Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Cermin Politik Dinasti dalam Daftar Caleg Sementara Pemilu 2024

Dari ribuan nama daftar caleg sementara di KPU, sejumlah dinasti politik kembali muncul maju Pileg 2024.

Cermin Politik Dinasti dalam Daftar Caleg Sementara Pemilu 2024
Ilustrasi Partai Politik Peserta Pemilu. tirto.id/Ecun

tirto.id - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI resmi merilis daftar nama calon legislatif sementara (DCS) pada Jumat, 18 Agustus 2023. Sekitar 9.919 nama bakal calon legislatif memenuhi syarat untuk ikut dalam konstelasi Pemilu 2024.

Dari ribuan nama tersebut, sejumlah dinasti politik kembali muncul. Salah satunya, lingkaran keluarga eks Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah. Nama pertama adalah Adde Rosi Khoerunissa, istri dari anak Ratu Atut yang juga mantan Wakil Gubernur Banten, Andika Hazrumy. Adde maju lewat Partai Golkar dari Dapil Banten I. Selain Adde, mantan Wali Kota Tangerang Selatan yang juga istri dari Tubagus Chaeri Wardhana (adik Atut) Airin Rachmi Diani juga maju di Banten III lewat Partai Golkar.

Selain keluarga Atut, lingkaran keluarga eks Ketua MPR, Amien Rais juga ikut meramaikan Pemilu 2024. Berdasarkan data DCS, ada Hanum Rais yang tercatat sebagai caleg DPR RI dari Dapil Daerah Istimewa Yogyakarta. Nama lainnya adalah Ridho Rahmadi yang tercatat sebagai caleg dari Dapil DKI Jakarta 1. Ridho adalah ketum Partai Ummat dan menantu Amien Rais.

Kemudian ada juga kakak-adik yang mencoba keberuntungan di Pemilu 2024. Misalnya, dua anak mantan Bupati Probolinggo, Hasan Aminudin, yaitu Muhammad Ichsan Sani Hasan Aminuddin dan Dini Rahmania Hasan Aminuddin. Dini maju sebagai caleg DPR RI dari Dapil Jatim II, sementara Ikhsan maju sebagai caleg DPRD Jatim III. Kedua anak Hasan maju lewat Partai Nasdem.

Ada juga pasangan suami istri yang tercatat maju pada Pileg 2024. Contohnya adalah Sekjen Partai Gerindra, Ahmad Muzani dan istrinya, Himmatul Aliyah. Muzani maju sebagai petahana di Dapil Lampung 1, sementara istrinya maju di Dapil DKI II.

Pasangan suami istri lainnya adalah eks Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan dan Netty Heryawan. Pria yang karib disapa Aher itu maju di Dapil Jabar II, sementara Netty maju dari Dapil Jabar VIII. Keduanya maju dari PKS.

Selain itu, ada mantan Gubernur NTT, Viktor Laiskodat dan istrinya, Julie Sutrisno Laiskodat. Viktor maju di dapil NTT II, sementara Julie maju di dapil NTT I. Pasutri ini maju sama-sama lewat Partai Nasdem.

Contoh lainnya adalah keluarga Ketua Umum DPP Partai Perindo, Hary Tanoesoedibjo. Ia bersama istri hingga anak-anaknya ikut maju Pileg 2024. Hary maju di Dapil III Banten, sementara Liliana Tanoesoedibjo (istrinya) maju di Dapil Jakarta II. Sedangkan lima anaknya maju di dapil yang berbeda. Angela yang juga Wamenparekraf maju di Dapil Jawa Timur I, Valencia maju lewat Dapil Jakarta III, Jessica maju lewat dapil NTT II, Clarissa maju lewat Jabar I, dan Warren maju lewat Jawa Tengah I.

Bukan Berarti Dinasti Politik?

Analis politik dari Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Silvanus Alvin menekankan, tidak semua situasi ketika keluarga terlibat politik sebagai dinasti politik. Ia mengingatkan, dinasti politik merujuk pada praktik menyeleweng, di mana anggota dari keluarga yang sama atau dekat secara berurutan atau bersama-sama memegang jabatan publik dalam waktu yang lama. Jadi ada upaya untuk melanggengkan kekuasaan.

“Namun, di sisi lain kita harus menyadari semua orang punya hak berpolitik yang sama. Praktik untuk mendapat jabatan politik itulah yang harus dijaga, jangan menyeleweng. Misalnya dengan memanfaatkan kekuasaan politik untuk menggolkan jabatan politik bagi keluarganya,” kata Alvin kepada reporter Tirto, Kamis (24/8/2023).

Alvin tidak memungkiri bahwa dinasti politik kerap bermakna negatif. Pertama, dinasti politik cenderung mengakibatkan monopoli politik dan mengabaikan prinsip regenerasi politik kekuasaan, yang penting dalam demokrasi. Kedua, dinasti politik menggerus meritokrasi dan berpotensi mengurangi kemampuan masyarakat untuk memilih pemimpin yang paling mampu dan cakap.

Ketiga, dinasti politik dapat menciptakan ketidaksetaraan dalam akses dan peluang politik bagi warga negara. Orang-orang di luar keluarga yang berkuasa mungkin merasa terpinggirkan atau kurang memiliki peluang untuk berpartisipasi dalam politik.

Keempat, kata Alvin, dinasti politik bisa memberikan kesempatan untuk korupsi dan nepotisme, di mana anggota keluarga yang memegang jabatan dapat memanfaatkan posisi mereka untuk keuntungan pribadi atau keluarga.

Alvin juga menjelaskan alasan partai masih menggunakan strategi dinasti politik. Menurut dia, ada sejumlah faktor. Pertama, partai menggunakan kekuatan nama dari keluarga politikus. Hal ini tidak lepas dari nama keluarga yang dikenal publik atau memiliki jaringan kuat dalam politik. Hal itu membeirkan keuntungan elektoral kepada calon dari keluarga tersebut.

Kedua, dinasti politik dapat membantu stabilitas internal partai dalam perolehan suara partai. Selain itu, kata Alvin, dinasti politik akan memuluskan upaya partai dalam melanjutkan kebijakan di masa depan.

“Dinasti politik bisa memuluskan kontinuitas kebijakan. Partai politik mungkin berpendapat bahwa dengan mempertahankan anggota keluarga dalam jabatan, mereka dapat menjaga kontinuitas kebijakan dan agenda partai dari satu generasi ke generasi berikutnya,” kata Alvin.

Dalam kacamata Alvin, dinasti politik masih dibolehkan bila memberikan sepak terjang dan bukti kerja nyata yang baik. Hal ini akan menjadi penilaian positif.

“Di sisi lain, memang harus disadari adanya fakta bahwa politik itu walau hak semua orang, tapi tidak semuanya bisa masuk dalam politik karena politik membutuhkan sumber daya finansial dalam jumlah tertentu,” kata Alvin.

Mengapa Muncul Politik Dinasti?

Ahli hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraeni menilai, kerabat elite politik maju pemilu tidak melanggar aturan. Ia beralasan, semua berhak untuk memperoleh kesempatan yang sama untuk dipilih dan memilih dalam negara meski memicu politik dinasti.

Titi menambahkan, pejabat politik yang sedang berkuasa biasanya merangkap sebagai elite pimpinan partai di suatu daerah kerap menempatkan kerabat atau keluarga di partainya. Kerabat dan keluarga ini lantas menerima dampak dikenal secara politik, apalagi selama ini popularitas punya kontribusi sangat besar dalam memengaruhi keterpilihan calon di pemilu.

“Pragmatisme itu, lalu dimanfaatkan parpol untuk mengusung kerabat atau anggota dinasti yang punya modal popularitas dengan tujuan agar punya peluang memenangi pemilu secara lebih besar. Tambah lagi, sebagian besar keluarga dinasti ini biasanya juga punya modal kuat dan peran dominan dalam membiayai partai,” kata Titi kepada reporter Tirto.

Titi mengatakan, di beberapa kasus calon dari keluarga dinasti bahkan sama sekali tidak punya pengalaman kaderisasi politik di partai. “Tapi karena nama besar keluarga, maka bisa dengan mudah mendapat tiket pencalonan,” tutur Titi.

Titi juga mengatakan, alasan lain mengapa publik masih memilih politisi yang bagian dinasti dalam pemilu atau pilkada, karena publik minim atau sangat kurang informasi soal calon-calon yang berkompetisi. Momen itu membuat keputusan secara pragmatis saja, memilih figur yang mereka kenal.

“Dan kebanyakan politisi dinasti memiliki popularitas lebih unggul karena akses mereka pada anggota keluarga yang sedang menjabat melalui keterlibatan mereka dalam aktivitas politiki si pejabat,” tutur Titi.

Titi menilai, ada beberapa regulasi yang bisa didoronng untuk meminimalisasi menguatnya politik kekerabatan yang mengabaikan kaderisasi dan rekrutmen politik yang demokratis. Salah satunya adalah dengan menerapkan syarat sebagai kader selama minimal tiga tahun untuk calon yang diusung oleh partai. Persyaratan ini juga harus disertai pemenuhan bukti keikutsertaan si calon dalam program kaderisasi parpol. Sementara jalur perseorangan harus sepenuhnya diisi calon-calon nonparpol.

Catatan lainnya, kata Titi, adalah penegakan hukum atas praktik mahar politik dan jual beli suara harus diatur dengan tegas dan memberi efek jera. Ia menilai, calon dari dinasti ini juga sering tak lepas dari rumor miring adanya praktik transaksional dalam pencalonan.

“Pencalonan dinasti juga kerap kali berkelindan dengan isu politisasi ASN dan penyalahgunaan fasilitas jabatan. Oleh karena itu, UU Pemilu juga harus memastikan pengawasan dan penegakan hukum yang lebih baik atas dua hal ini. Agar keluarga dinasti yang maju pemilu tidak bisa mempolitisasi birokrasi ataupun memanfaatkan fasilitas jabatan dari kerabatnya yang sedang berkuasa,” kata Titi.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz