,7 miliar.

Wahyu mengungkapkan setiap bulannya sindikat ini mampu menyelundupkan sabu dan ekstasi masuk ke Indonesia dengan jumlah mulai dari 100 kg sampai 500 kg dengan menyamarkan ke dalam kemasan teh Cina. Pada periode 2020 sampai 2023, Dittipidnarkoba Bareskrim Polri dan jajaran telah berhasil menyita barang bukti sabu menggunakan kemasan teh Cina sebanyak 10,2 ton.

“Fredy Pratama ini adalah sindikat narkoba yang cukup besar. Dari 2020-2023 ada 408 laporan polisi dan total barang bukti yang disita sebanyak 10,2 ton sabu, dan terafiliasi dengan kelompok Fredy Pratama ini,” kata dia.

Fredy, kata Wahyu, sudah menjadi bandar narkoba sejak 2009 dan belum pernah tertangkap. Saat ini ia menjelma sebagai bandar narkoba terbesar di Indonesia yang mengendalikan peredaran narkoba secara masif di kota-kota besar di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi sejak 2014.

“Status yang bersangkutan saat ini adalah DPO dengan red notice yang diperkirakan keberadaannya saat ini di Thailand dan telah memiliki beberapa aset di Thailand sebagai hasil bisnis narkotikanya," tuturnya.

Pengungkapan Peredaran narkotika jenis Sabu

Kapolda Metro Jaya Irjen (Pol) Karyoto (tengah), Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Trunoyudo Wisnu Andiko (kiri) dan Dirresnarkoba Polda Metro Jaya Kombes Hengki (kanan) menunjukkan barang bukti saat rilis pengungkapan kasus peredaran narkotika jenis Sabu di Ditresnarkoba, Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (17/7/2023). ANTARA FOTO/Reno Esnir

Berdasarkan data perlintasan keimigrasian, Ferdy telah meninggalkan Indonesia sejak 2014 dan terus mengendalikan jaringannya dari Malaysia dan Thailand. Dalam mengelola aset keuangan untuk dikirim ke luar negeri, sebelum 2016, Ferdy masih menggunakan rekening keluarga dan orang terdekatnya.

Namun setelah 2016, Ferdy mulai menggunakan rekening money changer ilegal. Di samping itu juga menggunakan kurir dengan membawa uang cash yang beberapa di antara mereka sudah ditangkap baik di Indonesia maupun di Thailand.

Dalam kasus ini, setidaknya Bareskrim Polri dan jajaran menangkap 39 orang tersangka. Mereka ditangkap sejak periode Mei 2023. Sejak 2020 sampai dengan 2023 terdapat 408 laporan polisi dengan 884 tersangka yang sudah ditangkap, yang keseluruhannya terkait dengan Fredy Pratama.

Para tersangka dikenakan Pasal 114 ayat (2) Juncto Pasal 132 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Dengan ancaman pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 6 tahun dan paling lama 20 tahun penjara dan pidana denda minimal Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan maksimal Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) ditambah sepertiga.

Subsider Pasal 112 ayat (2) Juncto Pasal 132 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Ancaman hukuman pidana mati, penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun penjara dan pidana denda minimal Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta) dan maksimal Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah) ditambah sepertiga.

Pengenaan Pasal TPPU, Tepatkah?

Selain dua pasal di atas, Bareskrim Polri juga mengenakan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan Pasal 137 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Pasal 3, 4, 5 Undang-Undang Republik Indonesia No 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan ancaman maksimal hukuman pidana penjara 20 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar.

Wahyu menjelaskan pengenaan pasal TPPU ini untuk memberikan efek jera kepada para tersangka kasus narkoba. Diharapkan dengan cara ‘dimiskinkan’ peredaran narkoba dapat berkurang di Indonesia.

“Kalau orangnya disita barangnya, sabu-nya, kemudian dimusnahkan, ya dia masih punya uang. Nah kita habiskan uangnya itu. Lalu kemudian kita simpan uangnya, kita sita aset-asetnya, kita ‘miskinkan’ supaya nanti dia tidak punya modal lagi untuk jualan,” tegasnya.

Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana menilai, keputusan Bareskrim Polri menggunakan pasal TPPU kepada jaringan narkoba sudah tepat. Pihaknya akan mendukung langkah kepolisian dalam menindak jaringan internasional yang dikendalikan oleh Ferdy.

“Sangat tepat. Kami mendukung penuh Polri,” kata Ivan kepada Tirto, Kamis (14/9/2023).

Ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengharapkan kepolisian dalam hal ini bersungguh-sungguh untuk ‘memiskinkan’ para tersangka gembong narkoba. Bahkan ia meminta kepada kapolri untuk memecat pihak yang menghambat atau menutupi jaringan tersebut.

“Sudah cukup lama tekad itu, ya kita berharap polisi sungguh-sungguh [terapkan TPPU],” katanya kepada Tirto, Kamis (14/9/2023).

Sebaliknya, pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakir meminta kepada kepolisian agar tidak ikut-ikut KPK dalam menangani kasus korupsi dengan cara dimiskinkan. Karena kepolisian menurutnya punya kewenangan hukum dalam proses penyitaan harta dan kekayaan yang berasal dari tindak pidana.

“Sehingga dengan demikian kata-kata dimiskinkan itu bukan kompetensi kepolisian atau penyidik," kata dia saat dihubungi Tirto, Kamis (14/9/2023).

Menurut dia, bahasa kepolisian 'memiskinkan' itu sudah salah. Sebab 'memiskinkan’ itu adalah sebuah tindakan sengaja membuat orang miskin entah dengan alasan apa pun yang penting orang itu miskin. Cara itu jelas melanggar Undang-Undang Dasar 1945.

“Kalau kita berbicara hukum pidana, itu mestinya kita tidak ngomong memiskinkan. Paling penting adalah dalam hukum pidana esensi pokoknya adalah menyita harta kekayaan yang itu dipakai tindak pidana, berasal dari tindak pidana dan ketiga adalah hasil dari tindak pidana," jelas Mudzakir.

Dia mengatakan, ketika hartanya sudah diambil semuanya, tapi masih tersisa harta kekayaannya, itu adalah hasil kekayaan yang sah bagi tersangka. Tapi sebaliknya, jika kekayaan itu semua berasal dan dipakai tindak pidana, berasal dari tindak pidana dan hasil dari tindak pidana, maka kepolisian sah menyitanya.

“Kalau itu dilakukan seperti yang saya sebutkan tiga kriteria tadi, itu adalah suatu proses penyitaan yang sah. Kalau proses penyitaan sah itu tidak melanggar Undang-Undang Dasar dan tidak melanggar undang-undang," katanya.

Tindakan penyitaan dilakukan kepolisian, lanjut Mudzakir, nantinya dicatatkan dan direkomendasikan kepada jaksa. Ini dilakukan agar nanti proses pengadilan itu barang milik tersangka bisa disita oleh negara atau dimusnahkan.

“Saya kira itu menjadi penting. Jangan sampai tiru-tiru lembaga lain yang memiskinkan koruptor padahal niru itu adalah sudah salah. Kata-kata memiskinkan harta kekayaan dari bandar narkoba itu juga salah," ujarnya.

Dia khawatir, pasal TPPU yang digunakan kepada bandar narkoba malah menjadi bumerang kepada kepolisian. “Atas dasar itulah saya tidak sependapat apabila kepolisian sekarang menggunakan pasal TPPU untuk memiskinkan bandar narkoba. Sekali lagi itu tidak benar," tegasnya.

Sebab, kata dia, tanpa harus menggunakan pasal TPPU pun kepolisian bisa melakukan penyitaan harta kekayaan bandar narkoba. Asalkan bisa dibuktikan: dipakai tindak pidana, berasal dari tindak pidana, atau hasil dari tindak pidana.

“Jangan sampai Bareskrim ikut-ikut, cawe-cawe harta kekayaan justru itu tidak benar. Bertindak sesuai dengan on track kepolisian dan kewenangan kepolisian berdasarkan hukum berlaku. Saya rasa itu sudah benar tanpa harus menggunakan sarana-sarana lain yang menjadi tidak benar,” kata dia.

Baca juga artikel terkait KASUS NARKOBA atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Hukum
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz