Menuju konten utama
Pemberantasan Korupsi

Persoalan Etik Berulang di Era Firli: Pimpinan KPK Temui Tahanan

Berulangnya kasus pelanggaran etik oleh pimpinan KPK disebabkan sanksi hukuman ringan.

Persoalan Etik Berulang di Era Firli: Pimpinan KPK Temui Tahanan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). ANTARA/Fianda Sjofjan Rassat

tirto.id - Kabar tak sedap kembali datang dari lembaga antirasuah. Lembaga yang di pimpin Firli Bahuri menjadi sorotan publik lagi karena ada pimpinan lembaga itu bertemu dengan tahanan di lantai 15 Gedung Merah Putih KPK. Lantai 15 merupakan ruangan para pimpinan KPK. Sementara pemeriksaan tahanan baik sebagai saksi maupun tersangka biasanya dilakukan di lantai dua.

Terkait hal ini, Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) menyatakan akan mendalami dugaan adanya pertemuan antara pimpinan KPK dengan tahanan KPK tersebut.

"Ya, informasi masih didalami," kata Anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris dalam keterangannya, Rabu (13/9/2023).

Dugaan pelanggaran etik ini bukanlah barang baru. Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak saat ini sedang menantikan sidang etik terkait dugaan adanya percakapan dengan Kabiro Hukum Kementerian ESDM, Idris Froyoto Sihite.

Sihite merupakan pihak yang sedang berperkara dengan KPK terkait korupsi tunjangan kinerja (tukin) pegawai di Kementerian ESDM.

Sebelumnya, tepatnya pada 2021, Lili Pintauli Siregar yang saat itu masih menjabat sebagai Wakil Ketua KPK juga sempat dijatuhi sanksi atas pelanggaran etik menemui pihak berperkara.

Hal itu terjadi sebelum Lili akhirnya mengundurkan diri di tengah sidang etik perkara lainnya, berupa fasilitas menonton MotoGP Mandalika.

Dewas KPK saat itu menyatakan Komisioner KPK Lili Pintauli Siregar bersalah secara etik karena bertemu pihak berperkara dalam kasus Tanjung Balai.

Lili disanksi karena dua alasan, yakni menyalahgunakan pengaruh untuk kepentingan pribadi dan berhubungan dengan seseorang yang perkaranya sedang ditangani KPK.

"Terperiksa LPS dijatuhkan sanksi berat berupa pemotongan gaji sebesar 40 persen selama 12 bulan," ujar Ketua Dewas KPK Tumpak Panggabean dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (30/8/2021).

Bertemu Pihak Berperkara Bisa Dipidana

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM Yogyakarta, Zaenur Rohman mengatakan, pertemuan antara pimpinan KPK dengan pihak berperkara bukanlah sekadar pelanggaran etik, namun juga pelanggaran pidana.

"Itu tidak sekadar pelanggaran etik tetapi juga merupakan bentuk pelanggaran pidana. Dalam pasal 36 undang-undang KPK itu sangat jelas bahwa ada larangan bagi pimpinan KPK untuk mengadakan hubungan baik langsung maupun tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain," kata Zaenur saat dihubungi, Kamis, (14/9/2023).

Pasal 36 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK berbunyi sebagai berikut:

Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang:

  1. Mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apapun;
  2. Menangani perkara tindak pidana korupsi yang pelakunya mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dengan anggota Komisi.
Dalam undang-undang tersebut juga diatur bahwa komisioner yang melanggar dapat dijatuhi hukuman pidana maksimal 5 tahun penjara.

"Pasal 65 : Setiap Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun," demikian petikan Undang-Undang dimaksud.

Untuk itu, menurut Zaenur, KPK sebagai lembaga penegak hukum dapat melakukan pelaporan kepada lembaga lain atau mengurus sendiri pemidanaan pimpinan KPK apabila terbukti menemui tahanan. Namun sayangnya, hal tersebut tak pernah dipraktikkan di era Firli.

"Tidak ada proses penegakan hukum secara pidana, tidak ada pelaporan dari KPK kepada penegak hukum lain dalam kepolisian atau ditangani sendiri oleh KPK," ujarnya.

Integritas Dewas Dipertanyakan

Zaenur Rohman mempertanyakan integritas Dewas dalam menangani pelanggaran etik berat semacam ini. Pasalnya, Dewas beberapa kali seolah bersikap permisif dengan memberikan sanksi ringan kepada pelanggar etik, misalnya pemotongan gaji dalam kasus Lili Pintauli.

"Adanya sikap permisif dengan putusan Dewas yang sangat lembek di kasusnya LPS itu kemudian tidak membuat jera pihak lain yang berani mengulangi perbuatannya, orang Dewas lembek begitu. Kedua, tidak hanya kadar sanksinya lembek, tetapi juga tidak ada proses penegakan hukum secara pidana," kata Zaenur

Zaenur mengatakan, saat ini Dewas memiliki kesempatan untuk membuktikan integritasnya sebelum habis masa jabatan.

"Dewas ini kan udah tidak terlalu dipercaya oleh masyarakat, (jadi) ini kesempatan buat Dewas punya prestasi gitu ya menjelang masa jabatan yang tidak terlalu lama lagi," kata Zaenur.

Ia mengatakan, harusnya tak sulit bagi KPK dan Dewas untuk mengusut kabar adanya pertemuan antara pimpinan KPK dan tahanan di lantai 15 Gedung Merah Putih tersebut.

"Melakukan pemeriksaan seperti ini hal yang mudah ya. Untuk level KPK Menindaklanjuti Informasi seperti ini sangat kecil," kata Zaenur.

KPK Krisis Role Model

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Dicky Anandya mengatakan bahwa penyebab lain dari repetisi pelanggaran etik berat di KPK adalah karena krisis role model.

"Pelanggaran kode etik sudah seperti hal biasa di era kepemimpinan Firli saat ini. Sebab, hampir semua komisioner pernah dilaporkan atas dugaan pelanggaran kode etik, dan saat ini, dilihat dari segi manapun, KPK sudah tidak pantas dianggap sebagai role model dalam menunjukkan sikap integritas dan anti korupsi," kata Dicky saat dihubungi, Kamis, (14/9/2023).

Dicky menngungkap bahwa Dewas tidak melaksanakan fungsi penegakan etik dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya sanksi tegas terhadap pelanggaran etik yang melibatkan Pimpinan KPK.

"Ketidakhadiran Dewas yang memiliki fungsi penegakan etik juga patut dikritisi. Selama ini, tidak satupun laporan yang menyangkut pimpinan KPK diberikan sanksi tegas. Sehingga menjadi wajar jika publik semakin pesimis melihat kondisi KPK saat ini," kata Dicky.

Untuk itu, ICW mendesak agar Dewas segera menindaklanjuti dugaan adanya pimpinan KPK yang bertemu dengan salah seorang tahanan, dengan memberikan sanksi berat dan mendesak yang bersangkutan untuk mengundurkan diri sebagai pimpinan KPK.

Baca juga artikel terkait GEDUNG KPK atau tulisan lainnya dari Fatimatuz Zahra

tirto.id - Hukum
Reporter: Fatimatuz Zahra
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Reja Hidayat