Menuju konten utama

Makin Banyak Kotak Kosong di Pilkada 2020, Partai Gagal Kaderisasi?

Semakin banyak calon tunggal di Pilkada 2020. Mereka akan melawan kotak kosong. Penyebabnya beragam, salah satunya pragmatisme partai.

Makin Banyak Kotak Kosong di Pilkada 2020, Partai Gagal Kaderisasi?
Petugas KPPS (kelompok penyelenggara pemungutan suara) menunjukan surat suara Pilkada Kota Tangerang yang bergambar Pasangan Arief Rachadiono-Sachrudin dan kolom kosong, Banten, Rabu (27/6/2018). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Jumlah bakal calon tunggal Pilkada 2020 membeludak, lebih banyak dibandingkan pemilihan tahun-tahun sebelumnya. Merujuk data Komisi Pemilihan Umum (KPU), maksimal akan ada 28 pasangan yang bakal melawan kotak kosong.

Golkar jadi partai yang paling banyak mengusung pasangan calon (paslon) tunggal, jumlahnya 27. Kemudian PDIP sebanyak 26, 18 paslon diusung PKS, sementara PPP dan Hanura masing-masing mengusung 16 paslon tunggal. Jumlahnya lebih banyak ketimbang kandidat karena partai-partai ini berkoalisi.

Sebagai pembanding, tahun 2018 lalu ada 13 paslon tunggal, setahun sebelumnya sembilan, dan 2015 bahkan hanya empat.

Dalam negara demokratis seperti Indonesia, bertambah banyaknya paslon tunggal adalah ironi. Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana mengatakan pemilu dalam negara demokrasi adalah kompetisi gagasan antara minimal dua kandidat. Diharapkan, yang terbaiklah yang bakal menang dan memimpin.

“Ketika itu tidak terjadi, ya tidak ada kompetisi, dan itu enggak baik untuk demokrasi kita,” kata Aditya kepada reporter Tirto, Kamis (10/9/2020).

Menurut Aditya, salah satu penyebab semakin banyaknya calon tunggal adalah sikap pragmatis partai. Alih-alih bertaruh mengajukan jagoan sendiri, mereka justru memilih bergabung dengan koalisi pengusung calon yang diperkirakan memiliki elektabilitas tinggi dan akan menang meski visi dan program kurang baik.

“Mereka punya problem sangat serius terhadap kelembagaan partai, tidak percaya diri untuk memunculkan kader-kader sendiri untuk bertarung, sehingga punya preferensi calon-calon yang sudah matang untuk bisa dipilih,” kata Aditya. Ini membuktikan proses kaderisasi di partai kurang tidak berjalan.

Politik biaya tinggi memperburuk situasi. Ada kemungkinan partai tidak memiliki cukup uang untuk mengusung calon sendiri.

Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera juga menyebut calon tunggal adalah musibah. “Demokrasi itu kontestasi karya dan gagasan, bukan lawan kotak kosong,” kata Mardani kepada reporter Tirto pada Rabu (9/9/2020).

Biang keladi dari kondisi itu adalah beratnya syarat pencalonan, katanya. UU Pilkada mensyaratkan calon kepala daerah harus diusung partai/gabungan partai dengan 20 persen kursi DPRD atau 15 persen suara dalam Pemilihan Anggota DPRD. Syarat tersebut pula yang membuat PKS mengusung 18 bakal calon tunggal di daerah-daerah di mana mereka tidak mendominasi.

Faktor eksternal lain yang membuat kenapa tahun ini calon tunggal semakin marak adalah pandemi COVID-19, kata peneliti politik dari CSIS Arya Fernandez. Dalam situasi ini, Peraturan KPU 10/2020 memberikan syarat kampanye hanya bisa dihadiri 100 orang dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. Artinya, kandidat harus beralih bergerak secara door to door dan itu memakan biaya lebih besar. Perubahan jadwal pilkada juga mengakibatkan rentang waktu kampanye jadi semakin lebar. Artinya, uang yang harus disiapkan semakin banyak pula.

Dalam kondisi itu, hanya ada dua kandidat yang paling siap: petahana dan pengusaha. Faktanya, dari 28 calon tunggal, 23 di antaranya adalah petahana.

Investor politik pun, karena usahanya terpukul pandemi, cenderung pilah pilih dalam mendukung kandidat, tidak lagi seperti kebiasaan mereka sebelumnya yang mensponsori semua calon. “Karena investor politik juga terbatas dengan kondisi ekonomi yang sulit, akhirnya yang punya uang untuk memborong tiket pencalonan itu petahana sama pengusaha,” kata Arya kepada reporter Tirto, Kamis.

Arya juga menyoroti syarat pencalonan yang disinggung Mardani. Ini mengakibatkan partai yang punya suara relatif kecil harus lobi sana-sini untuk berkoalisi dan mengajukan calon. Akhirnya, mereka mengambil jalan pintas dengan mendukung kandidat yang memiliki elektabilitas tinggi.

Untuk mengatasi kecenderungan semakin maraknya calon tunggal, ia menilai perlu perbaikan dari sisi hulu, yakni menciptakan sistem multipartai sederhana. Caranya, dengan mengecilkan district magnitude (besaran daerah pemilihan) dari 3-10 dapil atau 3-8 dapil dan memberlakukan ambang batas parlemen daerah minimal 2,5 persen.

“Kedua, menurunkan syarat pencalonan perseorangan agar banyak alternatif,” kata Arya.

Baca juga artikel terkait PILKADA 2020 atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Politik
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino