Menuju konten utama

Politik Dinasti & Watak Oligarki Bikin Pilkada 2020 Tak Ditunda?

Pilkada 2020 tetap digelar. Aktivis menilai ini adalah wajah sesungguhnya dari oligarki dan upaya mereka melanggengkan politik dinasti.

Politik Dinasti & Watak Oligarki Bikin Pilkada 2020 Tak Ditunda?
Petugas kesehatan mengangkat pemilih yang pingsan saat simulasi Pemilihan Kepala Daerah di Banyuwangi, Jawa Timur, Senin (14/9/2020). ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/wsj.

tirto.id - Pemerintah sama sekali tak berniat menunda penyelenggaraan Pilkada 2020, yang hari pencoblosannya direncanakan Desember nanti, kendati kasus COVID-19 tak menunjukkan tanda-tanda menurun. Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman memastikan ini pada 21 September lalu.

“Presiden Joko Widodo menegaskan penyelenggaraan Pilkada tidak bisa menunggu pandemi berakhir karena tidak [ada] satu pun negara tahu kapan COVID-19 akan berakhir. Karenanya, penyelenggaraan pilkada harus dengan protokol kesehatan ketat agar aman dan tetap demokratis,” katanya.

Pada hari itu penambahan kasus harian COVID-19 pecah rekor, 4.176 kasus. Dalam beberapa hari terakhir angkanya konsisten di atas 4.000.

Pada 21 September malam, Komisi II DPR RI, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), juga menyepakati Pilkada tetap dilaksanakan, tetapi kampanye yang mengumpulkan massa—termasuk konser musik—ditiadakan.

Pemimpin rapat, Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia, mengatakan pertimbangan Pilkada dilanjutkan adalah “seluruh tahapan yang sudah dan sedang berlangsung masih sesuai yang direncanakan dan situasi masih terkendali.”

Keputusan pemerintah, legislatif, dan penyelenggara pemilu ini bertolak belakang dengan penilaian banyak ahli kesehatan yang menyatakan selalu ada peluang penularan virus dalam tiap tahapan pilkada. Atas pertimbangan kesehatan juga dua organisasi Islam terbesar di Indonesia—NU dan Muhammadiyah—sama-sama mendesak pemerintah menunda Pilkada dan lebih mementingkan keselamatan ratusan juta warga. Sikap serupa disampaikan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Beberapa organisasi yang bergiat di ranah kepemiluan pun mendesak itu, misalnya Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif. Bahkan, salah satu intelektual muslim ternama, guru besar UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, mendeklarasikan diri sebagai golongan putih (golput) sebagai bentuk solidaritas kepada seluruh warga dan tenaga kesehatan yang terdampak dan terus berjuang melawan pandemi.

Mereka bahkan tidak mundur sejengkal pun meski beberapa pihak yang sangat terkait dengan Pilkada terjangkit COVID-19. Sebut saja Ketua KPU RI dan beberapa komisioner lain, 96 petugas Bawaslu di Boyolali, dan 60 bakal calon kepala daerah.

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo juga terjangkit Corona—yang kasusnya sempat ditutup-tutupi oleh Istana.

Jika sudah seperti ini, kenapa pemerintah, legislatif, dan penyelenggara pemilu masih tetap ngotot menjalankan pilkada?

Watak Oligarki

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai tetap menggelar Pilkada pada masa pandemi adalah bentuk pengabaian negara terhadap kepentingan dasar rakyat—kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan. Pengabaian ini bukan kali ini saja, tapi entah ke berapa kali.

Contoh pengabaian lain adalah: terus saja melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja meski itu jelas-jelas ditentang masyarakat, terutama serikat buruh.

“Tindakan-tindakan pemerintah selama COVID-19 membuka borok yang selama ini mungkin untuk sebagian orang belum jelas: kepentingan dasar rakyat bukan yang utama,” kata Asfin saat dihubungi wartawan Tirto, Selasa (22/9/2020) pagi.

Asfin juga menduga langkah pemerintah untuk tetap melanjutkan Pilkada 2020 tak lain adalah bentuk perlindungan terhadap para calon kepala daerah yang berasal dari lingkaran Istana.

Faktanya ada banyaknya calon kepala daerah berasal dari jejaring politik dinasti Istana Negara: Gibran Rakabuming di Solo dan Bobby Nasution di Medan (anak dan keponakan Presiden Joko Widodo), Siti Nurazizah di Tangerang Selatan (putrid Wakil Presiden Ma’ruf Amin), hingga Hanindhito Himawan Pramana di Kediri (anak Sekretaris Kabinet Pramono Anung).

“Ini semua (politik dinasti) satu paket. Fokus mereka bukan untuk rakyat, tapi untuk kepentingan sendiri atau kelompok, seperti membangun dinasti politik,” kata Asfin.

Asfin mengatakan ini adalah wajah asli dari oligarki, yang kepentingannya memang bertentangan dengan kehendak masyarakat. “Semua ini, tentu berkesinambungan dengan pemaksaan pembahasan dan pengesahan RUU Cipta Kerja Omnibus Law dan revisi UU Minerba,” katanya.

Jika ternyata saat pelaksanaan muncul 'klaster pilkada'—istilah yang justru diperkenalkan Jokowi—pemerintah bisa digugat dengan pasal 93 UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal tersebut berbunyi: “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

“Kalau sudah mengakibatkan klaster pilkada, masuk sudah,” kata Asfin, sembari menekankan frasa “menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat.”

Baca juga artikel terkait PILKADA DI MASA PANDEMI COVID-19 atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino