tirto.id - Menghadapi pandemi COVID-19, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan pemerintah sepakat untuk menunda pelaksaan Pilkada 2020 sampai Desember. Skenario itu tetap berjalan dengan syarat pandemi COVID-19 selesai pada akhir Mei 2020. Jika tidak, maka ketiga lembaga itu akan mengubah keputusan yang berpotensi membahayakan nyawa manusia tersebut.
Tapi, dalam dua pekan belakangan, wacana pengubahan aturan jika pandemi masih berlangsung seperti diabaikan oleh lembaga-lembaga negara.
Setelah kesepakatan menunda Pilkada 2020 dilakukan, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2020 yang kemudian direvisi atau disempurnakan dengan UU Nomor 6 tahun 2020. Pasal 120 ayat (1) mencatat, pelaksanaan pilkada bisa ditunda apabila ada bencana non-alam yang mengakibatkan gangguan tahapan pelaksanaan pilkada.
Isi dari UU itu sama dengan ucapan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pada Juli 2020. Intinya, jika pandemi COVID-19 masih menunjukkan peningkatan kasus yang masif dan belum selesai, pemerintah, KPU, dan DPR bisa bersepakat untuk menunda pilkada. Namun hal itu tidak dilakukan sampai sekarang.
Komisi II DPR juga tidak menunjukkan tanda-tanda adanya perubahan rencana. Menurut Guspardi Gaus dari Fraksi PAN, keputusan penundaan pilkada ke 9 Desember sudah final. Apalagi Tito sendiri yang sebenarnya memaksakan agar Pilkada 2020 tidak diundur ke tahun 2021.
"Penetapan tanggal pelaksanaan Pilkada sudah melalui beberapa pertimbangan di antaranya Pemerintah dalam hal ini Mendagri mengatakan bahwa ada 49 negara yang menjadwalkan pemilu di berbagai negara lain dan tidak ada satupun dari negara tersebut melakukan penundaan menjadi 2021," kata Guspardi, Senin (3/8/2020).
Sampai sekarang, pendirian itu tidak berubah kendati perkembangan kasus yang terjadi di Indonesia belum mengalami penurunan.
KPU juga sama saja. Komisioner KPU Pramono Ubaid awalnya menilai rapat 29 Mei akan menentukan apakah Pilkada 2020 akan mengalami penundaan lagi atau tidak. Jika memang COVID-19 belum selesai, dia meyakinkan masyarakat bahwa KPU punya opsi lain. Nyatanya itu juga tidak berlaku sampai sekarang.
Pemerintah tetap bersikeras pelaksanaan Pilkada 2020 tidak bisa ditunda lagi untuk mencegah kekosongan jabatan pemerintah daerah. Baik pada 29 Mei 2020 atau setelahnya, keputusan pemerintah bulat: pejabat sementara tidak boleh menempati posisi kepala daerah terlalu lama. Karena itu perlu ada proses demokrasi yang berjalan.
Sebelumnya, pemerintah sudah mencoba meyakinkan masyarakat bahwa mereka bisa menjalankan sektor ekonomi dan kesehatan berbarengan. Tapi ini tidak terbukti. Jakarta kembali menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan klaster COVID-19 yang baru muncul di berbagai tempat.
Kini, pemerintah, sekali lagi, meyakinkan kita bahwa Indonesia bisa menjalankan dua hal—kesehatan dan politik—sekaligus. Sampai kapan kesehatan atau tepatnya keselamatan bisa benar-benar mendapatkan prioritas?
Potensi Kecolongan Saat Kampanye
Komisioner KPU Pramono Ubaid sebenarnya sudah mengetahui bahwa pengunduran pilkada sampai Desember karena pandemi bukan hanya perkara waktu, tapi juga regulasi. Beberapa aturan harus disesuaikan, misalnya pelaksanaan protokol kesehatan dalam tahapan Pilkada 2020, termasuk perubahan Peraturan KPU dan pelatihan anggota KPU dalam menerapkan protokol.
"Mau tidak mau kalau itu diputuskan kami harus melakukan skenario itu,” kata Pramono ketika dihubungi Tirto, Senin (20/4/2020).
Benar saja, kendati peraturan sudah ada, masih banyak orang yang melanggar protokol kesehatan. Saat pendaftaran calon kepala daerah (cakada) ke KPU, banyak simpatisan paslon berkumpul tanpa mematuhi protokol kesehatan.
Menjelang tahapan kampanye, dengan kasus COVID-19 yang tiap hari terus bertambah, KPU tampak gagal mengantisipasi pelaksanaan Pilkada 2020 yang aman dari penyebaran virus COVID-19. Ini terlihat dari PKPU Nomor 6 tahun 2020 yang dihasilkan demi menunjang pelaksanaan Pilkada 2020 di tengah pandemi.
Pada bagian kampanye Pasal 57 menyatakan ada tujuh jenis metode kampanye yang disetujui KPU. Dua di antaranya adalah pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka yang kemudian menjadi masalah karena semuanya dapat menambah risiko penyebaran COVID-19.
Syaratnya hanya menjaga jarak 1 meter dan menerapkan protokol kesehatan, seperti memakai masker, dan boleh dilakukan di ruangan tertutup.
Selanjutnya di Pasal 63, KPU mengizinkan kampanye dilakukan dalam bentuk pentas seni dan konser musik. Boleh juga dilakukan gerak jalan santai atau bersepeda santai serta perlombaan yang tidak diatur apa saja jenisnya.
Awalnya, jumlah peserta tidak dibatasi sama sekali.
Namun ketika kasus terus meningkat, KPU sekali lagi mengadakan perubahan dengan menelurkan PKPU Nomor 10 tahun 2020. Tapi bukannya meniadakan konser musik dan sebagainya, PKPU membatasi jumlah peserta menjadi 100 orang dalam kegiatan tersebut. Sekali lagi, mereka menuai kritik dari publik.
“Di dalam lokasi acara bisa dibatasi, namun gaung konser musik kan bukan hanya di dalam lokasi acara, itu yang harus diperhitungkan. Karakter konser musik itu berbeda dengan aktivitas lain, aspek hiburannya lebih dominan dan itu secara alamiah bisa memikat pihak di luar target peserta kampanye juga untuk ikut serta. Apalagi hingar bingarnya pasti tidak hanya bisa dibatasi di lokasi acara secara sempit,” kata Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini dalam keterangan tertulis, Rabu (16/9/2020).
Padahal ketika disepakati, PKPU Nomor 6/2020 sebenarnya sudah dibahas di DPR bersama dengan pemerintah, KPU, dan Badan Pengawasi Pemilu (Bawaslu) pada 24 Agustus 2020. Semua lembaga itu tidak ada yang bisa menakar betapa rawannya kampanye yang memperbolehkan konser musik atau kerumunan di tengah pandemi.
Akhirnya, PKPU Nomor 6/2020 ini lolos begitu saja. KPU bisa jadi memang kebobolan, tapi, pada saat bersamaan, pihak-pihak yang membahasnya seperti pemerintah dan DPR sama saja dengan KPU. Mereka ikut meloloskan aturan ini.
Saling Lempar Bola
Negara lain memang mengadakan pilkada tetap di tahun 2020. Namun sebagian dari mereka punya dasar yang cukup kuat. Perancis, misalnya, punya positivity rate 5,4 persen. Positivity rate menjadi satuan pengukuran penyebaran virus COVID-19. Semakin tinggi angkanya, maka semakin besar kemungkinan satu orang menularkan virus COVID-19 ke beberapa orang. Negara yang tetap memaksakan pemilu lazimnya punya positivity rate yang rendah. Contoh lain, Italia, hanya berada di angka 2,7 persen.
Indonesia jauh panggang dari api. Pemerintah menyebut positivity rate Indonesia adalah 14 persen. Sebelumnya, pada akhir Juli 2020, angkanya masih 13,3 persen. Berdasarkan standar WHO, positivity rate yang menunjukkan angka pengujian memadai sebaiknya di bawah 10 persen. Lebih baik lagi jika di bawah 3 persen.
Komisioner KPU Viryan Azis menyatakan keputusan KPU ini belum final. Bisa saja ada aturan lain yang dikeluarkan untuk merevisi PKPU Nomor 10/2020. Tapi di saat bersamaan, Viryan juga menegaskan pentingnya pengadaan Perppu untuk menambal aturan-aturan yang masih bolong, misalnya melarang keramaian dengan sanksi pidana.
Dengan permintaan ini, KPU melempar bola kepada pemerintah alih-alih melarang adanya kegiatan kampanye seperti konser musik dan sebagainya. Padahal, menurut Titi Anggraini, KPU seharusnya bisa mengeluarkan aturan PKPU yang baru. Artinya, tidak harus bergantung pada Perppu.
“Karena pengaturan soal aktivitas konser musik itu ada di PKPU, semestinya sangat bisa untuk direvisi,” ujar Titi.
Mendagri Tito Karnavian dalam sebuah diskusi pada Minggu (20/9/2020) juga masih belum menentukan apakah akan ada Perppu atau tidak. Apabila Perppu tidak terwujud, Tito justru melempar bola panas kepada KPU. Dalam minggu ini, jika Perppu tidak keluar, maka revisi PKPU harus diselesaikan. Dan KPU yang seharusnya bisa menghadirkan solusinya.
"Kuncinya ada di KPU sendiri," ucap Tito. "Kami (pemerintah, Kemendagri) mendorong membantu termasuk rapat kita lakukan."
Dalam blog pribadinya, Viryan memaparkan bahwa adaptasi KPU dalam penyelenggaraan Pilkada 2020 terkendala regulasi UU Pemilu tahun 2016 yang tidak mengatur tentang hukuman pidana. Lebih jauh lagi, Viryan tak mengakui ketidakmampuan atau keengganan KPU menghapus kampanye lewat konser musik dan sebagainya. Viryan justru menuding media mengutip secara tidak utuh “perihal KPU membolehkan kampanye dalam bentuk konser musik.”
Viryan juga masih berkutat dengan kepercayaan Pilkada 2020 dapat menjadi “puncak perlawanan COVID-19.” Angan-angannya begini: "lebih 100 juta warga Indonesia datang ke TPS dengan kesadaran tinggi menerapkan protokol kesehatan COVID-19. Menolak untuk berkerumun, disiplin menjaga jarak, dan menggunakan masker. Semoga..."
Nyatanya, jangankan partisipan Pilkada 2020, Komisioner KPU bahkan tidak lolos dari ancaman virus corona. Tiga komisioner—Arief Budiman, Pramono Ubaid, dan Evi Novida Ginting—terdeteksi positif COVID-19.
==========
KONFRONTASI adalah ulasan serta komentar atas isu sosial-politik yang sedang menghangat di Indonesia. Sajian khusus ini ditayangkan setiap Senin dan diasuh oleh penulis politik Felix Nathaniel.
Editor: Ivan Aulia Ahsan