Menuju konten utama

Dinasti Politik Era Jokowi Menguat: Apa Bahayanya Bagi Demokrasi?

Riset lembaga studi Nagara Institute menyebut sekitar 17,22 persen anggota DPR RI 2019-2024 merupakan bagian dari dinasti politik.

Dinasti Politik Era Jokowi Menguat: Apa Bahayanya Bagi Demokrasi?
Ilustrasi partai politik Indonesia. tirto.id/Teguh Sabit Purnomo

tirto.id - Dinasti politik meningkat pada pemilihan umum 2019. Setidaknya premis ini terkonfirmasi oleh riset lembaga studi Nagara Institute yang menyebut sekitar 17,22 persen anggota DPR RI 2019-2024 merupakan bagian dari dinasti, sebab memiliki hubungan dengan pejabat publik, baik hubungan darah, pernikahan, maupun kombinasi keduanya.

Direktur Eksekutif Nagara Institute Akbar Faizal mengatakan selama ini oligarki sering diperbincangkan dan dikhawatirkan akan merusak demokrasi. Namun, kenyataannya hal ini terjadi, bahkan menguat pada Pemilu 2019.

“Kami melakukan riset, menelaah para legislator DPR. Dan hasilnya ditemukan total 178 kasus keterpilihan anggota DPR dinasti politik dalam pemilu 2009, 2014, 2019,” kata Akbar dalam keterangan tertulis yang diterima reporter Tirto, Rabu (19/2/2020).

Jika diklasifikasi secara partai, maka terdapat tujuh partai yang paling banyak menerapkan politik dinasti di level legislatif nasional. Di urutan pertama adalah Partai Nasdem yang meloloskan 20 orang berdasarkan politik dinasti dari total 59 perolehan atau 33,90 persen anggota lolos ke Senayan.

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menempati urutan kedua, yaitu sebesar 31,58 persen dari total kursi DPR RI, kemudian secara berturut-turut Golkar sebesar 21,18 persen, Demokrat 18,52 persen, PAN 18,18 persen, Partai Gerindra 16,67 persen, dan PDIP 13,28 persen.

Sementara PKB dan PKS menjadi partai yang menempatkan dinasti politik di bawah 10 persen. Berdasarkan riset Nagara Institute, PKB memiliki persentase paling kecil terpapar politik dinasti, yaitu 5,17 persen dari total perolehan 58 kursi. Sedangkan PKS sebesar 8,00 persen dari total 50 kursi di DPR.

Selain di level legislatif, kata Faisal, dinasti politik juga terjadi di ranah eksekutif. Berdasarkan data yang dihimpun Nagara Institute, hampir 80 wilayah di seluruh Indonesia hasil dari politik dinasti.

“Nagara menemukan tiga kali pilkada serentak di 541 wilayah (33 provinsi, 419 kabupaten, dan 89 kota), ada 80 wilayah (14,78%) yang terpapar dinasti politik,” kata Faisal.

Menurut Faisal, Jawa Timur merupakan daerah terbanyak yang menjalankan politik dinasti, yaitu di 14 wilayah. Diikuti Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan dengan masing-masing 6 wilayah, Jawa Barat, Sumatera Selatan, dan Banten berada di urutan ketiga dengan 5 wilayah. Lalu, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, dan Lampung dengan 4 wilayah.

Ancaman Bagi Demokrasi

Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko menilai dinasti politik berhubungan dengan kegagalan partai dalam menggaet masyarakat untuk berpolitik. Akar utamanya, kata dia, adalah gagalnya kaderisasi yang inklusif.

“Jadi meskipun dibilang meningkat atau stagnan bahkan menurun sekalipun, mestinya ini jadi catatan buat parpol untuk membuka kesempatan kepada seluruh warga untuk mendapatkan hak dan akses politik yang sama. Bukan berdasar trah para elitenya saja,” kata Wawan kepada reporter Tirto, Rabu (19/2/2020).

Wawan mengatakan, TII melihat politik dinasti sebagai sebuah kemacetan agenda reformasi parpol dan pendidikan politik di Indonesia. Sebab, keberadaan dinasti politik menandakan kekuasaan berada di kelompok elite.

Di era Jokowi, dia mencontohkan, kasus Gibran Rakabuming Raka yang akan maju dalam Pilwalkot Solo 2020 maupun Bobby Nasution, menantu Jokowi yang juga akan maju di Pilwalkot Medan.

Wawan berpendapat, masalah dinasti politik hanya bisa diselesaikan dengan melibatkan semua pihak, termasuk internal dan eksternal partai. Perbaikan harus dilakukan dengan perbaikan sistem kaderisasi parpol, pendidikan politik inklusif, hingga proses konvensi terbuka di setiap parpol.

Jika hal itu tidak dilakukan, kata Wawan, “bisa jadi Indonesia akan kembali ke era Orde Baru yang korup” dan melanggengkan sistem oligarki.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengaku sudah mendengar hasil kajian Nagara Institut tentang dinasti politik. Ia memandang hal itu merupakan kewenangan partai sesuai undang-undang yang berlaku.

“Kalau ada, itu artinya ada problem di tingkat partai, bukan pemerintah dong. Yang menentukan calon anggota DPR, kan, partai,” kata Mahfud MD, di Istana Negara, Jakarta Pusat, Rabu (19/2/2020).

Meski tidak ikut campur, Mahfud mengatakan pemerintah tetap berkomitmen menjaga partisipasi publik dan mencegah politik dinasti. Namun, ia mengingatkan pemerintah bekerja sesuai kewenangannya.

“Pasti pemerintah dengan porsinya sendiri ingin politik berjalan dengan baik. Itu tugas pemerintah, tapi kalau sudah candidacy, pencalonan, itu kan urusan partai. Bagaimana pemerintah mau ikut campur dan partai punya perhitungan-perhitungan sendiri siapa yang menang siapa yang tidak. Itu kepentingan partai,” kata Mahfud.

Dampak Negatif Dinasti Politik

Direktur Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah berpendapat, dinasti politik memang dimungkinkan dalam tatanan politik Indonesia saat ini. Sebab, sistem keterpilihan bisa membuat dinasti politik langgeng.

“Sistem keterpilihan kita memungkinkan untuk itu, memang buruk dalam praktik politik kesetaraan, tetapi saat ini tidak bisa menyalahkan,” kata Dedi kepada reporter Tirto, Rabu (19/2/2020).

Dedi mengatakan, keberadaan dinasti politik bisa berbahaya dari sisi etika politik karena akan menghambat kerja politik. Selain itu, kepentingan kelompok tertentu akan lebih diakomodir daripada kepentingan publik.

Dedi juga melihat demokrasi Indonesia semakin tidak sesuai ekspektasi. Sebab, demokrasi saat ini lebih sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan. Menurut dia, salah satu contoh yang baik adalah dengan membatasi masa jabatan politik parlemen atau membatasi lingkaran keluarga dalam kontestasi.

“Selama demokrasi dibiarkan bebas seperti saat ini, publik akan terus menerus berada di bawah kekuasaan elite,” tutur Dedi.

Dedi pun mengingatkan, pemerintah seharusnya ikut terlibat dalam pemberantasan dinasti politik lewat penerbitan regulasi. Namun, pria yang juga dosen politik di Universitas Telkom ini pesimistis melihat situasi politik nasional saat ini.

“Mengharapkan komitmen pemerintah kali ini, sulit karena presiden sendiri sedang menanam benih oligarki melalui Pilkada 2020,” kata Dedi.

Hal senada diungkapkan dosen komunikasi politik Unair Suko Widodo yang melihat dinasti politik sebagai hal wajar dari sisi politik. Ia mencontohkan seperti kisah George W. Bush yang merupakan anak George Bush di Amerika atau konsep dinasti di Inggris.

Akan tetapi, menurut Suko, dinasti politik bisa berbahaya bagi Indonesia jika tidak dilakukan sesuai prosedur.

“Kalau anaknya ikut proses rekrutmen, mengikuti aturan main di dalam organisasi, itu gak apa-apa. Yang jadi soal adalah ketika kemudian ada pengistimewaan dalam proses kaderisasi terhadap keluarga-keluarga ketua partai. Itu yang jadi masalah,” kata Suko kepada reporter Tirto.

Suko mengatakan, situasi politik dan demokrasi Indonesia masih merugi dengan keberadaan dinasti politik. Sebab, kualitas rekrutmen kaderisasi parpol belum baik.

Menurut dia, dinasti politik membuat partisipasi masyarakat menjadi minim. Situasi tersebut kemudian mempengaruhi penilaian publik dalam pelaksanaan pemerintahan.

Selain itu, indeks demokrasi Indonesia tidak mengalami kenaikan signifikan. Meski orang berbondong-bondong untuk menggunakan hak pilih dalam pemilu 5 tahun terakhir, tapi politik Indonesia masih dihiasi oleh politik uang dan kesungkanan politik.

Ia mencontohkan Agus Harimurti Yudhoyono yang kini mendapat jabatan strategis di Partai Demokrat akibat pengaruh SBY. Padahal, kata dia, parpol diberi amanah untuk menciptakan politik bersih. Oleh sebab itu, kata dia, dinasti politik berbahaya bagi politik Indonesia.

“Demokrasi menghilangkan ruang itu mestinya dengan rasional, bukan dengan sungkan, bukan dengan takut. Kita masih berada dalam kesungkanan, ketakutan yang kadang-kadang tidak meletakkan dialektika yang rasional dalam proses-proses membangun kebijakan partai,” kata Suko.

Baca juga artikel terkait DINASTI POLITIK atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz