tirto.id - Kurang dua bulan dari sekarang, Kota Surakarta punya pemimpin baru. Dua kandidat tengah bertarung memperebutkan kursi Wali Kota Solo.
Bagyo Wahyono dan Suparjo atau dikenal "Bajo" dari jalur independen menantang Gibran Rakabuming Raka dan Teguh Prakosa yang didukung sembilan partai politik.
Di masa awal penjaringan kandidat, semula Pilkada Solo tampak bak palagan bagi partai politik. Mereka menjanjikan calon alternatif. Tetapi, pencalonan Gibran, putra sulung Presiden Joko Widodo, mengubah rencana koalisi parpol.
Gibran memasuki gelanggang politik sebagai kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan belum genap setahun, tapi ia menarik dukungan nyaris seluruh partai di Solo—perihal yang disebut para peneliti dan akademisi politik bahwa parpol di Indonesia adalah ajang transaksi dan kepanjangan tangan oligarki yang menyuburkan dinasti.
Solo di masa lalu adalah tempat dua kerajaan besar Jawa, Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran, yang mewariskan takhta secara turun-temurun. Berharap melanjutkan tradisi politik dinasti kuno, pemegang garis keturunan dua raja sempat memburu kendaraan politik.
Sejak masa penjaringan bakal calon, Partai Gerakan Indonesia Raya sempat meminang Pangeran Mangkunegaran, Gusti Pangeran Haryo Paundrakarna Jiwo Suryonegoro sebagai calon wakil wali kota. Ketua umum Gerindra, Prabowo Subianto, hanya meneken dukungan calon wali kota untuk Gibran. Langkah politik Jokowi menggandeng Prabowo, lawannya dalam dua kali pemilihan presiden, pada tahun lalu ditengarai berbalas dukungan Menteri Pertahanan itu ke Gibran pada pemilihan Wali Kota Solo.
Setali tiga uang adalah upaya Bendoro Raden Ajeng Putri Woelan Sari Dewi, cucu Raja Kasunanan Surakarta, Pakubuwono XII. Woelan sempat mengincar posisi calon wakil wali kota dan berusaha melobi pengurus pusat PDIP tapi kandas dari bursa setelah partai memilih Teguh Prakosa. Setelah gagal, ia sempat berlabuh ke Partai Keadilan dan Sejahtera. Hingga akhir pendaftaran, PKS memilih abstain, tak mencalonkan siapa pun.
Mundurnya PKS sebagai kekuatan politik kedua di Solo dengan lima kursi—setelah PDIP dengan 30 kursi dari 45 kursi yang tersedia—di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Surakarta, mengubah lanskap politik menjadi monoton.
Alasan partai berasas Islam menyingkir dari medan laga adalah “demokrasi Solo sudah terbajak oleh dominasi sistem kepartaian,” ujar Sekretaris PKS Solo, Daryono. Ia juga berkata, “Kreasi dan aspirasi daerah akhirnya terkungkung karena tidak bisa melewati dominasi.”
“Ini realitas dari PKS, tidak bisa usung calon alternatif,” kata Daryono kepada Tirto pada September 2020.
Menurut Daryono, PKS telah merancang koalisi sejak pemilihan presiden tahun lalu dengan Partai Amanat Nasional, Golongan Karya, Gerindra—masing-masing partai punya tiga kursi di DPRD Surakarta. Tapi, ketiga parpol itu ikut mendukung Gibran. Maka, syarat minimal pencalonan, yakni sembilan kursi, yang akan diusung PKS tak terpenuhi sehingga membuat rencana koalisi untuk “calon alternatif” itu ambyar.
“Sampai sekarang belum ada sikap dari PKS untuk merapat ke calon yang mana. Keputusan sekarang di tangan pengurus pusat. November nanti akan diputuskan,” imbuh Daryono.
Restu dari Megawati
Lolosnya Gibran tak lepas dari dirinya sebagai putra Jokowi. Dalam usia 33 tahun, dikenal pengusaha kuliner dengan merek Markobar yang baru terjun sebagai politikus, Gibran dianggap memanfaatkan “aji mumpung” sebagai anak presiden.
Tudingan politik dinasti Jokowi berlanjut. Bobby Nasution, menantu Jokowi dan adik ipar Gibran, maju sebagai calon Wali Kota Medan. Keduanya bagian dari ratusan calon terindikasi menjalankan politik dinasti.
Menurut riset Nagara Institute, organisasi nirlaba berfokus isu politik, menemukan 124 calon Pilkada 2020 terhubung politik dinasti. Riset lain menyebut 146 calon, menurut Yoes C. Kenawas, kandidat doktor ilmu politik dari Universitas Northwestern, Amerika Serikat.
Gibran, yang pada 2018 pernah berujar “kasihan rakyat kalau ada dinasti politik”, mendapatkan restu dari Ketua Umum PDIP, Megawati. Partai penguasa ini menyingkirkan Achmad Purnomo, kader senior PDIP di Solo, pengusaha pom bensin dan wakil Wali Kota Surakarta.
Semula, pengurus Dewan Pimpinan Cabang PDIP Solo telah menutup pintu bagi Gibran saat penjaringan calon. Mekanisme seleksi tertutup ini ditentukan oleh pengurus cabang, lalu diajukan ke pusat. PDIP Solo sudah menyodorkan Purnomo kepada Megawati.
Memotong kompas, Gibran memburu tiket lewat Dewan Pimpinan Daerah PDIP Jawa Tengah. Ia juga menemui Megawati selama masa tunggu rekomendasi.
Akhir dari pertarungan: Gibran yang diberi restu, Purnomo tersingkir. Perkara kaderisasi dan senioritas serta mekanisme partai mengusulkan calon dari bawah diveto oleh Megawati.
Buntut dari keputusan itu disebut-sebut bikin renggang Purnomo dan Gibran. Jokowi turun tangan. Purnomo diundang ke Istana Presiden untuk bicara soal pencalonan Gibran. Keduanya berjumpa dua hari sebelum pengumuman rekomendasi. Dalam pertemuan, Purnomo diberi bocoran oleh Jokowi bahwa rekomendasi Megawati sudah bulat ke Gibran.
Hubungan Purnomo dan Gibran setelah rekomendasi masih dingin. Purnomo enggan masuk ke dalam tim pemenangan kendati keduanya sudah bertemu dan tampak akrab sebagai mantan pesaing dalam internal PDIP.
Untuk memastikan soliditas dan kemenangan partai, Megawati akan ikut turun di Solo sebagai juru kampanye. Ia juga menebar ancaman agar kader taat kalau tidak mau dipecat.
Lompatan demi lompatan politik yang mudah bagi politikus kemarin sore seperti Gibran mengundang kritik. Tudingan politik dinasti, tak pelak lagi, mengarah ke Gibran. Namun, Gibran berkali-kali membantah ‘Jokowi effect’ telah memuluskan pertarungannya meraih tiket pemilihan.
Saat reporter Tirto ke Solo pada September lalu, Gibran enggan menemui untuk menjawab seputar tudingan politik dinasti.
Ia beberapa kali bicara ke media membantah tudingan. Gibran menyatakan saat pencoblosan Pilkada 9 Desember nanti, “Tak ada kewajiban memilih saya.”
“Ini, kan, kontestasi, bukan penunjukan. Jadi, kalau yang namanya dinasti politik, di mana dinasti politiknya? Saya juga bingung kalau orang bertanya seperti itu,” kata Gibran, Juli lalu, usai memperoleh rekomendasi.
Bak Langit dan Bumi
Lawan Gibran Rakabuming & Teguh Prakosa adalah Bagyo Wahyono dan Suparjo alias "Bajo". Hari-hari ini, di masa kampanye, mereka menjalankan strategi menjangkau pemilih sambil taat "protokol kesehatan" mencegah penularan COVID-19.
Cara tim Gibran, misalnya untuk menggambarkan kesenjangan kedua kandidat, adalah bertatap muka lewat layar, yang dibawa blusukan oleh relawannya ke kampung-kampung. Sebaliknya, Bajo berkomunikasi satu per satu dengan konstituen lewat satu ponsel.
Kedua posko pemenangan kedua kandidat juga sangat kontras. Posko utama Bajo berada di sebuah perkampungan dekat jalan arteri. Di kanan-kiri gang posko terpampang spanduk kubu lawan. Di kawasan posko terdapat satu bangunan dan halaman parkir luas.
Itu berbeda dengan salah satu posko relawan Gibran di pusat kota dekat kawasan perkantoran dan stadion olahraga Manahan. Posko itu punya ruangan utama dan balai pertemuan. Di halaman rumah terparkir mobil boks bergambar Gibran.
Perbedaan logistik dan kekuatan politik bagaikan "langit dan bumi" ini disadari oleh Tuntas Subagyo, Ketua Tikus Pithi Hanata Baris yang mengusung Bajo.
“Ibarat gajah kepalanya banteng. Badannya seluruh parpol. Musuhnya semut. Sudah cilik, wong cilik. Ketuanya bukan siapa-siapa,” kata Tuntas kepada reporter Tirto di Solo, akhir September lalu.
Organisasi masyarakat Tikus Pithi Hanata Baris yang lahir dari Lembaga Bantuan Hukum dan Yayasan Surya Nuswantara ini mengklaim tak terafiliasi dengan partai dan tokoh politik mana pun. Meski mengakui tak anti-partai dan konsisten tanpa partai, sejak tahun lalu, organisasi berpusat di Solo ini menyuarakan calon presiden independen.
Tuntas pernah mencalonkan diri sebagai presiden lewat jalur independen, tentu saja gagal karena tak dikenal dalam sistem politik Indonesia. Ia kini berbangga karena sudah mencetak sejarah lewat calon perseorangan pertama dalam pemilihan Wali Kota Surakarta.
Bagyo Wahyono adalah tukang jahit, dan Suparjo sebagai karyawan lembaga pelatihan kerja. Keduanya adalah pengurus Yayasan Surya Nuswantara.
Berasal dari wong cilik, Bajo menganut nilai politik "dari, oleh dan untuk rakyat." Berawal dari modal nol rupiah saat awal kampanye, kekurangan biaya logistik akan ditambal dari iuran dan loyalitas kader organisasi sosial budaya ini. Begitu seterusnya sampai masa pencoblosan.
Kendati di Solo, setidaknya ada 1.000 anggota terdaftar, jumlahnya kelipatan lima pada masa pencoblosan untuk mengawasi setiap tempat pemungutan suara. “Mereka semua tak dibayar sepeser pun,” kata Tuntas seraya enggan menyebut jumlah seluruh anggota organisasi di berbagai daerah.
Anggota organisasi sebanyak itu dipastikan bukan hanya dari Solo. Selama ini, mereka ikut andil dengan menyumbang uang hingga hasil bumi untuk tim pemenangan.
Loyalitas anggota ini kerap dikaitkan dengan rumor bahwa organisasi bakal mendatangkan kesejahteraan lewat dana abadi "di bank Swiss peninggalan Sukarno." Tuntas membantahnya, dan rumor terbentuk karena ada anggota yang terlibat mencari dana yang tak pernah ada tersebut, lalu seolah-olah tindakannya mewakili organisasi.
Rumor lain adalah Bajo merupakan "calon boneka" yang sengaja dibuat kubu lawan agar Gibran tak melawan kotak kosong.
Tuntas mengklaim, dengan rekam jejak organisasi tanpa afiliasi politik di masa lalu dan menjalani fase pemilihan berdarah-darah, Bajo merasa sakit hati disebut "calon boneka."
“Itu menyakitkan sekali. Ini memengaruhi mindset masyarakat dan merugikan sekali. Kalau ada yang terang-terangan menyebut boneka akan kami gugat,” kata Tuntas.
Sesumbar Gibran: Meraup 92 Persen Suara
Menurut Yoes Kenawas, yang meneliti dinasti politik, cara Jokowi membuat dinasti bisa dipahami sebagai keinginannya agar selalu relevan usai purna tugas, selain ia bukan pemilik partai yang mengantarkannya dua kali jadi presiden.
“Yang dilakukan Jokowi itu pilihan politik yang rasional. Hanya saja, cara [Gibran] ambil jalan pintas [melangkahi Achmad Purnomo] patut disayangkan,” ujar Yoes kepada Tirto.
Dengan modal politik maksimal dan mesin partai inilah, Gibran percaya diri bisa meraih 92 persen suara. Bila ini terwujud, bakal melampaui raihan suara ayahnya, 90,09 persen, satu dekade silam saat terpilih sebagai Wali Kota Solo periode kedua.
Targetnya tak sebesar hitungan kasar dari persentase daftar pemilih tetap pemilihan daerah Solo 2020 dengan 418.283 suara. Kalkulasi kasar sembilan partai politik pendukung Gibran sebesar 61 persen.
Perkiraan lebih kecil pada Bagyo Wahyono dan Suparjo alias Bajo dengan 9 persen. Meski terhitung kecil di atas kertas, Bajo mengklaim bakal mengungguli Gibran-Teguh di atas 90 persen.
Yoes menyebut kans Bajo rendah kendati caranya melawan politik dinasti patut dipuji karena tak mudah mengumpulkan puluhan ribu dukungan riil dari setiap warga. “Belum tentu yang memilih nanti jumlahnya lebih besar dari angka dukungan,” ujarnya.
Komisi Pemilihan Umum Indonesia mencatat 69 calon perseorangan telah ditetapkan di Pilkada 2020. Pasangan Bajo adalah satu-satunya yang lolos dari 6 calon perseorangan di Jawa Tengah.
Dengan penguasaan basis PDIP, basis pemilih Jokowi, dan kekuatan partai hasil kerja FX Hadi Rudyatmo, Wali Kota Surakarta dan ketua PDIP setempat, Gibran diprediksi menang mudah. Jokowi kemungkinan besar bakal punya dinasti politik di kampung halamannya sendiri. Bila Gibran menang, Jokowi adalah presiden pertama di Indonesia yang saat menjabat punya anak yang menjadi kepala daerah—perihal yang tak pernah terjadi sebelumya dalam demokrasi di Indonesia pasca-Soeharto.
“[Gibran] tidak kampanye, tidur-tiduran juga menang,” ujar Yoes.
Penulis: Zakki Amali
Editor: Fahri Salam